Pasar Kumbasari pernah menjadi ikon modern kota Denpasar.
Masanya relatif pendek, antara akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Antara tahun itu, pasar di sisi barat Tukad Badung itu lebih populer dengan sebutan Pertokoan Kumbasari. Arti ‘pasar’ dan ‘toko’ jelaslah bedanya!
Pertokoan atau Pasar Kumbasari yang dilalap si jago merah awal Mei 2007 ini dulunya disebut dengan Peken Payuk (Pasar Periuk). Pasar Payuk ini di bawah kekuasaan Kabupaten Badung, sebelum daerah ini dipecah menjadi Kabupaten Badung dan Kota Denpasar.
Sesuai dengan namanya, Peken Payuk adalah pasar tradisional tempat orang menjual dan membeli alat-alat dapur seperti periuk, panci, coblong, dan jual-beli belanjaan dapur seperi bawang, daging dan sayur; ayam, bebek, dan telur. Juga buah-buahan dan janur.
Lokasi pasar ini agak di lembah sehingga untuk masuk ke pasar itu masyarakat harus menuruni undak dengan sekitar 12 anak, lebarnya sekitar 2,5 meter. Lokasi pintu masuk itu kira-kira sama dengan jalan masuk sekarang. Begitu turun masuk pasar, pengunjung sudah disambut oleh riuh-rendah suara ayam dan bebek, dan riuh-rendah tawar-menawar antara penjual dan pembeli. Juga denting panci dan periuk-periuk yang diketok-lembut telunjuk-lekuk untuk membuktikan barang itu bermutu!
Peken Payuk dirombak menjadi Pasar Kumbasari, diubah menjadi pasar modern untuk mengangkat kadar modernitas kota, pada zaman Kabupaten Badung di bawah kepemimpinan I Dewa Gde Oka. Prasasti peresmian yang ditandatangani Bupati IDG Oka tertempel di tembok sebelah kanan pintu masuk pasar dari Jl Gajah Mada. Sesuai prasasati, Pertokoan Kumbasari mulai hadir pada 22 Maret 1978. Sejak diresmikan berarti kini sudah 29 tahun usia Pasar Kumbasari.
Modernitas Kumbasari tampak pada fasilitas yang terdapat dalam pertokoan itu. Di pojok depan (timur laut) terdapat Restoran Hawaii, tempat turis yang melawat ke Denpasar suka duduk-duduk minum kopi atau juice, roti dan nasi goreng. Dari ruang restoran itu, wisatawan bisa menatap keanggunan pesona Pura Desa Denpasar. Deru bemo roda tiga juga membuat panorama kota tampak unik di mata turis sehinnga tak henti-henti mereka potret.
Di pertokoan itu terdapat banyak toko souvenir, tempat turis juga bisa membeli baju bali, ukir-ukiran, atau patung. Toko-toko baju juga banyak. Juga ada stand cuci-cetak foto. Saat itu, cuci-cetak foto selesai 45 menit baru muncul, menandai hadirnya teknologi baru di kota Denpasar.
Di lantai atas Pertokoan Kumbasari terdapat bioskop Kumbasari Theatre. Ini termasuk gedung bioskop baru, bisa dikatakan paling ‘muda’ dibandingkan gedung lain seperti Indra Theatre (pojok Jl Gajah Mada – Thamrin), Wisata Theatre kini jadi Ciniplex 21 (Jl Thamrin) dan Denpasar Theatre (Jl Diponegoro). Untuk menuju Kumbasari Theatre, pengunjung bisa naik tangga, bisa juga lewat eskalator. Gedung bioskop dan tangga berjalan ini adalah lambang lain hadirnya teknologi baru di Denpasar.
Warga kota atau masyarakat Bali umumnya menjadikan Lokitasari di Jl Thamrin dan Kumbasari di Jl Gajah Mada sebagai ‘mall’ utama untuk berbelanja, menonton bioskop, atau sekedar jalan-jalan cuci-mata. Pelajar atau remaja senang menonton film Sabtu sore dan Minggu siang untuk program “student show” yang harga tiketnya relatif terjangkau di kedua bioskop ini.
Kumbasari sempat menjadi pusat keramaian yang unik, campuran antara pertokoan modern dan pasar tradisional. Petang hari, di ujung selatan Kumbasari terdapat pasar malam, pasar senggol. Rombong sate kambing, nasi goreng, stand kaset, penjual obat kumis, mainan anak-anak ramai sekali sehingga membuat Kumbasari saat itu menjadi semacam ‘one stop shopping and entertainment’. Mobil belum banyak, memarkir sepeda motor gampang sekali. Keliling seputar Denpasar termasuk Kumbasari dengan sepeda motor nyaman sekali.
Walaupun sudah berubah menjadi pertokoan, aktivitas pasar seperti ketika bernama Peken Payuk tetap jalan di areal bawah Pertokoan Kumbasari. Pasar tradisional jalan mulai tengah malam sampai pagi menjelang siang. Karena campuran antara pasar tradisional dan pertokoan inilah Kumbasari menjadi ramai dan akibatnya Pertokoan Kumbasari lama-kelamaan kehilangan daya pikat. Kawin campur antara ‘mall’ dan ‘pasar tradisional’ rupanya tidak tepat. Dalam percampuran itu, tampaknya gèn pasar tradisional Peken Payuk yang menang.
Pengunjung Kumbasari merosot. Turis juga tak terpikat ke sana. Warga kota tidak nyaman refreshing ke tempat yang kotor dan bahu pindang karena aktivitas pasar tradisional. Pedagang suvenir, kain-kain, baju kaos kesepian tanpa pengunjung. Pada saat yang sama, mall lain seperti Matahari Duta Plaza dan New Dewata Ayu berdiri sehingga Kumbasari dalam arti pertokoan ditinggalkan publik. Bioskopnya pun redup dan berhenti operasi.
Sempat dulu di lantai atas Pertokoan Kumbasari dioperasikan usaha diskotik. Ini pun tidak berumur panjang karena pengunjung yang larut, saat ke luar diskotik menemukan motor dan kendaraannya dikelilingi pedagang sayur, susah ke luar. Gedung pertokoan yang bertingkat, yang dulu tampak megah, kini kehilangan pesona.
Mulai akhir 1980-an, pesona modernitas kota Denpasar bergeser ke mall yang lain, juga ke warung-warung makan, restoran, dan ‘internet café’. Pada saat yang sama, Kumbasari kian mengokohkan jati diri ‘tempo doeloe’-nya sebagai pasar tradisional. Kumbasari kembali tampi sebagai pasar tradisional. Dia tampil pèdè seperti tidak tergoyahkan arus modernisasi.
Walaupun transformasi Kumbasari dari pasar periuk menjadi pertokoan modern dan kembali ke pasar tradisional berjalan dalam prosesnya sendiri dan berlangsung beberapa tahun, rasanya begitu cepat, seperti kemarin saja! Atau, karena hanya dalam waktu relatif singkat, orang tidak pernah tahu bahwa Kumbasari pernah menjadi ikon-modern kota Denpasar. [b]