Pemenang pertama Trienal Seni Grafis Indonesia 2009, Winarso Taufik, berpameran tunggal di Bentara Budaya Bali.
Sebagaimana tradisi yang telah berlangsung, peraih penghargaan terbaik I, II, dan III kompetisi Seni Grafis Bentara Budaya tersebut, diwajibkan mempresentasikan karyanya melalui sebuah pameran di empat lokasi di antaranya Jakarta, Yogyakarta, Solo, dan Bali. Kali ini, dalam eksibisi bertajuk “Rimba Senja Kala”, Winarso akan tampil dengan 30-an karya andalannya.
Pameran yang dibuka Jumat ini merupakan sebentuk hasil perenungan Winarso terhadap berbagai persoalan sosial dan fenomena alam. Kepedulian dan kepekaan Winarso Taufiq melalui cukilan kayunya tercermin pada salah satu karya bertajuk ‘Imaji Tentang Kerusakan Alam’. Lukisan tersebut mampu menarik simpati dewan juri. Karya itu pun dinobatkan menjadi karya terbaik pada Trienal Seni Grafis Indonesia.
Menurut Winarso, banyak hal yang hendak ia ungkap dan tawarkan melalui karyanya. Namun, ia kemudian memilih fokus pada alam.
Karya Winarso menampilkan banyak bencana. Asap bertebaran di mana-mana. Pohon-pohon tumbang ditebang hingga tak tersisa. Truk-truk pengangkut kayu. Manusia-manusia memadati jalanan. Pekat asap kendaraan. Juga tengkorak bertopi mengibarkan bendera seakan meminta pertolongan.
Winarso mengajak kita merefleksikan hiruk pikuk yang menodai keheningan alam. Sangat menyenangkan mengamati kehidupan manusia dan alam saat ini. Satu sama lain seolah saling memberi arti. Namun, pada saat yang bersamaan masing-masing saling melukai.
Winarso, seniman kelahiran Kebumen 7 November 1977 ini sempat mengenyam pendidikan seni rupa di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ia pernah membuat sebuah buku tebal tanpa teks namun diisi dengan cukilan kayu yang dikerjakan dengan teknik dan kerumitan tinggi, yang kemudian berhasil memikat dan menarik perhatian dewan juri saat Trienal 2009.
Menurut Hendro Wiyanto, kurator pameran, karya-karya Winarso yang dipamerkan hingga 14 Agustus ini menggunakan teknik cetak dalam Itaglio. Di antaranya etsa, aquatint dan drypoint. Etsa merupakan tekhnik cetak yang menggoreskan plat logam (tembaga, seng atau baja). Goresan ini ditutup dengan lapisan sejenis lilin, kemudian digoreskan dengan jarum etsa sehingga bagian logam terbuka dan dicelupkan dalam larutan asam untuk mengikis plat yang digores.
Ia juga menambahkan bahwa Aquatint merupakan variasi dari etsa. Teknik ini menggunakan asam untuk menggambar cetakan pada plat logam dan serbuk resin untuk menciptakan efek tonal. Sementara drypoint memakai alat burin berbentuk ‘v’, dengan demikian goresannya akan meninggalkan kesan kasar pada tepi garis.
Dua bulan lalu Bentara Budaya Bali juga menampilkan seniman cukil kayu Irwanto Lento. Irwan peraih kedua Trienal Seni Grafis Indonesia 2009. Apabila dicermati, kedua seniman cukil kayu tersebut memiliki ciri khas masing-masing.
Kehadiran seni grafis patut diapresiasi mengingat tingkat kesulitan dan ketelitian sang seniman saat menggarap karya tersebut pastilah sangat tinggi. “Di samping itu, seni cukil juga penting dipopulerkan karena belum banyak yang menggeluti dan memahaminya,” papar Putu Aryastawa, staf BBB. [b]
Naskah dan foto dikirim Bentara Budaya Bali.