Oleh Sugi Lanus
Bagi orang Bali, tubuh bukanlah sekedar obyek seksualitas, tapi juga obyek ekstetik. Tubuh adalah wahana kita mengungkapkan jiwa dan ekspresi estetik kita.
Pendekatan RUU Pornografi semata-mata memandang tubuh sebagai isu moral dan tidak sensitif terhadap keberagaman masyarakat Indonesia yang multikultur dalam memandang tubuh dan ketelanjangan. Definisi RUU Pornografi sangat bias dan dangkal dalam melihat tubuh, tidak punya ketajaman dalam membatasi apa yang dimaksud dengan pornografi. Lihat Papua, lihat seniman Bali, lihat candi-candi purba.
Tidak semua rumpun bangsa ini, tidak semua ranah budaya di bumi Nusantara ini menabukan ketelanjangan. Mereka punya perspektif ecocentris, tidak sama dengan para “polisi moral”. Bagi mereka ketelanjangan keintiman dengan semesta, keterbukaan adalah keseharian mereka yang mencerminkan kedekatan mereka dengan alam. Kelamin, imaji persetubuhan, dalam konsepsi Bali tidak melulu ditabukan, ketelanjangan dan persetubuhan bisa jadi renungan estetik dan religius.
Seperti juga Suku Asmat, orang Bali punya renungan mendalam dan filosofis melihat tubuh. Lihat sebuah tarian sakral di Trunyan, tarian tersebut bercerita tentang persetubuhan semeseta, simbolik dan sublim, lambang kesuburan. Lingga dan Yoni adalah manisfestasi keilahian yang mewujud dalam alam semesta.
Sekali lagi, kalau kita cermati dengan teliti, RUU ini memangkas cara berpikir yang holistik. Tubuh dipandang hasrat seksualitas, diskriminatif dan tidak punya sensitifitas kebhinekaan dalam memandang tubuh. Persoalaan materi seksualitas dan pornografi dalam RUU Ponografi ini dilihat secara monolitik, memandang tubuh sebagai persoalaan moral.
Saksikan saja Borobudur, ada bagian yang ditutupi yaitu bagian Kamadatu: Untuk mencapai pencerahan bathiniah seseorang harus mampu memahami dan melampaui tahapan tubuh dan persoalan gairah yang melingkupi pikiran kita. Kalau ingin memasuki kesadaran bathin yang tidak tersentuh gairah seksuil, orang harus merenungi dan melampaui seksualitas itu sendiri.
Sudah diatur dalam KUHP dan UU lain
Perlu dicatat bahwa kelompok yang menolak RUU Pornografi tersebut bukan berarti kami mendukung pornografi. Kami menolak tegas pornografi dan pelanggaran kesusilaan dengan pengaturannya berdasarkan penegakan pasal-pasal kesusilaan sebagaimana perundang-undangan dan peraturan yang ada.
Dalam perspektif sinkronisasi perundang-undangan nasional, RUU Ponografi ini harus ditolak karena justru “meniadakan” peraturan lainnya yang telah ada. Salah satu argumen yang dikemukakan oleh penggagas RUU Pornografi ini adalah: bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat;
Bila kita menilik perundang-undangan yang ada, justeru beberapa peraturan dan UU sangat tegas dan jelas mengatur hal tersebut. Beberapa perundangan tersebut yang telah mengatur persoalan pornografi harus segera ditegakkan oleh penegak hukum di negera ini. Jadi jawabannya bukan UU baru, tapi penegakan hukum.
Dapat dijabarkan undang-undang yang telah tersedia sebagai berikut: KUHP Pasal 282 dan 283, UU No 32 Th 2002 Tentang Penyiaran, UU No 1 Th 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No 182, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 7 tahun 1994, UU No 40 Th 1999 tentang Pers, UU No 8 Th 1992 tentang Perfilman.
Melihat sudah banyaknya aturan yang telah dibuat, maka penyusunan RUUP ini sama sekali tidak penting. Dan seharusnya sudah dapat disadari oleh pihak-pihak yang berkeras ingin memberlakukan aturan terhadap pornografi.
Pornografi yang marak bukan cermin ketiadaan UU, tapi cermin bahwa di negara ini lemah dalam hal implementasi kebijakan. Banyak sekali aturan dibuat tetapi apakah dapat menjamin pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan pada hak dasar (asasi) manusia yang sifatnya sangat universal, dan jelas diakui oleh negara ini dengan meratifikasi Deklarasi HAM yang termuat dalam Undang-Undang No 39 Tahun 1999; ini adalah pertanyaan yang juga relevan diajukan saat ini.
Bagian-bagian dari RUU Pornografi ini justru menempatkan perempuan pelaku kriminal. RUU ini tidak sensitive gender atau gender mainstreaming.
Hal lain yang patut menjadi perhatian penting
Pembahasan RUU ini sangat tidak mengikuti mekanisme yang sudah diatur dalam UU No 10 Tahun 2004 Tentang Tatacara Pembuatan Undang-Undang. Dari beberapa sumber didapatkan adanya pelanggaran terhadap Tata Tertib pembuatan Undang-Undang, misalnya banyak voting yang dipaksakan dalam situasi yang tidak kuorum.
Salah satu anggota Panja dari Fraksi PDIP (pernyataan diambil dari hasil audiensi dengan fraksi PDIP pada tanggal 30 Juni 2008 di Gd DPRRI Lt 5, Ruang 525, Pk 10.00 WIB) menyatakan ada tandatangan anggota Panja yang dipalsukan untuk memenuhi voting yang setuju pembahasan RUU ini diteruskan. Dan anggota Panja yang tidak hadir dalam rapat dinyatakan sebagai suara yang setuju.
Dan dalam UU No 10 tahun 2004 juga menyatakan bahwa prinsip pembuatan Undang-Undang harus memuat unsur kenusantaraan, dimana ini bisa diarahkan kepada propinsi-propinsi yang langsung menyatakan keberatan akan keberadaan UU ini, misalnya saja Bali, Papua, dan Suku-suku di Indonesia Timur. Jelas sekali UU ini sudah mengabaikan unsur-unsur keberagaman yang secara konten ditolak dalam beberapa pasal-pasal yang ada di RUU Pornografi.
Jika RUU ini disahkan jelas sekali, bahwa perda-perda diskriminatif dan bernuansa keagamaan tertentu akan lebih mendapatkan penguatan dan payung hukum nasional; RUU ini berpotensi untuk digunakan sebagai cantolan yang jitu untuk menguatkan bahwa Perda-Perda tersebut agar bisa tetap bertahan. Catatan terakhir, ada 973 Perda bermasalah yang dicabut Depdagri karena ketidakjelasan dan kontraversi, serta ketidakjelasan perundangan nasional yang bisa memayunginya. [b]
Catatan: Tiga paragraf terakhir diadaptasi dari Kertas Posisi ANBTI dan komponen masyarakat yang terhimpun menolak RUU Pornografi.
Sugi Lanus, Relawan Komponen Rakyat Bali (KRB)
kata pornografi jelas merujuk pada tubuh manusia bukan tubuh hewan. Jika tidak ada UU ini maka tubuh manusia akan disederajatkan dengan tubuh hewan, hewan tidak membutuhkan UU pornografi karena tidak merasa melanggar kesusilaan (porno) walau tanpa pakaian