Teks Luh De Suriyani, Foto Dasar Bali
Para sastrawan dan penikmat sastra merayakan satu abad tonggak sastra Bali modern di Fakultas Sastra Universitas Udayana, Agustus lalu. Para penulis sastra dengan Bahasa Bali diminta terus optimis berkarya di tengah kegelisahan stagnannya penikmat sastra dengan bahasa Bali.
“Para penulis sastra bahasa Bali sebagian besar berkarya dengan biaya sendiri dan mencetak sendiri. Skala penerbitannya kecil. Sastra Bali memang masih sangat marjinal,” ujar I Made Sujaya, penulis muda yang mempresentasikan makalah yang menggugat seberapa kokoh sastra Bali modern ini.
Sejumlah penyebabnya, menurut mahasiswa S2 Linguistik Fakultas Sastra Universitas Udayana ini adalah sangat sedikitnya buku kritik sastra dan minimnya kegiatan yang disukai anak muda untuk mempelajari dan berkarya. “Tidak masalah komunitas penikmatnya kecil tapi harus terus digiatkan. Saya optimis banyak penulis muda yang ingin membuat karya dengan tema kritis seperti konflik adat dan fenomena bunuh diri,” tambah Sujaya.
IDG Windhu Sancaya, penulis dan dosen Fakultas Sastra Unud juga menyebut posisi sastra Bali sangat tidak menguntungkan dan terus hidup terpencil hingga sekarang. “Popularitasnya kalah jauh dari lagu pop Bali. Kalah populer di generasi muda maupun tua,” ujarnya.
Windu mengatakan sangat sulit mendapat respon terhadap karya sastra berbahasa Bali karena keringnya gagasan. Ia menyebut perlunya karya sastra mengikuti industri modern misalnya radio, televisi, dan teknologi.
Windu memaparkan kehidupan sastra Bali modern, untuk mengelompokkan karya dalam Bahasa Bali tapi dengan tema populer itu. Pada 1910, diketahui ada karya-karya I Wayan Djiwa dan I Made Pasek. Sekitar 20 tahun vakum karena tak ditemukan karya sastra lain, lalu pada 1939 ada novel Gde Srawana berjudul Mlancaran ka Sasak, lalu pada 1959 terbit puisi Bali oleh Suntari Pr di Majalah Medan Bahasa.
Sejak 1969, pemerintah mulai memuat berbagai lomba penulisan sastra Bali modern dalam bentuk cerpen, puisi, drama, dan lainnya. Dari lomba ini mulai dikenal nama-nama Gobiah, Nyoman Manda, Made Sanggra, Tusthi Eddy, dan lainnya.
Sejumlah lembaga yang masih mengapresiasi karya sastra Bali modern ini adalah Yayasan Kebudayaan Rancage dan Bali Post edisi Minggu yang menampilkan Bali Orti, halaman khusus dalam bahasa Bali, Majalah Buratwangi, dan lainnya.
“Kita harus berhenti mengkeramatkan sastra. Karena dahulu perintis sastra Bali modern hanya menulis dan tak memikirkan harus membuat sebuah karya sastra,” kata Windhu Sancaya.
Tak heran, niat anak muda menekuni sastra Bali terhadang mitos keramat itu. Menurut data Fakultas Sastra Udayana, pada 2008 hanya ada 32 orang mahasiswa di jurusan Bahasa Bali, dan pada 2009 meningkat sedikit menjadi 40 orang. Salah satu juruasan yang paling sedikit mahasiswanya di Udayana dan tak pernah mencapai angka 100 orang mahasiswa.
Sejumlah beasiswa bantuan telah digulirkan untuk menarik perhatian mahasiswa namun dinilai belum cukup mampu menggairahkan dunia sastra Bali.
Walau masih diperdebatkan, tonggak satu abad sastra Bali modern yang diperkirakan bermula pada 1910-an ini didiskusikan dengan cukup meriah dengan berbagai kritik terhadap pengembangan sastra Bali. Bagaimana tonggak satu abad ini diperkirakan, dibahas dalam buku karya I Nyoman Darma Putra berjudul Tonggak Baru Sastra Bali Modern yang diterbitkan kembali pada tahun ini.
“Buku edisi terbaru ini lebih engkap dengan foto-foto sejumlah sastrawan di awal-awal 1910an dan profil para tokoh perintis sastra Bali modern,” ujar Darma Putra.
Dalam covernya, buku ini berisi foto salah satu tokoh perintisnya yakni I Made Pasek, yang diyakini sebagai pelopor penulisan sastra Bali modern dalam bentuk karya cerpen pada 1910. Sebelumnya, tonggak sastra Bali modern dianggap terjadi pada 1931, tahun terbitnya roman karya Wayan Gobiah, Nemoe Karma.
Darma Putra menemukan karya-karya Made Pasek di perpustakaan Leiden University dan National Library of Australia. Penelusuran karya sastra yang tak terdokumentasikan di Bali ini pun lewat internet.
Kala itu karya-karya Pasek menggunakan bahasa Bali huruf latin, yang dikenal sebagai huruf Belanda. Sejumlah buku yang memuat cerpen itu di antaranya Catur Parenida yang terbit tahun 1913 di Semarang. [b]
Foto diambil dari Dasar Bali.
Om Swastiastu,
Saya gd sastra 28 tahun single, sangat terkesan sekali dengan semua guratan pena jemari Mbok Luh De,
Kalo berkenan, mohon sempatkan untuk mengulas berita/tulisan tentang muda-mudi subak bali yang ingin sekali kami gerakkan.
blog via: muda-mudisubakbali.blogspot.com
nanti sastra up load.
Suksma banget
Gd Sastra
0815588 12345