Makin banyak petugas keamanan mirip pecalang dan melakukan tugas di luar wewenangnya.
Karena itulah, Majelis Desa Pekraman Bali mengeluarkan panduan tatakrama (sesana) bagi Pecalang. Tujuan untuk menghindari penyalahgunaan fungsi pecalang.
Aturan detail ini disahkan akhir tahun lalu dan disebarkan dalam Buku Tuntunan Sesana Pecalang Bali yang dibuat Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP) Bali. “Belum ada persepsi yang sama megenai tatakrama pecalang dalam menjalankan tugasnya,” sebut Bendesa Agung MUDP Jero Gede Putu Suwena Upadesha.
Pecalang adalah satuan tugas keamanan tradisional masyarakat Bali yang mempunyai wewenang menjaga keamanan dan ketertiban di desa adat atau pekraman. Pada awalnya tugas pecalang sederhana, melaksanakan keamanan saat hari raya Nyepi. Tugasnya membantu pengawasan wilayah dan berkoordinasi dengan pengurus desa lainnya.
Saat ini tugasnya makin kompleks, karena juga berurusan dengan pecalang desa lain atau aparat keamanan Negara. “Kalau yang melakukan tugas menjaga kafé atau klub diskotik itu bukan pecalang,” kata I Ketut Sumarta, Sekjen MUDP Bali.
Istilang pecalang disebut, kemungkinan besar dari akar kata Cala yang dalam bahasa Sansekerta atau Jawa Kuno berarti goyah atau miring. Kemudian diberi awalan “a” sehingga menjadi acala yang berarti tegak, kukuh, harmonis. Orang yang melaksanakan disebut Pacala sehingga merujuk pada orang atau penanggungjawabnya.
Kesatuan hukum masyarakat adat di Bali berlandasrkan filosofi Hindu Tri Hita Karana atau tiga penyebab kebahagiaan, yakni alam, manusia, dan Tuhan. Pecalang sebagai satuan pengamanan hukum adat juga menjadi bentuk pengamanan swakarsa. Sehingga bisa membantu polisi dalam melaksanakan tugas tertentu.
Landasan hukum pecalang tertuang dalam Peraturan Daerah tentang Desa Pekraman. DIsebutkan pecalang melaksanakan tugas pengamanan dalam wilayah desa pekraman dalam hubungan tugas adat dan agama. Petugas pecalang diberhentikan oleh desa.
Kemudian diperjelas dalam Keputusan Majelis Desa Pekraman tentang Tuntutan Sesana Pecalang yang disahkan akhir 2013 lalu. Dalam Sesana ini disebutkan struktur organisasi pecalang tiap desa terdiri dari pimpinan (manggala). Meliputi, Ketua (Kelihan), sekretaris (Penyarikan), bendahara (Patengen), dan komunikator (Kasinoman). Jumlah dan tambahan pengurus lainnya bisa disesuaikan leh desa.
Sesana tersebut mengatur mengenai hubungan internal dan eksternal pecalang dengan desa pekraman. Tugas utamanya adalah kemanan dalam setiap kegiatan desa adat seperti upacara. Kemudian jika perlu penutupan jalan untuk upacara Ngaben atau lainnya, harus berkoordinasi dengan kepolisian.
“Pemanfaatan pecalang untuk kegiatan di luar urusan adat Bali dan agama Hindu oleh pihak lain wajib mendapat izin majelis desa pakraman,” sebut Sumarta.
Saat ini pecalang seluruh desa pakraman di Bali menghimpun diri dalam wadah Pasikian Pecalang Bali yang ada di tingkat keamatan, kabupaten, dan provinsi.
Syarat menjadi pecalang adalah warga desa pakraman, sehat jasmani dan rohani, serta bisa membaca dan menulis. Pecalang juga bisa diberhentikan juga berhenti atau melanggar aturan sesana ini.
Selain menjaga ketertiban kegiatan desa, pecalang juga bisa memberi pertolongan ke warga desa dan pendatang. Menyelidiki masalah yang bisa menimbulkan masalah di desa dan melaporkannnya ke pimpinan desa. Sesana ini juga menyebutkan wewenang pecalang, di antaranya menahan terduga pelaku kejahatanyang tertangkap tangan untuk diserahkan ke polisi. Dalam tugasnya, pecalang wajib menggunakan seragam saat bertugas kecuali dalam kondisi darurat.
Seragam pecalang yang diwajibkan adalah udeng merah, baju putih lengan pendek dengan rompi hitam. Kain atau kamen hitam dengan kancut, dan saput (kampuh) hitam putih. Sebagai tambahan ada keris yang diselipkan di pinggang. [b]