Teks dan Ilustrasi Dikirim Riri Prabandari
Tenganan, sebuah desa Bali Aga yang terletak di Desa Manggis Kecamatan Karangasem, Bali merupakan tempat yang unik dan spesifik.
Sistem sosial dan ritual yang komplek menjadi tantangan tersendiri bagi setiap individu di Tenganan dalam kesehariannya, bagaimana budaya dan adat-istiadat lokal tetap bisa lestari dan dinamis di tengah globalisasi tanpa kehilangan identitas dan jatidiri.
Tantangan justru semakin besar karena terdapat tanggungjawab sosial dan intelektual bagi mereka yang secara langsung menyandang identitas yang melekat kuat sebagai individu “asli” Tenganan.
Bagi Putu Wiadnyana, seorang yang lahir, tumbuh dan bergelut di Tenganan dengan bekal pendidikan arsitektur, menghadapi tantangan tersebut justru menjadi hal yang semakin menarik karena sekaligus pada saat yang sama timbul peluang untuk berbuat dan menjadi “sesuatu” sebagaimana insan lain di jaman global.
Putu akan mencoba untuk berbagi mengenai pengalamannya menjadi orang Tenganan -tepatnya Tenganan Pegeringsingan yang berakar kuat-ketat pada tradisi berusia ribuan tahun dan berprofesi sebagai seorang arsitek. Bagaimana Putu terekspos dengan adat-tradisi dan berkiprah didalam masyarakat melalui beberapa proyek baik sosial maupun pribadi.
I Putu Wiadnyana, arsitek kelahiran Tenganan, 29 Desember 1982 saat ini aktif di Yayasan Wisnu sebagai Koordiantor Lapangan, Local Project Manager, dan Volunteer- Based Architect. Pria yang memiliki ketertarikan pada lingkungan hidup dan pembangunan masyarakat (community development) serta konservasi ini menempuh pendidikan arsitekturnya di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta lulus pada tahun 2006. Hingga kini Putu aktif dalam kegiatan konservasi dan pembangunan masyarakat khususnya di tanah kelahirannya, Desa Tenganan. Putu akan berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam Architects Under Big 3 (AUB3).
AUB3 adalah kegiatan bulanan pada jumat pertama tiap bulan yang dipersembahkan untuk arsitek muda usia dibawah 30 tahun. AUB3 telah ditetapkan menjadi agenda IAI Bali dan tiap peserta yang berprofesi sebagai arsitek akan mendapatkan sertifikat dari IAI Bali yang dapat diambil pada agenda AUB3 di bulan berikutnya.
Dalam kegiatan ini arsitek muda diberi kesempatan untuk mempresentasikan karya arsitektur beserta pemikiran mereka pada publik melalui presentasi non formal yang diteruskan dengan diskusi santai. Peserta juga diberi kebebasan untuk memilih ruangannya sendiri -di halaman, ruang makan, rooftop, ruang galeri- dimanapun tempat dimana mereka rasa paling nyaman untuk berbagi cerita dengan pendengarnya.
Melalui pendekatan ini, arsitek beserta ide dan karya arsitekturnya berkesempatan untuk mendapatkan ruang berkomunikasi dengan khalayak yang lebih luas, baik khalayak awam arsitektur maupun khalayak arsitektur. [b]