Oleh Rama Paramahamsa
Gambar 1. Ilustrasi foto uang. Sumber: Portal Majalengka
Beberapa kali pernah terbit protes masyarakat di Bali terkait dudukan desa adat. Beberapa protes tersebut bermuara akibat kesalahpahaman antara penagih dudukan dan tertagih. Akhirnya, Ombudsman RI Bali pada 22 Juni 2023 melalui live Instagram menjelaskan bagaimana idealnya dudukan desa adat harus dijalankan. Dalam live Instagram tersebut, hadir I Ketut Sumarta sebagai Penyarikan Agung MDA Provinsi Bali dan I Gusti Agung Ketut Kartika Jaya sebagai Kepala Dinas Kemajuan Masyarakat Adat Provinsi Bali.
Dalam kesempatan tersebut, dijelaskan bahwa dudukan desa adat adalah sebuah bentuk kontribusi krama tamiu dan tamiu yang mendiami suatu wilayah desa adat. Krama tamiu adalah warga Bali yang beragama Hindu yang mendiami tempat selain rumah asalnya. Tamiu adalah warga selain krama tamiu dan krama desa adat.
”Kurang tepat kalau dia (dudukan) dikenalkan sebagai pungutan. Walaupun dudukan diterjemahkan sebagai pungutan, namun dalam konteks ini yang dimaksudkan itu adalah kontribusi wajib,” ujar Ketut Sumarta.
Pengesahan Dudukan melalui Pararem Desa Adat
(link : https://jdih.baliprov.go.id/produk-hukum/peraturan-perundang-undangan/pergub/29020)
Dudukan desa adat telah diatur di dalam Pergub Bali Nomor 55 Tahun 2022 tentang Pengelolaan Keuangan Desa Adat di Bali. Dalam aturan tersebut, dudukan menjadi salah satu dari dua sumber pendapatan desa adat selain hasil kerja sama dengan pihak ketiga, sebagai pendapatan asli desa adat. Dalam aturan yang sama, dijelaskan pula standar dudukan yang harus dipatuhi oleh desa adat ketika melakukan dudukan sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan desa adat dalam melakukan dudukan.
Kemudian, terkait pemanfaatan dana dudukan yang didapatkan oleh desa adat akan diserahkan kembali melalui pararem desa adat yang termanifestasikan dalam Pedoman Penyuratan Pararem Desa Adat 2022. Pararem sendiri menjadi hal wajib yang harus dijalani oleh desa adat sebelum melakukan dudukan. Dalam penentuan pararem nantinya akan pula ada proses komunikasi antara desa adat dengan tamiu dan krama tamiu untuk menemukan kesepakatan terkait dudukan.
”Di dalam proses penyusunan pararem, harus ada komunikasi, koordinasi, minimal sosialisasi. Sehingga di sejumlah desa adat, bahkan meningkatkan pedoman kami dengan membuat kesepakatan antara krama tamiu dan tamiu dengan desa adat, misalnya besarannya, kemudian periode pengumpulannya. Tapi dalam proses itu diwajibkan juga ada konsultasi bersama kami di jajaran MDA untuk melakukan verifikasi guidance,” ujar Sumarta.
Ketut Kartika Jaya juga mengatakan bahwa adanya pararem bertujuan untuk mengurangi potensi miskomunikasi di antara desa adat dengan krama tamiu dan tamiu. Bahkan, dalam pararem tersebut dapat pula diputuskan terkait teknis pengambilan dudukan, seperti orang yang mengambil dudukan, surat tugas yang harus ditunjukkan, besaran dudukan, dan lain sebagainya.
”Dalam melaksanakan regulasi, desa adat harus mengeluarkan yang namanya surat keputusan tentang pelaksanaan tugas dari siapa yang melakukan pengumpulan atas dudukan. Kemudian setelah ada surat keputusan, pelaksana yang diberikan kewenangan melakukan dudukan ini harus diberikan dia tanda pengenal. Maka perlu ada surat tugas, perlu ada tanda pengenal, dan yang terakhir adalah petugas harus tetap memiliki sopan santun,” tambah Sumarta menjelaskan lebih detail terkait ucapan Ketut Kartika.
Terkait pengambilan dudukan, banjar adat harus pula berkoordinasi dengan desa adat agar aturan atau hasil pararem yang ditetapkan oleh masing-masing banjar tidak bertentangan dengan awig-awig atau pararem dari desa adat itu sendiri. Hal ini menjadi penting agar tidak terjadi miskomunikasi antara banjar adat dan desa adat yang berdampak pada krama tamiu dan tamiu yang harus membayar dudukan lebih banyak karena miskomunikasi.
”Jadi tidak boleh lagi ada prajuru-prajuru banjar adat yang bergerak sendiri. Kalau itu terjadi, titiang pastikan itu sudah menyalahi pemerintahan. Jadi jangan sampai ada lagi satu orang krama tamiu ditagih dudukan oleh tiga komponen berbeda,” ujar Ketut Kartika.
Selepas pararem berhasil dijalankan dan menemukan kesepakatan, proses pengawasan dudukan akan tetap dilaksanakan oleh Dinas Kemajuan Masyarakat Adat guna menghindari penyelewengan penggunaan dana oleh oknum desa adat.
”Kita bekerjasama dengan inspektur Provinsi Bali akan melaksanakan pengawasan (dudukan), dalam konteks pembinaan dan deteksi dini, upaya pencegahan supaya dudukan ini dilaksanakan tepat sasaran sesuai dengan tujuannya,” ujar Ketut Kartika Jaya.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban dudukan yang diterima oleh desa adat, Sumarta sangat menyarankan agar desa adat dapat membuat laporan keuangan yang akan disampaikan kepada masyarakat.
”Bila perlu, karena ini soal transparansi dan terkait dengan masyarakat, membuat niki laporan. Minimal di paruman disampaikan,” tutup Sumarta.
situs mahjong