Blora, 6 Februari 1925.
Sembilan puluh satu tahun lalu, seorang bayi, kelak diberi nama Mas Pramoedya Ananta Toer lahir. Ketika itu, belum lagi ada Indonesia. Hindia-Ollanda, sebutan untuk negeri Timur koloni Belanda itu, masih mencari bentuknya.
Suatu episode di mana muncul arus-arus pergerakan, suatu zaman penuh kegelisahan, tidak saja bagi kalangan penguasanya yang berkulit putih, tapi juga pribumi berkulit cokelat jajahannya.
Mungkin tak terbayangkan jika bayi mungil itu kelak akan menorehkan sejarah melalui mata penanya. Rangkaian karya-karyanya menjadi api yang memantik semangat kaum muda, tidak saja pada masa lalu, tapi juga hingga kini.
Pergulatannya dalam menghadapi zaman seakan-akan menjadi bekal guna membuka cakrawala sejarah panjang Republik.
Dalam semangat itulah, pada Sabtu, 6 Februari 2016, Taman Baca Kesiman menyelenggarakan kelas Pramoedya. Acara ini dipandu oleh Roberto Hutabarat dan Nugraha Kantjasungkana.
Tidak saja menarik banyak pengunjung, ragam peserta yang hadir menunjukan betapa karya Pram menarik minat pembaca dengan berbagai latar belakang. Ada mahasiswa, pegiat jurnalisme warga, kritikus sinema, juga kaum muda pekerja. Semuanya hadir dan terlibat dalam diskusi pada suatu sore di Taman Baca Kesiman.
Dalam kesempatan ini, Roberto bercerita tentang kesan-kesannya dalam membaca Pram. Petualangannya dalam menyebarkan pamflet-pamflet dalam suatu periode di mana Soeharto sedang berada dalam puncak kekuasaanya, yang semuanya, terinspirasi setelah membaca karya-karya Pram.
Juga kegelisahan yang dialami ketika menemukan kembali sejarah pergerakan Indonesia, yang selama ini diketahuinya hanya dari satu sumber, Rezim pengetahuan Orde Barunya Soeharto, hanyalah rekaan, dan bukan satu-satunya rujukan sahih. Melalui karya Pram ia menemukan inspirasi, dan menjadi sumber energinya dalam aksi-aksinya dikemudian hari.
Bang Nug, panggilan akrab untuk Nugraha, dengan suaranya yang tenang, menerangkan riwayat perjalanan Pram dan konteks-konteks yang melatari sejarah perkembangan gagasan dalam tulisan Pram. Dengannya juga ia berarti menerangkan, sedikit banyak, tentang sejarah Indonesia, yang dituturkannya dari sudut pandang keluarganya.
Ini menjadi menarik, melihat bagaimana benang merah gagasan Pram terbentuk dan dibentuk, serta dialami oleh sebuah keluarga yang paralel ceritanya dengan narasi dalam keluarga.
Dengan suara kalem, kelihatan kalau Bang Nug begitu terkesan dengan Pram. Beberapa kali dalam diskusi, ia selalu bilang, ”Gila itu Pram…” ungkapan yang menurut saya justru menunjukan betapa tingginya ia melihat pribadi seorang Pram.
Saya sendiri menikmati acara sore itu, bersama dengan kawan-kawan lain, meski sayang sekali tidak ada materi atau bahan yang bisa dibaca kembali. Meski begitu, di Taman Baca Kesiman tersedia koleksi buku Pram yang relatif lengkap, “…hampir 90% karya Pram ada di sini,” kata Bang Roberto.
Sore itu waktu berjalan cepat. Cuaca yang hangat, setelah beberapa hari kota Denpasar diguyur hujan sepanjang waktu. Matahari mulai tenggelam di sudut langit, ketika diskusi semakin hangat.
Bang Roberto kemudian bertanya, ”Dalam konteks hari ini, kira-kira buku Pram yang mana paling relevan?”
Dari bagian peserta kemudian menjawab, ternyata Anton, ”Bagi saya Arus Balik sih, paling relevan. Terutama fragmen penyerbuan ke Temasek. Bagi saya itu terasa sekali, bagaimana niat melawan arus zaman, kapitalisme industri pariwisata, jika kita hendak berbicara tentang Bali, dan upaya kawan-kawan forBali dalam menolak reklamasi Teluk Benoa.”
Saya sendiri, yang belum menamatkan Arus Balik-nya Pram cuma manggut-manggut, dan berjanji pada diri sendiri untuk membaca ulang itu buku.
Akhirnya, remang senja disusul gelap malam. Diskusi ditutup dan saya pulang. Mungkin lain kali bisa diadakan acara yang mulai secara spesifik membaca karya-karya Pram, atau karya siapa saja. Saya kira, membagi bacaan dan mengapresiasinya merupakan keniscayaan, semenjak warisan Pram belum lagi seluruhnya bisa kita telaah dengan baik. [b]
Comments 2