Kami bersikap layaknya turis Minggu lalu.
Ini niat lama yang terus tertunda, naik dokar jalan-jalan di Denpasar bareng anak dan istri. Niat itu muncul kembali setelah baca tulisan Dek Didi soal keliling Denpasar naik dokar bersama pacar. Tapi lagi-lagi niat itu tertunda pekan lalu.
Anak saya sakit, demam dan batuk hampir seminggu.
But, yah, akhirnya bisa juga niat itu terwujud juga Minggu kemarin.
Selain ingin menikmati liburan dengan cara berbeda, kami juga ingin tahu seberapa siap sih Denpasar melaksanakan program city tour yang dipromosikan dengan nama Sight Seeing Denpasar itu? Karena itu kami membawa buku bersampul oranye tentang Sight Seeing yang kami peroleh pada peluncuran program ini 29 Desember 2007 lalu.
Kami memulai perjalanan dari rumah kami di Jl Subak Dalem Denpasar Utara. Wayan Merdana, tukang dokar di gang sebelah, itu menjemput kami sekitar pukul 9 pagi. Bu Jeani, tetangga kami sempat berniat ikut. Tapi dengan berat hati kami tolak. Maaf, kami lagi egois. Kami ingin hanya menikmati perjalanan ini bersama keluarga dan teman baru kami, Lucy.
Menurut buku pegangan Sight Seeing Denpasar, beberapa tempat yang menarik untuk dikunjungi di Denpasar adalah museum, puri, dan pasar. Dengan pertimbangan kedekatan dan jalur perjalanan, maka kami memilih berkunjung ke Museum Bali, Pasar Burung, dan Puri Pemecutan. Ada satu tempat tujuan lagi yang tidak ada di buku itu, Banjar Kayumas Kaja di jalan Surapati. Itu tujuan kami untuk makan siang nanti.Dokar kami melaju di hari Minggu itu. Karena libur panjang, maka jalan relatif lebih sepi dibanding biasanya. Bahkan di jalan Nakula dan jalan Arjuna yang biasa macet pun kali ini lancar-lancar saja.
Sekitar 20 menit perjalanan dari rumah, kami sampai di Museum Bali di jalan Mayor Wisnu, sebelah timur lapangan Puputan Badung. Menurut buku yang kami bawa, museum ini didirikan pada 8 Desember 1932. Ada empat bangunan utama yaitu bangunan timur, Buleleng, Karangasem, dan Tabanan. Museum ini adalah tempat menyimpan berbagai benda bersejarah seperti upakara (alat-alat untuk upacara), kain Bali, dan seterusnya.
Sayangnya, museum Bali tutup hari Minggu lalu. Padahal menurut buku, museum itu hanya tutup pada Sabtu dan hari libur nasionall. Dan 23 Maret kemarin bukanlah hari libur nasional meski 20-21 Maret adalah tanggal merah. Kami kecewa. Sebab, sudah susah payah meluangkan waktu pada hari Minggu, eh, ternyata museum tutup.
Bukan hanya kami yang kecewa karena tutupnya museum. Ketika kami baru sampai, sepasang turis dari Perancis datang dan langsung menyemburkan kekecewaan. “Dari kemarin saya ke sini tapi museum tetap saja tutup. Parahnya lagi tidak ada satu pun petugas yang bisa menerangkan pada kami kenapa museum tutup dari yang seharusnya buka,” kata turis itu.
Ini masalah pertama yang kami temui, tidak ada petugas yang bisa menjelaskan dengan tepat kenapa museum tidak buka padahal menurut jadwal seharusnya buka. Petugas di museum, yang berjaga di depan juga tidak bisa menerangkan.
Walhasil kami hanye keliling melihat-lihat tiap bangunan itu dari depan, tanpa bisa melihat apa isinya. Wayan Jaya, guide freelance (dia menyebutnya gaid parilens), menerangkan pada kami tentang makna-makna bangunan itu.
Masalah kedua soal gaid parilens (meminjam bahasanya Wayan Jaya) di museum ini. Mereka tiba-tiba datang begitu saja menemani kami berjalan-jalan di museum. Tidak ada omongan pengantar siapa dia, mau apa, berapa kami harus bayar, dan seterusnya. Dasar orang Indonesia, kami tidak enak saja kalau tiba-tiba menolak ditemenin apalagi kami memang butuh informasi soal tempat itu. Selesai melihat-lihat, kami kasih uang Rp 10 ribu ke guide freelance tadi itu.
Sayang saja sih. Mungkin akan lebih baik kalau tiket masuk museum itu, katakanlah Rp 10 ribu dengan petugas resmi. Jadi kan jelas ke mana uang itu lari, ke museum bukan ke guide parilense itu tadi.
Tapi, okelah. Kami tinggalkan Museum Bali dan menuju objek wisata kedua, pasar burung di jalan Veteran. Pasar ini pun ada di buku Sight Seeing Denpasar sebagai salh satu tempat yang menarik di Denpasar. Maka, dokar kami pun tak tik tuk menuju pasar. Kami memutar dari jalan Surapati ke jalan Kaliasem, jalan Durian, dan jalan Veteran.
Pasar burung di jalan Veteran, sering disebut pasar burung Satria, adalah satu dari dua pasar burung di Denpasar. Satu pasar lagi ada di Sanglah, di belakang toko swalayan Alfa. Karena bersikap layaknya turis, kami ingin mendapat informasi lebih banyak soal pasar ini. Tapi, kami bingung ke mana harus mencari. Di sini tidak ada pos informasi. Kalau mau ya tanya saja ke pedagang dan pengunjung.
Maka, kami hanya jalan-jalan putar pasar. Kami melihat burung, kelinci, kelelawar, hamster, luak, sampai pun ada di sini. Semuanya dikurung. Saya kasian melihatnya. Makanya ketika istri ngotot mau beli hamster atau kelinci, saya tetap menolak. Biar saja semua binatang itu di alamnya masing-masing, bukan di dalam kurungan. Membeli binatang di pasar itu sama dengan mendukung penyiksaan binatang.
Kami tidak lama berkeliling pasar. Mungkin sekitar 20 menit. Lalu lanjut makan siang. Pilihan kami sejak dari rumah adalah warung nasi campur di Banjar Kayumas Kaja di jalan Surapati. Sudah susah-susah muter ke sini, eh, ternyata warungnya tutup. Padahal di otak saya sudah terbayang enaknya nasi campur ayam bali atau segarnya tipat kuah di sini.
Apa boleh buat, kami cari makan di tempat lain. Kami pilih Warung Satria di jalan Kedondong. Ini warung nasi campur terkenal di Denpasar. Makanya harganya agak mahal, Rp 15 ribu satu porsi.
Selesai makan siang dan istirahat sambil nyerupu es dawet Warung Satria, kami pun melanjutkan perjalanan. Kali ini ke Puri Pemecutan di pojok perempatan antara jalan MH Thamrin, jalan Imam Bonjol, dan jalan Hasanudin. Kami ingin tahu bagaimana sih suasana puri di Denpasar. Sebab, seperti ditulis oleh buku Sight Seeing Denpasar, puri bisa jadi tempat yang menarik untuk dikunjungi.
Saya sudah membayangkan suasana yang akan mirip Istana Mangkunegaran Solo yang saya kunjungi Januari lalu atau seperti Istana Yogyakarta yang kami kunjungi dua tahun lalu.
But, aih aih aih, kami benar-benar tidak mendapat apa pun di sini. Tidak ada petugas yang bisa memberi informasi apa pun. Lha ini kan rumah orang, masak kami mau masuk seenaknya saja. Kan tidak mungkin.
Maka, kami hanya bisa melihat sebentar puri ini tanpa menjelajahinya lebih dalam. Kalau tidak karena hujan deras yang mengguyur kami mungkin langsung cabut. Tempatnya pasti menarik. Tapi tanpa petugas yang bisa memberi keterangan, kami hanya melihat puri itu sebagai benda mati.
Begitu hujan agak reda, kami segera meninggalkan tempat yang direkomendasikan untuk dikunjungi wisatawan ini. Lalu, dokar kami kembali melaju di tengah guyuran hujan. Dan, saya juga istri sepakat, Denpasar memang belum siap dengan city tour ini. Benar-benar belum..