Oleh I Nyoman Winata
Bali saat ini menjadi pusat perhatian karena adanya konfrensi perubahan iklim dan pemanasan global tingkat dunia. Saya sangat awam dengan urusan-urusan seperti ini dan sama sekali tidak punya bayangan apa yang dilakukan para delegasi dalam konferensi yang pesertanya ribuan orang dari ratusan negara itu.
Yang muncul di benak saya hanyalah suasana ramai, di mana orang-orang akan berbicara, berbicara dan berbicara. Sebagai orang awam saya juga tidak memiliki bayangan apa saja yang akan dihasilkan dari konferensi besar yang dana penyelenggaraannya mungkin mencapai ratusan milyar rupiah itu.
Dalam kondisi sperti ini, saya juga yakin banyak penduduk dunia di antaranya bapak, ibu, nenek kakek saya yang ada di rumah di Bali juga gak bakal nyambung kalau diajak ngomong soal konferensi tersebut. Jangankan soal konferensi, diajak ngomong soal pemanasan global saya yakin mereka akan seperti “siap sambehin injin” (ayam diberikan ketan hitam–red) alias “kilang-kileng” (bingung). Bahkan mereka yang tidak paham soal pemanasan global bukan saja generasi tua yang sekolahnya gak sampai seberapa. Banyak dari anak-anak sekolah, mahasiswa, birokrat sampai kaum profesional yang tidak begitu paham apa itu global warming dan apa dampaknya bagi kehidupan manusia.
Gebyar isu pemanasan global sepertinya akan menurun seiring dengan usainya konfrensi di Bali. Tidak banyak yang benar-benar mengingatnya dan menjelmakannya menjadi tindakan praksis. Kalaupun masih ada itu hanya akan sebatas wacana-wacana alias omong tok. Padahal mengantisipasi pemanasan global sama sekali bukan hanya dengan omong doang (omdo) tetapi tindakan kongkrit.
Bagaimana global warming akan diantisipasi jika pabrik mobil misalnya terus saja memproduksi mobil berbahan bakar fosil? Bicara global warming di tengah gencarnya kemudahan memiliki sepeda motor adalah kesia-siaan belaka. Takut dampak global warming tetapi hutan dibiarkan terus ditebangi dan peralihan lahan menjadi perumahan tidak mengenal henti? Banyak lagi pola-pola pikir dan hidup kita yang tidak benar-benar peduli soal global warming. Kalaupun ada itu semua hanya kepura-puraan.
Pemerintah Indonesia terkait global warming belakangan misalnya bertekad menanam jutaan batang pohon. Tetapi itu hanya sebatas menanam bibit pohon, tidak termasuk menjamin bibit itu akan tumbuh menjadi besar. Contohnya PLN Jaringan Pembangikt Jawa Bali (ini kantornya disebelah studio tv saya kerja di Semarang) beberapa waktu lalu menggelar acara tanam sejuta pohon. Ya… hanya ditanam, tanpa ada perawatan. Akhirnya banyak bibit tanaman yang kering, lalu mati.
Saya tidak melihat ada titik cerah di mana global warming akan bisa dihambat. Apalagi di tengah mengguritanya kapitalisme global yang mendewakan akumulasi modal. Saat ini tidak ada yang bisa melawannya, tidak satupun yang kuat mencegahnya menguasai dunia ini.
Saya kemudian tertarik dengan judul tulisan Opini di Kompas (Sabtu, 1/12), kalau kita mungkin harus bersiap-siap menyediakan Perahu seperti yang disebut pernah dibuat Nabi Nuh. Karena Dampak Global Warming adalah keniscayaan, tinggal menunggu waktu saat dimana daratan yangkita jejak akan tenggelam diterjang air bah, diterjang badai salju (kembali ke zaman es seperti film “Day Afther Tommorow”).
Atau bumi kita ini akan diliputi kekeringan dan udara panas, atau bahkan akan terbakar menghitam. Jadi… bersiap-siaplah.
kemarin, saya ketemu dengan nelayan. Saya mau ijin untuk kunjungan wartwan di kedonganan. dia heran, kenapa wartawan kesini? kan pemasan global cuma ngurusin hutan. ini nih, akibat pemberitaan media yang larut dalam skema perdagangan karbon hutan…
waduh,…kalau seorang direktur televisi bilang kalau dirinya awam urusan seperti ini, kok bisa jadi direktur sebuah mendia pemberitaan ya?? dan isi tulisannya juga penuh dengan fatalistis, kekecewaan, dsj..nggak ada solusi kek. ini prinsip lho. suara seorang direktur menggambarkan arah kerja timnya. mestinya yyang disuarakan selain memang kekecewaan, tetapi tidak sampai disitu saja, bahas lebih banyak lah kan itu fungsi jurnalistik, rupanya bapak winata sejak dapak kursi enak, lupa menggali informasi. fungsi media kan menyampaikan informasi dan mendidik masyarakat juga toh salah satunya??? kasi solusinya juga dooonggg….
yoo.. ngono kuwi mas made… banyak dari kita yang tidak mau jujur. Ketika tidak benar-benar paham, tetapi karena jabatan lalu pura-pura paham. Mengetahui tidaklah penting… tetapi rasa ingin tahu, itulah yang penting. Solusi sudah banyak diberikan oleh mereka yang sebut diri pakar, media juga tidak pernah lelah menulis dan menginformasikan pada masyarakat. Lalu hasilnya?? Tidakkah menyiapkan Perahu Nabi Nuh yang saya tulis, bagi mas Made bisa dimaknai ajakan menjaga lingkungan masing-masing dengan sungguh-sungguh? Ini solusi paling realistis,karena konfrensi PBB, jujur saja tetap terlalu ketinggian bagi saya yang hanya orang awam. Media tempat saya mengabdi (bukan duduk2 enak), lebih banyak menyasar orang awam, saya tidak ingin menggurui mereka, tetapi dengan kerendahan hati,bersama-sama melihat dari kacamata orang awam sekaligus belajar bersama-sama untuk menjadi sadar dan mengetahui.
wah, sekali lagi…resistensi…..self defensif kuat banget puk yang ditubjukkan dari jawabannya bli nyoman,kenken ne?…menunjukkan ketidakjujuran dan gaya birokrat baru.selamat!!
ha..ha..ha.. santai gen Mas Made