Oleh I Nyoman Winata
Karena apa orang Bali mejadi Bebotoh? Ada yang berpendapat bahwa menjadi bebotoh karena faktor genetik. Faktanya di Bali banyak yang orangtuanya bebotoh, anaknya juga ikut jadi bebotoh. Tetapi benarkah orang bali jadi bebotoh karena faktor genetik?
Untuk menjawab pertanyaa ini, saya ingin menceritakan kisah teman saya yang Bapaknya bebotoh. Ia bersaudara empat orang, laki-laki semua dan sampai saat ini tidak ada satupun yang mengikuti jejak sang bapak.
Saya tanya apakah dia sama sekali tidak pernah ke tajen?
“Pernah dulu waktu saya kecil, bukan untuk matajen, tetapi beli nasi bubuh,” katanya mulai bercerita. Pulang dari beli nasi bubuh itu, nenek dan ibunya marah besar, bukan karena beli nasi bubuh, tetapi tempatnya beli nasi bubuh itu di sekitar arena tajen. Menurut teman saya ini, nenek dan ibunya memang adalah sosok yang keras untuk menanamkan tentang hal-hal baik, mana yang boleh dan tidak boleh kepada anak dan cucu-cucunya. “Ibu dan neneklah yang menempa batin saya dan saudara-saudara saya untuk tidak pernah mengenal kehidupan bebotoh,” katanya.
Apalagi ia sering melihat ibunya menangis karena bapaknya terus minta uang hasil jerih payah bekerja di pasar untuk dipakai tajen. Menurut teman saya ini, menjadi istri seorang bebotoh seperti yang dialami ibunya sangatlah tersiksa. Sudah tidak bekerja, Bapaknya malah terus menerus minta uang untuk tajen. Tetapi masih untung, kata teman saya ini, Bapaknya tidak sampai menjual tanah warisan untuk matajen.
Uniknya, teman saya ini mengaku sama sekali tidak membenci bapaknya. Pernah rasa benci berkobar-kobar dihatinya karena sang Bapak sering menyakiti ibunya. “Lalu saya sadar, bagaimanapun ia tetap Bapak saya. Tetapi saya berusaha sekuat tenaga agar tidak seperti dia,” katanya.
Dulu ketika kecil, teman saya ini juga mengatakan harus menanggung malu karena masyarakat lingkungannya seperti memberi tempat yang rendah pada para bebotoh. Waktu itu menurutnya tidak banyak yang menjadi bebotoh. Maceki masih dilakukan sembunyi-sembunyi. Semakin kuatlah keinginannya untuk tidak jadi bebotoh juga.
Dari cerita teman saya ini, saya kemudian teringat atas tafsir pemikiran Kahlil Gibran tentang orang baik dan jahat. Ia meyakini bahwa sebenarnya didunia ini tidak ada manusia Jahat. Semua manusia sebenarnya adalah orang-orang baik. “Tidak ada kejahatan, karena setiap kejahatan memiliki latar belakang kebaikan,” begitu kira-kira menurut saya pandangan penulis puisi yang mendunia ini. Misalnya pencuri, pada awalnya mencuri lebih karena terpaksa semata-mata untuk mengusir rasa lapar. Orang berjudi awalnya bukan karena suka berjudi, tetapi karena ingin hidup lebih baik. Adakah yang salah dari keinginan untuk hidup lebih baik?
Lebih jauh, Kahlil Gibran mengatakan bahwa mereka yang menjadi orang baik bukanlah karena berkah. Menjadi orang baik itu sama sekali bukan takdir. Diperlukan perjuangan keras untuk terus menerus menempa bathin dan jiwa yang tentu saja menuntut pengorbanan. Jadi kalau ada orang menjadi bebotoh, maka jika dipadang dari sudut pemikiran ini, mereka hanyalah lebih memilih bermalas-malasan, tidak pernah mau menempa bathinnya agar menjadi tangguh. Jadi menjadi orang baik dan jahat tetaplah pilihan manusia itu sendiri. Apakah mereka mau berjuang atau hanya bermalas-malasan saja?
Di samping itu, faktor orang-orang disekitar juga memiliki pengaruh sangat kuat. Kahlil Gibran mengistilahkannya “no man is an island” tak ada manusia yang berdiri sendiri, ia sangat tergantung dari orang-orang disekitarnya. Kalau ada orang jahat, maka yang patut disalahkan adalah orang-orang disekitarnya. Mengapa membiarkan orang tersebut menjadi jahat? Jika di Bali banyak generasi muda yang menjadi bebotoh, maka yang patut disalahkan adalah para orang tua dan lingkungannya.
Beruntung teman saya tadi mau menjadi pejuang bagi dirinya sendiri dengan menempa bathinya agar tidak terseret menjadi seperti Bapaknya. Nenek dan ibunya perannya sangat besar, karena tidak pernah lelah menasehatinya. Begitu juga orang-orang disekitarnya yang menganggap bebotoh dan tajen adalah penyakit masyarakat yang tidak pantas diberi tempat hidup. Saya belum sempat tanya bagaimana pendapatnya, kalau bebotoh dan tajen seperti saat ini demikian diakui eksistensinya, dianggap kekuatan politik yang menentukan?
Saya sempat kenal dengan seorang teman yang punya suami bebotoh. Dia bahkan sampai tidak pegang handphone, karena beberapa kali beli handphone, “dipinjam” suaminya untuk modal tajen. Walau istilahnya dipinjam, tapi nggak pernah balik. Anehnya, teman saya ini justru mengaku tidak tertekan. “Kalau dia menang, saya juga sering dikasi bagian kok,” begitu katanya. ??????????
wah setuju ama bli ni. mau baca blog bli yang lagi satu ah 🙂
http://pastika.wordpress.com/