Makin banyak desa di Denpasar kini mengalokasikan dana untuk penanggulangan HIV di wilayahnya. Tak cukup dengan penyuluhan, juga pendampingan oleh komunitas sebaya agar alokasinya lebih efektif menuju target capaian penurunan kasus dan peningkatan akses obat.
Dokter Oka Negara, Koordinator Forum Peduli AIDS (FPA), ruang komunikasi para pihak di Bali mengatakan tersisa 7 tahun menuju target zero case. Namun target ini agak mustahil karena kasus harus digali untuk memastikan akses antiretroviral (ARV), obat untuk mencegah penyebaran virus. “Jika disiplin ARV, viral load tersuspresi tak terdeteksi maka HIV tak bisa menular. Stigma hilang,” jelasnya.
Strategi saat ini adalah kalau ditemukan kasus tuberkulosis (TB) dirujuk tes HIV dan sebaliknya. Denpasar ada banyak layanan dan mudah diakses. Klinik tes sukarela atau VCT berjumlah 35 unit.
Masih terpusat di kota karena pasien dari luar kota lebih memilih cari lokasi yang jauh. “Masih ada stigma, diskriminasi tapi tak separah dulu. Sudah biasa dengar HIV,” katanya.
Tri Indarti dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Denpasar memberikan gambaran penanggulangan HIV dan AIDS kota Denpasar yang dapat memberikan peluang peran dkamunitas pada program Desa. Ia juga minta mewaspadai TB, karena batuk sedikit saja sudah jutaan bakteri melayang di udara.
Akumulasi sejak 1987, pada Maret 2023 di Bali ada 28.529 kasus HIV dan AIDS, 14 ribu di antaranya di Denpasar. Pasien yang dilayani bisa jadi dari luar kota karena stigma dan lebih nyaman didampingi komunitas sebayanya.
Terbanyak di umur 20-39 karena itu edukasi sejak dini digencarkan. Risiko penularan terbanyak adalah heteroseksual, sementara homoseksual sudah mencair. Kasus baru terbanyak pada 2019. Namun yang jadi catatan, apakah memang tak ada kasus baru atau belum akses layanan?
Tri membandingkan, kalau DBD, hari ini terinfeksi langsung demam. Beda dengan HIV perlu beberapa tahun sampai ada gejala. Pesannya, segera minum obat tanpa putus, cek viral load, sampai virus tak terdeteksi sehingga tak bisa menulari ke orang lain.
Tri mengingatkan target 2030 yakni triple eliminasi HIV, TB, dan Malaria. Saat ini pasien malaria hanya terpapar dari Indonesia gimur, tesisa HIV dan TB. Jargonnya adalah temukan, obati, pertahankan, suluh. Sekitar 95% orang terinfeksi HIV (Odhiv) diharapkan tahu status HIV dan mendapat terapi ARV, dan mempertahankannya. “HIV ada obatnya, bisa sembuh virusnya tak terdeteksi. Biar tidak resisten kalau putus obat, dibiayai negara. Biaya pengobatan luar biasa,” ingatnya. Jika berhasil, bisa seperti diabetes dan hipertensi tapi tak menularkan.
Strategi penanggulangan KPA Kota adalah penguatan komitmen dan koordinasi lembaga, perluasan akses layanan, penguatan P2P, kemitraan dan peran serta masyarakat, KSPAN, dan kader desa. Kegiatan inovatif di antaranya Sehati bersama KPA, pemeriksaan sebelum ARV. dan monev.
KPA memiliki anggaran Rp 1,2 miliar pada 2023. Ada juga pengalokasian anggaran desa melalu Peraturan Walikota (Perwali) 25/2019 tentang penyuluhan penyakit menular, dan pencegahan narkotika di desa. Kegiatannya diarahkan ke tujuan pembangunan atau SDGs, desa sehat dan sejahtera. Saat ini sudah 27 desa di Denpasar sudah alokasikan program kesehatan, dan 14 desa swakelola. Kegiatan utamanya masih penyuluhan.
Sejumlah komunitas menyampaikan hasil penjangkauan dan hambatannya dalam penanggulangan HIV saat ini. Komunitas atau pekerja lapangan ini adalah kunci keberhasilan penanggulangan HIV dan target ARV karena memerlukan pendekatan sebaya.
Novian, konselor adiksi menyebut Odhiv di komunitasnya perlu dukungan psikis dan sosial karena memiliki kecemasan tinggi, perlu saling dukung. Mereka sudah akses ARV. Namun kini ada masalah retribusi di klinik VCT Sanglah. Menurutnya banyak yang pindah dari RS Sanglah karena retriusi naik dari Rp 45 ribu jadi Rp 100 ribu, ini disebut memberatkan untuk yang tidak punya BPJS Kesehatan. “Akhirnya numpuk di klinik YKP. Balik lagi ke YKP,” keluhnya. Ia juga khawatir Odhiv putus obat, seminggu sebelum obat habis harus akses ke klinik sementara Sabtu-Minggu klinik VCT Sanglah tutup.
Kimora, pendamping transgender dari Yayasan Gaya Dewata (YGD) menyebut penjangkauan Odhiv khususnya transpuan masih berlangsung. Dari sekitar 103 Odhiv dan tidak, bisa dirujuk ke klinik VCT untuk tes sukarela sampai Juni sebanyak 63 orang, dan reaktif 2 orang.
Mereka yang reaktif sudah terapi ARV dan didampingi sebaya dari Yayasan Spirit Paramicatta. Selain itu, juga didorong akses pre exposure profilaksis untuk pencegahan HIV dari hubungan seksual tanpa kondom karena bisa tertular infeksi menular seksual (IMS). Banyak positif IMS termasuk GO.
YGD juga melakukan penjangkauan dan skrining kekerasan berbasis gender dan HAM, dan mendorong akses bantuan hukum. “Hambatannya dulu susah merujuk karena transpuan kerja malam, sementara layanan kesehatan buka pagi sampai siang,” urai Kimora.
Ada Puskesmas buka sampai malam, tapi harus antar jemput oleh petugas lapangan (PL). Dari pemantauannya ada 1 Odhiv putus obat, karena lingkungannya tertutup. Sedangkan masalah Odhiv pendatang adalah perlu akses bantuan BPJS kesehatan. “Dulu ada stigma yang HIV pasti LGBT. Namun kenyataannya bukan karena ekspresi gender, tetap karena perilaku,” ingat transpuan Bali ini.
Mimi Fatimah, tim advokasi FPA untuk komunitas pekerja seks perempuan (PSP), menjelaskan ada PSP langsung dan tidak langsung. Relawan Yayasan Citra Usadha Indonesia (YCUI) ini mengatakan untuk penjangkauan ia langsung di lokalisasi, sedangkan tidak langsung lewat chat online, kafe, dan lainnya.
Bahkan sekarang tes HIV tak hanya tes darah juga bisa oral cairan rongga mulut. Juga ada pembagian kondom gratis, atau kondom disubsidi. Jumlah PSP terjangkau 1159 di Denpasar sejak Januari-Mei ini.
“Hambatannya, jika tidak mengaku atau denial padahal tes ke YKP. Ada juga gak mau berobat ARV, saya masih sehat untuk apa berobat,” urai Mimi. Hal lain adalah ganti-ganti nama ke lokasi, lalu dijangkau lagi. Karena itu PSP yang dijangkau sekarang harus pakai KTP. Ia berharap melibatkan komunitas di program desa terutama untuk penjangkauan.
Arya, Koord Program YGD juga memaparkan situasi di jangkauannya, lelaki melakukan hubungan seksual dengan lelaki (LSL). Ada 2 kelompok, karena orientasi homoseksualnya dan siapa pun termasuk transgender atau heteroseksual, bukan karena dia suka misal hanya karena motif ekonomi. Jika orientasi seksualnya, suka secara fisik dan emosional baru disebut homoseksual.
“LSL hanya bahasa program. Seluruh perilaku yang berisiko harus diintervensi. Komunitas populasi kunci rentan menular dan ditularkan. Tak hanya komunitas LGBT juga TB untuk pengguna narkoba suntik (penasun),” paparnya. Jumlah LSL di Denpasar karena merantau atau bekerja, pada semester pertama 2023 yang dijangkau sebanyak 1652 orang baik secara orientasi dan perilaku. Sebanyak 70% atau 1600 bisa dirujuk untuk tes sukarela atau VCT ke layanan kesehatan.
Penjangkauannya tak hanya langsung juga lewat aplikasi dating app, karena tidak semua terbuka. Beda dengan transgender yang lebih mau membuka diri, juga dibantu dengan tampilan fisik. Pada komunitas LSL hanya terindentifikasi saat konseling mendalam. Rujukan VCT menurut Arya harus lebih nyaman. Kepada sejumlah jurnalis yang mengikuti diskusi ini pada 10 Juni di Denpasar, ia mengingatkan istilah cap buruk seperti bencong tidak disukai.
Tri Indarti merespon keluhan komunitas ini seperti kenaikan retribusi akan dibabahas untuk dievaluasi. Sedangkan terkait akses informasi, data Odhiv tak ada di desa, dan Puskesmas tidak bisa langsung minta laporan warganya ke desa. Saat ini TB menjadi perhatian karena infeksi ikutan, jika sel darah putih rendah jadi mudah terpapar penyakit lain. HIV termasuk salah satu riwayat.
Sementara itu Made Suprapta dari Indonesia AIDS Coalition (IAC) mengingatkan jika Odhiv kembali tergantung pada layanan klinik LSM akan jadi kemunduran pemenuhan target 95% akses ARV. Saat ini situasinya membaik karena transisi layanan dari LSM ke pemerintah. “Jika balik ke LSM dan lembaga donor tidak ada bisa menyulitkan akses obat,” ujarnya.