Timur Laut. Ke sana arah yang dituju oleh sang Ruh setelah dari Pura Dalem.
Di sanalah hulu menurut tradisi. Hulu berarti kepala. Ke puncak kepala, Ruh menuju. Biasanya, yang dimaksud dengan kepala adalah gunung. Ke puncak gunung perjalanan dilanjutkan. Sepanjang perjalanan, ada banyak keindahan yang ditemukan oleh sang Ruh.
Bunga-bunga, sungai, kumbang, juga pepohonan yang menjalar. Suara kumbang yang mendengung seperti rapalan mantra Pandita suci yang memohon kepada Sang Hyang Goripati.
Bagaimana Ruh tahu arah yang tepat menuju Hulu? Petunjuk jalannya adalah sebuah sungai bernama Sarayu. Sungai Sarayu yang airnya konon sangat hening itu diikuti oleh sang Ruh. Di pinggirnya, ada sebuah batu putih tipis dipayungi daun cepaka. Sungai Sarayu dalam beberapa teks kakawin memang disebut-sebut sebagai jalan kematian.
Ada beberapa judul teks yang menyebutkan sungai Sarayu dan hubungannya dengan kematian. Di antaranya adalah teks kakawin Sumanasantaka, Kala Jagra, Kala Tattwa, Swacandamarana, dan lain sebagainya. Semisal teks Sumanasantaka, menjelaskan bagaimana cara mati yang benar bagi para tokoh-tokoh dalam kakawin Sumanasantaka. Juga Swacandamarana, teks yang berbicara tentang bagaimana cara memilih waktu mati yang benar.
Di dekat sungai Sarayu dan batu tipis putih, sang Ruh membersihkan diri. Seekor buaya tiba-tiba muncul dari bawah sungai. Mulutnya menganga dengan gigi yang tajam. Sedikit lagi, sang Ruh bisa saja diterkam. Tapi gagal, karena lekas Ruh itu berkelit.
“Kau adikku. Tak pantas kau menyakitiku,” kata sang Ruh kepada Buaya.
Dengan nada meyakinkan, sang Ruh menjelaskan siapa Buaya itu sesungguhnya.
“Kau adalah Ari-ari yang menjelma Buaya. Kau saudaraku. Tidak ada saudara yang boleh menyakiti saudaranya sendiri. Justru seharusnya kau menolongku. Tolonglah seberangkan aku segera dari sungai yang dalam ini.”
Buaya itu konon adalah saudara sang Ruh. Ternyata Ruh bersaudara dengan buaya. Mungkin itu sebabnya, sewaktu masih hidup banyak Ruh yang mahir menjadi buaya. Laki atau perempuan sama saja. Sungai Sarayu pun berhasil diseberangi, perjalanan dilanjutkan: Timur Laut!
Tibalah saatnya perjalanan memasuki hutan lebat dan menyeramkan. Segala jenis pohon dan binatang ditemui sepanjang perjalanan. Tiba-tiba terdengar suara menggelegar, semua binatang hutan terdiam. Raksasi Sirsa nama pemilik suara menyeramkan itu. Belum lagi berhenti teriakan Raksasi Sirsa, satu Raksasa lain muncul lagi. Kepalanya gundul!
Kedua raksasa itu mencegat sang Ruh. Raksasi Sirsa dengan matanya yang mendelik, cukup membuat takut seluruh penghuni hutan. Tapi tidak dengan sang Ruh. Dia berdiri tegak lalu mendekati si Raksasi.
“Kau adalah Ibuku. Kau menjelma dari cahaya Baga Wasa,” ungkap sang Ruh.
Raksasi Sirsa yang mendengar perkataan sang Ruh kemudian diam. Ternyata Raksasi Sirsa adalah ibu sang Ruh menurut Aji Palayon. Tapi kenapa sang Ruh memiliki ibu raksasa? Begini penjelasannya.
Raksasi Sirsa itu konon berasal dari cahaya Bagawasa. Bagawasa adalah sebutan untuk tempat dari mana manusia dilahirkan: Rahim. Menariknya, dalam teks Aji Palayon rahim konon bercahaya. Rahim jenis apakah itu yang bisa bercahaya? Saya bukan ahli perahiman, tapi biasanya ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh pengarang dengan cara simbolik seperti itu. Aji Palayon bukan satu-satunya teks yang membicarakan hal itu dengan cara berbeda. Semisal teks Calonarang, menyebut rahim sebagai Sadkosa. Sad artinya enam, kosa artinya lapisan. Itulah rahim.
Tidak aneh jika sosok Ibu dengan rahimnya disebut menyeramkan seperti Raksasi. Silahkan bayangkan jika seorang Ibu yang mahapengasih itu tiba-tiba marah. Saya sendiri sungguh tidak akan kuat menahan amarahnya. Pastilah Ibu terlihat menyeramkan, seperti penggambaran Dewi Durga saat marah.
Tapi bukankah kepada yang menyeramkan itu manusia menyerah kalah karena takut? Bukankah karena takut, kemudian manusia memuja-muja? Ada banyak ketakutan yang diproduksi oleh manusia, salah satu di antaranya adalah takut pada neraka. Takut kepada hukuman-hukuman yang mungkin dinikmati setelah kematian. Barangkali di sanalah kemudian, agama mendapat tempat untuk mengarahkan manusia kepada perilaku yang baik. Sebelum kemudian agama menjadi suatu kekuatan yang super duper sensitif.
Menurut cerita dalam sumber yang berbeda, Ibu Durga yang sedang marah itu bisa mengalahkan raksasa Mahisasura. Cerita itulah yang kemudian melegitimasi upacara caru. Jadi wajarlah ketakutan kepada sosok Ibu dimiliki oleh manusia. Bukankah memang kepada Ibu mestinya ketakutan dan kasih sayang itu diserahkan? Karena dari Ibu manusia lahir, dan kepada Ibu [baca: Bumi] pula manusia kembali. Sayangnya tidak pada masa kini, Ibu justru menjadi sosok yang selalu disakiti. Dikeruk, ditimbun, diurug, digali, diinjak, dihina, ditinggalkan, dijual! Bahkan tanpa permohonan maaf sekalipun.
Tidak salah juga Ibu disebut menyeramkan. Sebab shastra Jawa Kuna sering bekerja dengan cara terbalik. Durga, sosok menyeramkan itu menurut ceritanya adalah sosok paling welas asih karena memberikan banyak anugerah. Salah satu tokoh yang mendapatkan anugerah adalah Sutasoma. Tokoh lainnya adalah Pedanda Sakti Ender.
Menurut Aji Palayon, karena sang Ruh mengetahui Ibunya, maka Ibu Raksasi Sirsa akhirnya bersedia minggir dari jalan yang akan dilalui oleh sang Ruh. Lalu perjalanan dilanjutkan. Sebuah jurang menghadang di depan. Di jurang itu ada lubang tempat tinggal seekor Macan Merah yang ganas. Seperti sebelumnya, sang Ruh tahu kalau macan itu adalah jelmaan saudaranya. Sang macan adalah wujud dari darah.
Sementara perjalanan berlanjut, tiba-tiba seekor ular melesat entah dari mana. Sang Ruh kaget dan merasa akan ada sesuatu yang menghalangi perjalanan. Saat itu pula, seekor Anjing Hitam besar dan tinggi menghadang. Sang Ruh berkata bahwa Anjing itu adalah saudaranya. Anjing Hitam itu adalah penjelmaan air ketuban.
Sudah ada tiga “saudara” yang ditemuinya sepanjang perjalanan. Buaya, Macan Merah, lalu Anjing Hitam. Ketiganya konon penjelmaan dari Ari-ari, Darah dan Air Ketuban. Ketiganya adalah anggota saudara manusia. Menurut ajarannya, manusia konon memiliki empat saudara saat dilahirkan. Keempat saudara itu disebut Kanda Empat. Siapa sajakah saudara itu? Tiga di antaranya sudah disebutkan dalam Aji Palayon. Sekarang tinggal mencari yang keempat.
Matahari terik di atas, sang Ruh konon juga bisa kepanasan. Ruh yang kepanasan itu juga konon kehausan. Saya hampir tidak mengerti, bagaimana mungkin Ruh bisa panas dan haus. Tapi mungkin saja bisa, siapa tahu. Saat kehausan, ia ingin minum air dari sebuah mata air. Tepat pada saat itu ada gerombolan Raksasa yang datang. Raksasa-raksasa itu ingin memakan sang Ruh.
Sang Bawal, Sang Mrajasela, Sang Badmoti dan Sang Badpamyad. Itulah empat nama raksasa yang ingin memakan sang Ruh. Keempatnya sudah dikenal betul oleh sang Ruh. Dengan fasih, sang Ruh menyebut nama raksasa-raksasa itu satu persatu. Menurut aturannya, jika ada Ruh yang bisa menyebutkan nama-nama raksasa itu, maka Ruh itu haruslah dilepaskan. Tapi konon saking laparnya, keempat Raksasa itu masih ingin memakan sang Ruh.
Sang Ruh berkata, “di rumah, sedang dilakukan upacara kematian untuk diriku. Pergilah kesana, kalian bisa mendapatkan makanan disana.”
Pergilah raksasa-raksasa itu ke rumah sang Ruh. Di sanalah keempat raksasa itu bisa mendapatkan makanan. Makanan yang dimaksud adalah bebantenan. Ada beberapa penjelasan tentang banten yang dipersembahkan kepada raksasa-raksasa yang datang saat upacara kematian dilangsungkan. Tentu saja bebantenan itu akan rumit untuk dijelaskan. Ada baiknya kita diskusikan nanti saja, tidak disini.
Singkat cerita, sang Ruh tiba di persimpangan jalan. Persimpangan itu disebut Marga Telu. Sebagaimana namanya, persimpangan ini terpecah menjadi tiga jalan. Ada beberapa sumber lain yang membicarakan Marga Telu ini. Menurut sumber-sumber itu, Marga Telu adalah jalan untuk mengalirnya makanan [anawaha], air [toyawaha] dan udara [pranawaha]. Ketiganya adalah sebutan lain untuk Tri Nadi. Di tempat itu konon sang Ruh beristirahat.
Tiba-tiba angin bertiup sangat kencang, pohon-pohon tercabut dari akarnya. Empat sosok Kala datang menghadang. Keempatnya ingin menyakiti sang Ruh. Sang Ruh yang telah mengetahuinya, segera berkata, “Bli, sang Suratma, sang Jogormanik, adikku sang Mahakala dan sang Dorakala, aku ini saudaramu”.
Sekali lagi sang Ruh dengan fasih menyebutkan nama-nama Kala yang menghalangi jalannya. Bahkan sang Ruh dapat menjelaskan siapa dan di mana sebenarnya keempat saudaranya itu berasal dan tinggal. Tempat tinggal keempat Kala itu diistilahkan dengan sebutan Dwipa. Ada yang bernama Gemeda Dwipa, Puskara Dwipa, Sangka Dwipa dan Kusa Dwipa.
Keempatnya tidaklah jauh letaknya. Tiap Dwipa merepresentasikan satu buah organ tubuh manusia. Jadi istilah Dwipa dalam konteks ini adalah tubuh. Berikut ini letak masing-masing Dwipa berdasarkan teks Aji Palayon. Gemeda Dwipa adalah jantung. Puskara Dwipa adalah tempat bertumpuknya hati. Sangka Dwipa adalah ginjal. Kusa Dwipa adalah Nyali atau Empedu. Masing-masing tempat itu konon memiliki jalan tembus. Masing-masing jalan tembusnya adalah sebagai berikut. Gemeda tembus ke mulut. Puskara Dwipa tembus ke mata. Sangka Dwipa tembus ke telinga. Kusa Dwipa tembus ke hidung. Tubuh ini seperti kota-kota besar yang punya jalan tembus.
Sekali lagi, tubuh ini menurut Aji Palayon adalah penjara yang mengurung Ruh. Di penjara itu pun, ada lagi sub-sub penjara yang lain. Jantung, Nyali, Hati, Ginjal, semua organ itu dianggap sebagai pulau yang dihuni oleh Kala bernama Jogormanik, Suratma, Mahakala dan Dorakala. Mereka seperti saudara yang menjaga kenyamanan sang Ruh. Sayangnya tidak banyak yang mengingat mereka semasa hidup. Berbeda dengan sang Ruh dalam Aji Palayon. Semua telah diketahui oleh sang Ruh, maka keempat Kala tadi kemudian menyingkir. Sang Ruh melanjutkan perjalanan sampai di sebuah kolam dengan bunga-bunga yang indah. Di sana juga terdapat pancuran. Namanya Pancaka Tirtha. Apa yang dilakukan Ruh di tempat itu?
Bagian pertama serial esai ini bisa dibaca di sini Aji Palayon 1
Comments 0