Oleh I Gusti Agung Made Wirautama
Bali adalah sebuah pulau yang eksotis dan begitu terkenal ke penjuru dunia, segala keunikan budaya dan keindahan alam ada di sini, di Bali. Memang sebuah warisan leluhur yang amat tak ternilai harganya. Itulah sebabnya turis dan pemilik modal berani membayar miliyaran rupiah untuk sebuah lahan tidak produktif di tebing pinggiran sungai dan bersebelahan dengan setra (kuburan) tetapi memiliki pemandangan yang unik ke arah persawahan.
Alam Bali memang bukan merupakan buatan nenek moyang dan leluhur orang Bali, alam sudah ada dari dulunya, hanya dulu kita (leluhur) sangat pintar merawat alam Bali dan bersahabat dengan alam bahkan memanusiakan alam.
Bayangkan saja, di Bali bukan hanya manusia yang memiliki oton (peringatan hari lahir) dan dibuatkan upacara, hewan dan tumbuhan pun diupacarai, bahkan benda mati (alat-alat rumah tangga dan alat bekerja) juga mendapatkan hal yang sama. Yang terpenting memang bukan fisik dari upacara itu, tapi makna bagaimana kita bisa melihat lingkungan di sekitar kita layaknya diri kita sendiri. Sehingga lingkungan tidak dirusak seenaknya seperti yang ramai terjadi belakangan ini.
Tak ada yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Manusia pun begitu, upacara tinggal upacara, bahkan kadang tak lebih dari formalitas dan seremonial belaka. Demi uang, semua dijual, semua dirusak, pelinggih pura tempat para dewa pun minggir untuk dibangun hotel, villa dan semua tempat mencari uang.
Kita akui memang Bali tak bisa lepas dari pariwisata, tapi kalau boleh kita bertanya apakah semua akan kita jual untuk pariwisata, lalu apa yang akan tersisa untuk anak cucu kita? Apakah jawaban yang muncul seperti lelucon wayang Cenk Blonk?
”Lebih baik kita jual sekarang agar anak cucu kita nanti tidak bertengkar memperebutkan warisan”.
Mungkin sudah saatnya bagi kita untuk berpikir sejenak untuk merenungkan apa sebenarnya tujuan hidup ini, uang? Jangan lupa, uang ibarat laut yang kita seberangi untuk mencapai tujuan kita. [b]