Teks dan Foto Anton Muhajir
“Mimpir indah mereka berakhir di jalanan,” kata Eldred Tellis.
Pengelola pusat rehabilitasi narkotika, obat-obatan, dan zat adiktif lain (Napza) Sankalp itu berbicara dalam diskusi kecil dengan aktivis penanggulangan HIV dan AIDS di Denpasar, Bali, Senin malam lalu. Elderd datang ke Bali difasilitasi Annika Leinden Foundation (ALF) dan Yayasan Kemanusiaan Ibu Pertiwi (YKIP).
Di sela diskusi, Direktur Pusat Rehabilitasi Yayasan Sankalp yang berbasis di Mumbai, India itu memperlihatkan film pendek tentang program rehabilitasi penyalahgunaan Napza di Mumbai. Film berjudul SUEE (NEEDLE) berdurasi sekitar 60 menit itu memperlihatkan, di antaranya, profil pengguna Napza jalanan (street drug user) di pusat ekonomi India tersebut.
Para street drug user itu menggunakan heroin jenis coklat (brown sugar) atau methadone dengan membakar di atas kertas minyak, dalam bahasa drug user disebut chasing the dragon, atau menyuntikkannya ke lengan di antara kumuhnya jalanan atau reotnya tempat tinggal. Mereka tersebar di jalanan ataupun kawasan miskin (slum area) Mumbai.
Sebagian gambar juga memperlihatkan mereka sedang menyuntikkan heroin di tepi kereta, samping tempat sampah, trotoar jalan, dan tempat-tempat kumuh lainnya. “Mereka memang orang-orang miskin dari kelas ekonomi paling rendah di Mumbai,” ujar Eldred.
Sekitar 70 persen pengguna Napza di Mumbai, kata Edred, adalah orang-orang miskin.
Menurut peraih Ashoka Fellow ini, para pengguna Napza jalanan sebagian besar datang dari desa. Mereka datang ke Mumbai karena terpesona oleh gemerlap kota dan ingin mengubah hidupnya. Namun, tak sedikit yang kemudian terperangkap dalam jebakan Napza yang sangat mudah ditemukan di jalanan.
“In India, street drug user mostly came from remote area. They migrate to big city to find the dream and their end up in the street,” kata Eldred yang sudah 16 tahun bekerja di bidang rehabilitasi pengguna Napza ini.
Karena itu, lanjut Eldred, hubungan antara kemiskinan, penyalahgunaan Napza, penularan HIV sangat dekat. Orang-orang miskin ini bermigrasi ke kota Mumbai karena pesona kota yang mereka lihat di film-film. Mereka kemudian menyalahgunakan Napza akibat buruknya situasi yang mereka hadapi tak sesuai yang mereka harapkan.
Akibat penyalahgunaan Napza dengan jarum suntik ini, mereka kemudian tertular HIV. Hal yang sama juga di kawasan Asia Selatan lain, seperti Pakistan, Kazakhstan, dan sekitarnya.
Selain penularan HIV, penyalahgunaan Napza itu juga menyebabkan penyakit lain. Beberapa pengguna Napza mengalami infeksi bahkan sampai harus diamputasi tangan atau kakinya.
Buruknya kondisi pengguna Napza jalanan ini yang mendorong Eldred mendirikan Yayasan Sankalp sejak tahun 1995. Saat ini, yayasan ini mengelola program di pusat rehabilitasi, penjara, dan program pengurangan dampak buruk (harm reduction) lain di India. Selain memberikan layanan harm reduction, misalnya pertukaran jarum suntik (needle exchange program), Sankalp juga memberikan bantuan pendidikan dan nutrisi untuk pengguna Napza jalanan.
Hingga saat ini Sankalp menjangkau antara 2.500 hingga 3.000 pengguna Napza jalanan di Mumbai dan kota sekitarnya.
Salah satu program yang mereka laksanakan adalah dengan mengembalikan pengguna Napza jalanan itu ke kampung halaman. Namun, tak sedikit yang balik lagi ke Mumbai dan kembali memakai Napza di jalanan. “Pendapatan di desa tak bisa menghidupi keluarga mereka. Jadi, mereka kembali lagi ke kota,” ujar Eldred.
Dekatnya penyalahgunaan Napza dengan kemiskinan dan urbanisasi itu dalam skala kecil juga terjadi di Bali. Kadek Adi Mantara, Direktur Yayasan Kesehatan Bali (Yakeba) yang juga melaksanakan rehabilitasi pengguna Napza di Bali, mengatakan pengguna Napza di Kuta juga sebagian kecil hidup di kawasan kumuh.
Dari sekitar 800 injecting drug user (IDU) atau pengguna Napza dengan jarum suntik yang dijangkau Yakeba, lanjut Mantara, sekitar 40 persennya dari kalangan miskin. “Tapi, kondisi IDU di sini tak seburuk di India,” katanya.
say no to drugs….!!!
ga ada untungnya pake drugs, cuma menyiksa diri