Oleh Wayan Sunarta
Dua perupa kontemporer unjuk kebolehan dengan garapan kolaborasi. Perupa tersebut adalah Filippo Sciascia dan Ugo Untoro. Sciascia kelahiran Italia 1972. Untoro kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah, 1970. Sciascia menetap di Ubud, Bali. Untoro bersemayam di Yogyakarta. Keduanya dipertemukan oleh kegelisahan yang sama dalam menelusuri jejak-jejak seni rupa kontemporer yang kini semakin marak ditekuni banyak perupa.
Kedua perupa ini merupakan tokoh yang lagi naik daun dalam kancah seni rupa kontemporer di Indonesia. Namun kedua perupa itu bertitik tolak dari teknik yang jauh berbeda dalam menggarap karya. Sciascia lebih mengandalkan kecanggihan teknologi digital dengan bantuan slide dan proyektor dalam melukis. Kecenderungannya adalah menampilkan potret wajah manusia dalam berbagai ekspresinya, tentu terkadang dengan pemiuhan atau distorsi di sana-sini. Berbeda jauh dengan Untoro yang lebih mengandalkan spontanitas dan kenyentrikan ekspresinya dalam melukis. Visual karya-karya Untoro sangat nyleneh, di luar pakem, nakal dan apa adanya, terkadang juga sangat sinis dalam melihat persoalan. Jadi, pertemuan mereka seperti perjumpaan mesin dengan daging, kekakuan fisik dan kelenturan jiwa, keseriusan dan kenakalan.
Konon di studionya masing-masing mereka menyiapkan karya-karyanya selama enam bulan. Mereka berkomunikasi dan berkolaborasi serta saling merespon tema yang muncul dari diskusi lewat SMS dan pembicaraan telepon. Kemudian pada suatu kesempatan, Untoro mengunjungi studio Sciascia di Ubud dan menggarap sejumlah karya kolaborasi. Dalam proses kolaborasi, Untoro lebih banyak bertindak sebagai pemberi sentuhan akhir pada karya-karya Sciascia.
Karya-karya kedua perupa ini kemudian dipamerkan dengan tajuk “Sciascia|Untoro” di Biasa Art Space, Kuta, Bali, sejak tanggal 24 Juli sampai 16 Agustus 2008. Lalu, apa yang menarik dari karya-karya mereka? Mari disimak.
Pada karya yang mengisahkan dua orang sedang minum, Sciascia dengan kecanggihan teknologi digital benar-benar memotret peristiwa dua orang sedang minum dan duduk berhadap-hadapan di meja bundar sebuah kafe sambil berbincang-bincang. Namun karya berjudul “Two Men Drinking on The Table” yang dibuat hitam putih ini diberi sentuhan aksen cat yang terkelupas dan retak-retak seolah ia ingin mengatakan bahwa sebuah pertemuan tidaklah selalu kekal. Ada kefanaan tersembunyi di situ. Selalu ada niat-niat yang disusupkan dalam sebuah pertemuan.
Sementara itu, Untoro merespon peristiwa dua orang yang sedang minum dengan sangat nyleneh. Lebih dari tiga perempat kanvasnya diblok warna putih agak kusam yang menandakan sebuah meja. Dan di sudut kanan atas dengan latar gelap dia menggambarkan dua sosok manusia berwarna putih mirip siluman duduk berdekatan, namun masing-masing tercenung larut dalam pikirannya sendiri. Karya Untoro yang berjudul “Two Men Drunk” ini lebih menegaskan kefanaan dari suatu hubungan maupun pertemuan.
Pada karya yang mengangkat kisah penyaliban Yesus, Sciascia lewat karya berjudul “Crucifix” dengan serius melukiskan betapa kelam dan kejamnya peristiwa penyaliban itu. Namun jauh berbeda dengan Untoro, lewat karyanya yang berjudul “Give Me a Cross!”, dia melukiskan Yesus yang berdiri dengan tangan terentang di udara tanpa salib. Ada kesan parodi dalam lukisan ini, seolah-olah Yesus sendirilah yang minta disalib. Inilah salah satu sisi kenakalan Untoro dalam menafsirkan peristiwa yang kemudian dituangkannya dalam karya.
Mau melihat kenakalan Untoro yang lain? Mari simak karya bertema bunga. Sciascia dengan gagah dan serius melukiskan bunga matahari yang hancur, layu, kusam dan terkoyak, lewat karya berjudul “I Hate Flower”. Namun, Untoro dengan santai merespon tema itu lewat karya berjudul “Flower”. Untoro menyuguhkan sebidang kanvas yang seluruhnya diblok warna putih, dan di sudut kiri atas dia membuat sketsa kecil sekumtum mawar berwarna kusam. Namun sebenarnya kedua perupa ini sama-sama mengumbar kesinisannya pada objek bunga.
Pada karya yang bertema manusia, Sciascia menampilkan sosok perempuan telanjang dalam bayang-bayang kegelapan, tentu dengan nuansa cat yang terkelupas dan retak-retak, berjudul “Lux”. Namun Untoro meresponnya lewat karya “Running Man” yang sama sekali tidak melukiskan sosok manusia, hanya gurat-gurat garis patah-patah yang seperti membentuk sosok bayangan sedang berlari.
Lebih jauh lagi, pada karya bertema bayangan, Sciascia lewat “Shadow” menciptakan lukisan lima bayangan manusia tak beraturan di dinding tembok yang retak-retak. Dan Untoro tak mau kalah, dia juga membuat lukisan berjudul “Shadow” yang menampilkan sosok manusia sedang memanah bayangannya sendiri. Agaknya inilah karya Untoro yang paling indah dan metaforis yang menyiratkan kepedihan eksistensialnya.
Pada sejumlah karya yang dibuat secara bersama-sama, sangat terlihat bagaimana Untoro menanggapi keseriusan Sciascia dengan penuh kenakalan dan keinginan bermain-main, seakan Untoro tidak mau diruwetkan dengan sesuatu yang bernama kolaborasi itu.
Perhatikan misalnya karya berjudul “Sciascia|Untoro 2”. Pada bidang lukisan tentang sosok perempuan rambut panjang yang sedang duduk memangku kucing hitam dalam suasana remang-remang yang serius digarap Sciascia, diberi aksen oleh Untoro dengan menambahkan sosok lelaki hitam plontos di belakang sosok perempuan berwarna putih itu. Suasana yang muncul kemudian adalah kebuntuan komunikasi atau lebih jauh lagi sesuatu yang mengesankan kegamangan bahkan kengerian dari hubungan antar manusia. Ini termasuk karya kolaborasi yang berhasil, penuh kesan dan sarat pesan.
Namun kenakalan Untoro kadang kebablasan. Pada beberapa karya kolaborasi lainnya, Untoro lebih bertindak sebagai penyelaras akhir dari sebuah proses yang sebenarnya sudah tuntas dikerjakan Sciascia. Resikonya adalah tidak selalu selaras. Misalnya pada karya “Sciascia|Untoro 5”, lukisan Sciascia yang sangat kuat menampilkan seraut wajah yang menengadah dalam suasana remang-remang bernuansa kelam, malah menjadi hancur dengan aksen ala kadarnya yang dibuat Untoro berupa tarikan kuas dengan cat putih yang hendak mengesankan tetesan air.
Begitulah. Keseriusan Sciascia diberi makna oleh kenakalan Untoro. Namun hasil karya kolaborasi tidak selalu mengesankan, terkadang jatuh juga menjadi spekulatif. Inilah salah satu wajah seni rupa kontemporer kita di Indonesia. [b]
Sayapun juga punya lukisan nakal ,tapi nggak pernah ada yang ngomentari hebat kayak wayan sunarta. kunjungilah website ku, http://www.art gallery sawung sakti.blogspot.com/ terimakasih…boss.