![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2024/12/photo_6253434931317424335_y.jpg)
“Hidup perempuan yang melawan,” ucap seorang mahasiswa Papua sembari mengepalkan tangannya. Sorak-sorai menyambut dengan sahutan “hidup”.
Siang menjelang sore itu puluhan orang berkumpul dalam rangka Hari HAM Sedunia. Taman Baca Kesiman yang berlokasi di tengah hiruk pikuk Kota Denpasar disulap menjadi ruang diskusi yang apik.
Beberapa orang terlihat duduk melingkar di sebuah balai untuk mencukil kayu. Sablon cukil sebutannya, teknik cetak dengan blok kayu yang diukir untuk membuat desain cetakan. Kerajinan ini seakan mencurahkan perlawanan mereka terhadap hak-hak yang selama ini tak kunjung didengar. Di kanan dan kiri balai juga digantung foto-foto yang menggambarkan perjuangan masyarakat adat atas haknya.
Tepat pukul tiga sore hari itu, 10 Desember 2024, seluruh perhatian teralihkan pada satu panggung. Semuanya merapat mendengarkan sebuah diskusi bertajuk “Apa Kita Bisa Bilang Tidak? Problem Pembangunan yang Nir-Partisipasi dan Pentingnya Suara Publik”. Diskusi ini berusaha menjawab ‘keraguan’ terhadap hak kita untuk mempertahankan ruang hidup dan menyatakan pendapat sebagai subjek pembangunan.
Pengakuan masyarakat adat
![](https://balebengong.id/wp-content/uploads/2024/12/photo_6253434931317424330_y.jpg)
Pasal 18B ayat (2) dalam UUD 1945 menyebutkan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya”. Namun, pengakuan masyarakat adat selama ini masih setengah hati, hanya bersifat administratif.
“Ada penyebab yang krusial yang sampai sekarang tidak pernah terselesaikan soal pembangunan dan masyarakat adat, yaitu pemahaman soal masyarakat adat yang belum clear, terutama di tubuh pemerintah bahkan negara itu sendiri,” ungkap Edy Kurniawan dari YLBHI Bali. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai istilah masyarakat adat, ada yang menyebutnya masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional, hingga masyarakat lokal Papua yang kerap disebut Orang Asli Papua (OAP).
Hingga saat ini, pengakuan masyarakat adat hanya mengakui sebuah masyarakat hukum adat, tidak disertai dengan upaya perlindungan dan pemenuhan hak. “Pemahaman atau penilaian tentang masyarakat adat itu tercederai, tidak melihat secara inklusif atau tidak melihat masyarakat adat dalam konteks interseksionalitas,” ujar Edy.
Dalam instrumen HAM nasional maupun internasional kita familiar dengan istilah Padiatapa (persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan) dan FPIC (free, prior dan informed consent). Free artinya mereka memiliki kebebasan tanpa tekanan untuk menentukan nasib mereka sendiri. Prior artinya mereka mendapatkan informasi dan konsultasi. Sementara itu, informed consent berarti mendapatkan konsen atas persetujuan.
“Harusnya FPIC ini dijalankan pada setiap proyek pembangunan, tapi faktanya tidak dijalankan karena persoalan tadi, kebijakan sudah bermasalah, pengakuan terhadap subjek masyarakat adat itu tidak ada keseriusan dari pemerintah,” ungkap Edy. Perlindungan dan pemenuhan hak masyarakat adat sebenarnya terdapat dalam RUU Masyarakat Adat yang sudah sepuluh tahun keluar masuk, tapi tidak kunjung disahkan. RUU Masyarakat Adat melihat masyarakat adat secara keadilan inklusif. Tidak lagi melihat masyarakat adat dari segi budaya, pendidikan, dan tanahnya secara terpisah-pisah.
Masyarakat adat di Bali
“Dia menjadi instrumen dari kediktatoran dan juga instrumen untuk menyumpal atau membungkam aspirasi dari publik,” begitu ucap I Ngurah Suryawan, Akademisi Antropologi Universitas Warmadewa. Ia menambahkan ketika berbicara tentang proyek, masyarakat melihat itu pasti ada semacam permainan kekuasaan. Seperti di zaman Orde Baru ketika pembangunan di Bali digunakan untuk melenyapkan tanah-tanah orang Bali
Suryawan menyebutkan bahwa ada semacam semantik kata pembangunan sebagai alat kediktatoran. Pembangunan yang katanya untuk kesejahteraan orang banyak, nyatanya menyingkirkan masyarakat di lokasi pembangunan itu sendiri.
Tanpa sadar masyarakat Bali masuk dalam sirkuit kapital dengan menjadi buruh di tanahnya sendiri. “Menjijikan, tapi dirindukan dan disanjung berbagai macam pihak,” ungkap Suryawan. Pembangunan besar-besaran ini kemudian dijadikan sebagai ladang korupsi. Ia menyebut ini sebagai rent seeking atau perburuan rente, bagaimana anggaran pembangunan dijarah oleh penguasa.
Gus Dark, visual artist yang turut hadir sore itu juga merasakan pergeseran masyarakat Bali yang seakan dijajah oleh pembangunan. “Banyak hal-hal yang dulu kita kira mustahil, tapi sekarang masif terjadi di Bali,” ungkap Gus Dark.
Berganti hari, berganti tahun, berganti pula tata ruang di Bali. Bencana-bencana yang dulunya jarang bahkan tidak pernah menimpa Bali, kini terjadi. Misalnya, banjir besar yang dirasakan oleh Gus Dark di Mengwi atau minimnya akses air di Jimbaran.
Menanggapi permasalahan di atas, Rezky Pratiwi dari LBH Bali menyebutkan ada satu pola situasi yang menyebabkan lemahnya pengawasan dan partisipasi publik. “Masyarakat percaya mitos tentang pembangunan bahwa ketika angka pertumbuhan ekonomi itu tinggi, maka kesejahteraan juga mengikutinya,” ungkap Pratiwi.
Padahal GDP saja sebenarnya hanya mengakumulasi tambahan kekayaan dari sekelompok orang kecil, tetapi tidak melihat adanya ketimpangan distribusi kekayaan yang sangat nyata. Masyarakat juga percaya bahwa infrastruktur fisik seperti bangunan akomodasi pariwisata menandakan bali sedang maju. “Padahal itu produk hegemoni bahwa ketika sesuatu dibangun, ada dampak sosial dan lingkungan di dalamnya,” imbuh Pratiwi.
Pratiwi menambahkan bahwa ikatan spiritual yang sangat dalam dimiliki oleh orang Bali terhadap tanahnya itu hilang. “Sejauh ini kita sudah menghitung belum cost yang harus dibayar orang Bali atas industri yang luar biasa sangat dominan, yang sudah kadung, yag sulit kita lepaskan,” ungkap Pratiwi.
Pariwisata menjadi industri yang telanjur besar di Bali dan tak dapat dielakkan lagi. Pembangunan yang begitu masif memberikan dampak yang luar biasa terhadap terampasnya hak masyarakat atas tanahnya sendiri, seperti masyarakat Tamblingan yang tengah memperjuangkan hutan adat di Tamblingan hingga masyarakat di Bali Selatan yang berebut akses air dengan industri pariwisata.