Belajar dan melestarikan penyu di TCEC.
Pelepasan penyu maupun tukik (anak penyu) di berbagai pantai di Bali akhir-akhir ini cukup sering dilakukan, sebagai penanda kegiatan bertema perdamaian. Bahkan di sejumlah tempat telah dikembangkan menjadi atraksi pariwisata.
Salah satu penyedia penyu hidup untuk keperluan tersebut adalah Turtle Conservation and Education Centre (TCEC), Serangan, sekitar 10 kilometer dari pusat Kota Denpasar. Setiap penyu bisa diperoleh dengan donasi tertentu, yang jumlahnya tergantung usia. Satu tukik berusia satu (1) bulan donasinya Rp 50.000 per-ekor, usia 1 tahun antara Rp 400.000 – 500.000.
TCEC Serangan, diantaranya telah menyediakan ratusan penyu untuk dilepas saat pembukaan Kuta Karnival, ulang tahun Kota Denpasar, serta kegiatan institusi atau perusahaan lain misalnya perhotelan di kawasan pantai Nusa Dua maupun Kuta.
Selain untuk dilepas, kata Pengelola TCEC Serangan Wayan Sukara, sejumlah masyarakat berniat membeli penyu sebagai pelengkap keperluan upacara keagamaan. Namun yang bersangkutan wajib menunjukkan surat rekomendasi dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali, bahwa benar akan dipergunakan untuk upacara. Sebab, hanya beberapa jenis upacara besar membutuhkan hewan, termasuk penyu, misalnya Pedudusan Agung dan Macaru. Selain itu, diharuskan memperoleh persetujuan dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA).
Menurut Sukara, hal tersebut untuk mencegah pembunuhan penyu yang beberapa tahun lalu cukup marak di Bali. ”Alasannya untuk upacara, padahal hanya dimakan,” kata Sukara kesal. Pria yang sempat bekerja di World Wild Foundation (WWF) Bali ini menambahkan, kebutuhan penyu untuk upacara di seluruh Bali sekitar 110 ekor saja, setiap tahunnya. ”Ini berdasarkan perhitungan PHDI,” cetusnya. Sesuai dengan kesepakatan (bisama) PHDI, penyu yang dipilih adalah masih tukik dengan ukuran sekitar 40 cm. Selain itu tidak diperbolehkan mengambil penyu, langsung dari alam.
Jadi, tegas Sukara, TCEC Serangan tidak mengarah pada penjualan. Tapi berusaha mengubah citra Bali yang dulunya sebagai salah satu sentra perdagangan dan pembantaian penyu, menjadi pusat konservasi. Juga mengembalikan kenangan masa lalu Serangan, yang di sepanjang pantainya menjadi tempat pilihan penyu untuk bertelur.
TCEC Serangan berdiri 2004 lalu, bersamaan dengan TCEC di Tanjung Benoa, Nusa Dua. Keduanya terwujud berkat fasilitasi dari WWF. Dipilihnya Serangan karena sangat dekat dengan pusat aktivitas pariwisata serta sejarah masa lalu yaitu sebagai pintu masuk perdagangan penyu. ”Tentu dengan paradigma yang kita ubah, bukan lagi perdagangan penyu untuk dikonsumsi melainkan konservasi berkelanjutan. Pun bukan perdagangan yang ditonjolkan, dalam rangka meraih keuntungan materi.”
Ditegaskan Sukara, terdapat empat asas manfaat dari TCEC yaitu edukasi, ekologi (konservasi), sosial budaya (terkait dengan upacara keagamaan), serta ekonomi. Tempat ini terbuka bagi umum, termasuk wisatawan. Dalam sebulan rata-rata 200 turis asing mengunjungi TCEC Serangan.
Kegiatan utamanya adalah penetasan dan pemeliharaan penyu hingga usia maksimal 2 tahun, kemudian pelepasan ke alam. Telur penyu yang ditetaskan antara lain dari pencarian ke pantai-pantai di Bali maupun suplai BKSDA. Namun tidak semua telur yang ditemukan di alam, langsung dibawa ke TCEC Serangan.
Kata Sukara, ”Hanya telur yang dalam ancaman saja boleh dibawa kesini, misalnya karena terkena air pasang, kurang aman dari tindak pencurian, serta tidak adanya warga yang membantu pengawasan. Begitu warga setempat sanggup membantu, telur tetap dibiarkan di alam, kami sebatas memindahkannya ke tempat lebih aman.”
Telur yang terkumpul oleh staf TCEC Serangan ditempatkan ke lubang pasir dengan kedalaman 60 cm, lalu ditimbun. Bila musim panas atau suhu alam hangat, telur-telur menetas setelah 40 – 45 hari, didominasi jenis betina. Sedangkan ketika hawa dingin, masa penetasan hingga 60 hari dan sebagian besar terlahir menjadi penyu jantan.
Anak penyu (tukik) dibiarkan dulu sampai tali pusarnya kering, baru dimasukkan ke bak penampungan. Saat sekarang, TCEC Serangan mempunyai 10 bak sebagai tempat pembesaran tukik maupun menampung penyu-penyu yang terdampar di alam karena sakit. Penempatannya dibedakan dengan usia dan kondisi penyu. Untuk operasional TCEC ini, diperlukan dana minimal Rp 100 juta per tahun, diantaranya guna penyediaan makanan yang berupa ikan serta rumput laut, gaji delapan (8) staf, operasional lapangan, perkantoran, dan sebagainya. [b]
Menurutku sih,, knp yah qta sebagai manusia tdk bisa hidup sight by sight dengan makhluk hidup lain. Bukannya men-judge manusia itu tdk baik,, tapi memang terkadang manusia tidak memiliki rasa kemanusiaan, apalagi perlakuan manusia terhadap alam dan seluruh isinya.
Apalagi kura”,, kenapa yah tega banget manusia makan makhluk yg lucu kya’ gt. Kapan yah Bumi Indonesia (darat, laut, udara) bisa asri seperti dulu lg,,
Seperti yg tergambar d video clip lgu Michael Jackson (Earth Song).Apalagi yg liriknya pas “What about the Sea, What about the crying whale.. ” Tidak menutup kemungkinan, nantinya Bumi Indonesia akan mengalami hal seperti itu.
Save the earth. Earth is the only place where we(human)can life. Pease.. !!!