
Ambisi Pemerintah Provinsi Bali dalam merespons perubahan iklim dapat dilihat melalui target Bali emisi nol bersih tahun 2045. Untuk mencapai target ambisius tersebut, pemerintah merumuskan sejumlah regulasi, dua di antaranya terkait permasalahan sampah dan transisi energi di Bali.
Dua isu utama tersebut didiskusikan dalam Pekan Iklim Bali, ruang pertemuan antara pemerintah dan sejumlah pemangku kepentingan. Diskusi berlangsung dengan tema Bali sebagai Inspirasi: Memantik Kepemimpinan Iklim Daerah melalui Integrasi Aksi dan Inovasi. Diskusi ini dihadiri oleh lima pemangku kepentingan, yaitu pemerintah, perwakilan daerah, akademisi, hingga organisasi non pemerintah.
Sejumlah regulasi terkait pengurangan emisi telah diturunkan oleh Pemprov Bali, mulai dari penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai hingga pembatasan sampah plastik sekali pakai. Aturan yang baru-baru ini dikeluarkan oleh Pemprov Bali adalah Gerakan Bali Bersih Sampah melalui Surat Edaran Nomor 09 Tahun 2025. Sebelumnya, telah dikeluarkan aturan pembatasan sampah plastik sekali pakai di Bali melalui Pergub Nomor 97 Tahun 2018.
I Made Rentin, Kepala Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi Bali, menyebutkan bahwa Pergub Nomor 97 Tahun 2018 menyebabkan perubahan signifikan pada perilaku masyarakat Bali. “Penurunan konsumsi tas kresek sampai dengan 51%, kemudian sedotan plastik lebih dari 71%,” ujar Rentin.
Ia menjelaskan adanya SE Nomor 09 Tahun 2025 ditujukan untuk mendorong penurunan sampah di tahun 2027. Salah satu yang diatur dalam SE tersebut adalah pelarangan air minum dalam kemasan (AMDK) plastik di bawah 1 liter.
Namun, Ni Luh Djelantik, anggota DPD RI Provinsi Bali justru memandang aturan tersebut merugikan usaha AMDK di daerah. Ia mengusulkan seharusnya pemerintah bukan melarang AMDK di bawah 1 liter, melainkan menyediakan sebuah cara agar perusahaan dapat mengelola sampahnya sendiri.
“Kalau nggak mau, jangan jualan di Bali. Kita banyak kok punya sumber air,” ujar Ni Luh merujuk pada perusahaan yang tidak mau mengolah sampahnya sendiri. Ia mengungkapkan apabila perusahaan kecil diberikan aturan yang sama dengan perusahaan besar, perusahaan kecil tersebut akan mati.
Ni Luh menyampaikan peraturan yang selama ini dibuat oleh pemerintah praktiknya jauh dari kata sempurna, terutama dalam pengelolaan sampah. Ia juga menyinggung pemilahan sampah yang tidak pernah berjalan.
Selain persoalan sampah, pemenuhan emisi nol bersih perlu dibarengi dengan transisi energi. Dwi Giriantari, Kepala CORE Udayana menjelaskan penyumbang emisi terbesar di Bali adalah sektor ketenagalistrikan, diikuti oleh sektor transportasi.
Selaku Ketua Tim Pokja Percepatan Implementasi Bali Mandiri Energi, Dwi menyebutkan bahwa saat ini telah dibentuk peta jalan Bali mandiri energi. Peta jalan tersebut mengedepankan potensi energi lokal di Bali.
“Kita lihat Bali tidak punya yang namanya tambang batubara, tidak punya tambang gas dan sebagainya. Tapi yang terbesar apa? Yang terbesar kita lihat potensinya energi surya,” ujar Dwi. Pemanfaatan energi surya membutuhkan lahan yang luas. Untuk membangkitkan 1 megawatt energi dari surya membutuhkan sekitar 1 hektar.
Sementara, lahan di Bali sangat terbatas dan mahal. “Makanya targetnya yang perlu dipacu adalah PLTS Atap,” ujar Dwi. Tahap pertama yang akan dilakukan adalah transisi pembangkit listrik dari bahan bakar minyak dan batubara ke gas. Setelah itu, akan beralih lagi ke energi yang lebih bersih, yaitu hidrogen.
Namun, proses transisi energi ini dinilai masih panjang, terutama dalam mengedukasi masyarakat. Transisi energi dalam mencapai nol emisi harus dilakukan tanpa menciptakan konflik dengan masyarakat. “Karena yang kami dukung adalah transisi yang berkeadilan. Adil buat siapa? Ya buat lingkungan, tapi juga buat masyarakat,” ujar Fabby Tumiwa, CEO Institute for Essential Service Reform (IESR).
Fabby menjelaskan apabila Bali ingin mencapai nol emisi, Bali tidak bisa lagi menggunakan sistem pembangkit yang terpusat. “Dia harus tersebar gitu loh. Ini yang harus dibangun,” imbuhnya. Cara yang bisa dilakukan adalah memberikan kesempatan pada masyarakat yang ingin menyediakan PLTS Atap.
Sayangnya, hal ini masih susah dilakukan karena terbentur oleh aturan. “Karena kalau hari ini yang namanya konsumen berjualan listrik itu melanggar undang-undang. Yang boleh berjualan listrik hanya pemilik wilayah usaha ketenagalistrikan,” jelas Fabby.
Dalam diskusi tersebut, Fabby mengimbau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang juga hadir dalam forum tersebut untuk merevisi Undang-undang Ketenagalistrikan. “Kalau masyarakat mau ikut serta kontribusi menyediakan energi bersih, jangan dipersekusi, jangan dikriminalisasi, justru difasilitasi,” terangnya.
Suzy Hutomo, founder Ecotourism Bali, sepakat dengan Fabby. Ia merasakan sulitnya mengurus pemasangan PLTS Atap, terutama ketika mengurus Sertifikat Laik Operasi (SLO). Sebelum ada regulasi yang mengatur ketenagalistrikan, Suzy menyebut bahwa pemasangan PLTS Atap lebih mudah. “Supplier dari PLTS itu mereka harus bolak-balik (mengurus SLO). Padahal dulu itu siapa pun bisa memang, dulu ya sebelum ada regulasi,” ujar Suzy.
Demi mencapai nol emisi, Bali harus melalui proses yang cukup panjang. Selain regulasi yang penerapannya masih di permukaan, ada juga ambisi yang terbelit regulasi.
sangkarbet kampungbet kampung bet kampungbet legianbet