Dari Rp 1.600 triliun APBN, Desa hanya mendapat 2,6 persen.
Begitu Budiman Sudjatmiko mengungkapkan dalam Seminar Nasional Undang-Undang Desa yang diselenggarakan oleh Tim Sosialisasi UU Desa dan Kabar3 bekerja sama dengan Sloka Institute.
Seminar Nasional Undang-undang Desa diselenggarakan di Gedung Teater Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, pada Jumat (7/3). Acara dibuka oleh Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Dr.Drs. I Gst Pt. Bagus Suka Arjawa, M.Si.
“Seminar ini sangat positif, baik dari segi sosial maupun dari segi akademis, karena dapat secara langsung memaparkan bagaimana dan seperti apa undang-undang desa tersebut. Sehingga nantinya dapat memberikan solusi dari permasalahan, seperti terjadinya dualisme di suatu Desa,” ungkap Suka Arjawa.
Seminar ini menghadirkan tiga pembicara yaitu Budiman Sudjatmiko, selaku Anggota DPR RI dan Wakil Ketua Pansus RUU Desa, I Ketut Sumarta selaku Sekjen Majelis Utama Desa Pekraman/MUDP Bali, serta I Gede Made Astana Jaya selaku Manajer Jaringan Ekowisata Desa (JED).
Materi pertama dibawakan Budiman Sudjatmiko, MSc, MPhil yang membahas mengenai posisi dan situasi suatu desa, serta konsep desa dalam desain UU desa. Budiman mengatakan bahwa dari 56 persen aset nasional, hanya 0,2 yang dapat dikuasai oleh penduduk. “Masalah desa tidak berasal semata-mata dari desa, melainkan berasal dari kebijakan struktural yang melemahkan desa. Namun terlepas dari itu, desa berpeluang memiliki semua sumber daya yang dibutuhkan untuk membangun,” jelas Budiman.
Menurutnya, tujuan dibuatkan Undang-undang Desa ini adalah agar suatu desa mampu dikelola oleh perangkat desa atau lembaga desa, bukan oleh partai, sistem pertahanan, intelijen, dan lainnya.
“Pembangunan adalah urusan orang banyak sehingga diperlukan usaha bagaimana mendekatkan yang berkuasa dan berdaulat tersebut,” tutup Budiman yang percaya bahwa kemakmuran Indonesia bergantung pada kedaulatan dan kesejahteraan rakyat di 72.944 desa.
Namun, I Ketut Sumarta mempersoalkan UU 6/2014 mengenai suatu desa yang terdiri dari desa dan desa adat. “Jika memilih desa dinas saja, maka desa adat akan terabaikan mengingat desa adat sebagai pemilik dan pemelihara budaya. Namun, jika memilih desa adat saja, maka kelurahan harus melewati proses menjadi desa terlebih dahulu. Artinya, apabila Bali memilih hanya salah satu, maka itu salah besar,” jelas Ketut Sumarta.
Berdasarkan permasalahan tersebut, Ketut Sumarta menawarkan model suatu desa adat Bali pasca UU desa. Dalam konsepnya, suatu desa memiliki dua perangkat penting, yakni Prajuru Urusan Dharma Agama dan Prajuru Urusan Dharma Negara.
“Prajuru Urusan Dharma Agama yang bersifat internal, bertugas mengurus keagamaan, adat, budaya, dan karma. Sedangkan Prajuru Urusan Dharma Negara yang bersifat eksternal mengurusi masalah administrasi keuangan, kependudukan, perijinan, dan fasilitas umum,” beber Ketut Sumarta.
Di sisi lain, Jaringan Ekowisata Desa (JED) memiliki suatu alternatif dengan mengangkat kembali potensi-potensi desa wisata. Made Astana membeberkan potensi wilayah Jaringan Desa (JED) meliputi Plaga, Sibetan, Tenganan, Nusa Ceningan, dan Yayasan Wisnu.
Melalui JED tersebut, jumlah pendapatan di tahun 2013 pun meningkat sebanyak 367 juta. “Dengan disahkannya UU Desa, diharapkan tidak menimbulkan konflik di masyarakat mengingat elemen masyarakat desa adat yang komplek,” harap Made Astana. [Alit]