Oleh I Nyoman Winata
Ketika membaca Kompas edisi Minggu 9 Desember 2007, berjudul “Bali di Titik Nol”, saya jadi teringat pengalaman saya sekitar 10 tahun lalu saat masih aktif di Korps Sukarela Palang Merah Indonesia (KSR-PMI) Unit Universitas Udayana. Ini soal potret kemiskinan manusia Bali yang pulaunya dikenal dengan sebutan Surga Dunia.
Waktu itu sebenarnya dengan setengah hati saya berkata iya, saat dua teman saya, Mas Triyanto dan Iskandar mengajak saya ke desa Kubu Karangasem untuk memberi bantuan kesehatan pada penduduk di sana. Setengah hati karena saya yakin tempatnya pastilah jauh dan terpencil, belum lagi perjalanan kesana akan kami tempuh dengan menggunakan angkutan umum.
Dan benarlah kenyataanya. Dari rumah saya diantar kakak dengan sepeda motor ke kampus, lalu naik angkot ke Terminal Batubulan. Dari sini perjalanan naik Bus mini tujuan Karangasem dan turun di terminal… (saya lupa namanya) dan masih harus ganti moda angkutan lagi sampai kemudian tiba di desa Kubu. Saya pikir perjalanan melelahkan setengah hari sudah tuntas, yang ternyata masih harus dilanjutkan dengan menggunakan 2 sepeda motor trail milik Yayasan Ekoturin (kalau tidak salah).
Kami bertiga dibonceng dengan dua sepeda motor yang masing-masing dikendarai staf Ekoturin sebagai pemandu, jadi harus ada 1 motor yang dinaiki 3 orang. Perjalanan menuju dusun yang ada di lereng gunung Abang ditempuh dengan perjuangan berat, naik terjal dan melalui sungai kering berpasir. Saya sempat terjatuh, untung tidak mengalami cedera.
Saya tidak membayangkan kalau nun jauh di sana, di pinggang Gunung Abang ada perkampungan yang dihuni manusia. Saya dan rombongan sampai di rumah kepala dusun yang kondisinya lumayan bagus. Sampai di sini saya tidak tahu akan melakukan apa karena saya yakin dua teman saya sudah menyiapkan segala sesuatunya.
Dari cerita staf Ekoturin, saya jadi tahu kalau dusun ini sangatlah terisolasi. Mereka hidup berkelompok dengan segala keterbatasan, terutama air dan sanitasi. Saking terisolasinya, mereka ketakutan ketika melihat ada orang asing (orang yang bukan dari kelompok mereka) datang. “Mereka akan langsung masuk rumah dan mengintip-intip dari dalam kalau ada orang lain datang,” kata staf ekoturin tersebut.
Mereka tidak kenal jamban, karena itu buang air besar tempatnya di samping rumah. Saya bisa bayangkan bahwa penduduk dusun itu masih seperti orang primitif, padahal itu sudah tahun 1998 saat di mana manusia Bali di Denpasar, dan Badung atau kota lainnya sudah menikmati modernisasi.
Lalu saya berjalan ke sebuah bangunan wantilan mini, mereka menyebutnya balai dusun. Setelah menunggu beberapa lama, datanglah berbondong-bondong masyarakat dusun ke Balai Dusun tersebut. Setelah diperkenalkan, kami lalu melakukan pengobatan ringan yakni membersihkan luka-luka borok (berung–bahasa balinya) yang diderita hampir sebagian besar anak-anak di sana. Untungnya perasaan jijik tidak menyergap saya, dan dengan semangat saya melakukan tugas ini. Luka-luka dibersihkan alkohol, lalu diberi betadine, sederhana sekali, tetapi ini sangatlah berarti.
Tiba-tiba ada seorang bapak-bapak menyodorkan saya uang lembar seribuan. Saya bilang, “Nenten naur, Pak.”
Tetapi orangnya memaksa. “Niki jinah anggen naur sesangi,” katanya.
Lalu saya tahu kalau bapak itu punya “sesangi” atau haul kalau “berung” anaknya yang sudah sangat parah bisa sembuh, ia akan memberi uang seribu rupiah kepada yang mengobatinya. Saya tanya Mas Tri dan Iskandar, apakah orang-orang KSR Unud pernah melakukan pengobatan serupa sebelumnya di tempat itu, mereka mengiyakan, jadi uangnya saya terima saja.
Borok merekapun sebenarnya penyebabnya sederhana, ya..karena mereka jarang bersentuhan dengan air. Jadi luka tergores kecil saja bisa jadi borok karena rentan menjadi infeksi.
Ada empat atau lima dusun yang memiliki kondisi serupa. Tidak ada listrik, tidak ada televisi atau sekolah. Sangat terisoliasi dan rada-rada primitif. Namun saya tidak mau menyimpulkan kalau hidup mereka tidak bahagia secara kejiwaan, karena saya yakin mereka punya ukuran kebahagiaan sendiri. Apalagi ketika saya menyimak dengan seksama, ternyata saya masih mendengar suara sayup-sayup nyanyian riang anak-anak yang memotong rumput untuk ternak mereka.
Hanya saya tetap melihat ada ironi, karena perbedaan yang begitu mencolok tersaji di mata dan pikiran saya. Hotel2 dan lapangan golf memakai air jutaan kubik, saudara-saudara di lereng Gunung Abang, jarang melihat air, sampai-sampai kaki, tangan dan badan mereka digerogoti borok. Ah… negeri ini, memang penuh ironi?!!
Lalu, sebagai pemimpin media tv, apa yang bisa anda lakukan untuk menjelaskan dan mencerahkan masyarakat di wilayah media anda dengan cerita seperti ini???
menurut Bli Made rotten, apa sebaiknya yang saya lakukan??
ha ha ha ha…..nanya balik…kacian deeehhhhh
Lho kok tertawa sih bli made ini?? Tidak bisa ngasi jawaban ya…??
nggak bisa lho..beneran nih. terus, jawabannya apa?
Menurut tiang, bikin acara di Bali TV mengenai daerah tertinggal diBali.
POTRET KEMISKINAN DI INDONESIA.
——————————
63 tahun dalam kemerdekaan bangsa sendiri, apa yang sudah kita buat…?
pertayaan ini ditujukan oleh elite kita yang berkuasa memimpin bangsanya.
Saya masih teringat apa yang dikatakan bung Karno dalam ucapannya; Tanah airkita ini tanah yang subur dengan sumber alamnya, kalau kita buang biji jagung pasti dia akan tumbuh. memang kedengarannya sangat indah, tetapi kenyataannya sampai saat ini 63 tahun kemerdekaan ini, kita masih saja dalam penderitaan dan kemiskinan.
Karena kita bangsa yang malas. tidak berani ramai-ramai membuang jagung agar mambawa hasil. Kita tetap saja menjadi bangsa yang malas, hanya menanti uluran tangan dari bangsa kafir yang selalu dikutuki oleh pemimpin bangsa ini.
tetapi begitu sumbangan asing dari negara kafir yang mereka kutuki masuk kenegara miskin Indonesia tangan mereka mulai terbuka lalu mereka katakan; ALHAMDULILLAH ALLAH MAHA KUASA DAN MAHA KASIH, WANG KAFIR SUDAH MASUK NAFAS KEHIDUPAN BANGSA INI MULAI BERNAFAS LEGAH MERINGANKAN BEBAN BANGSA INI.
LALU kita yang melihat suasana ini, kita selalu tersenyum; betapa munafiknya bangsa ini.
Mengutuk kafir tetapi tangan bangsa kita tetap terbuka. nah inilah dosa terbesar bangsa ini, menerima malahpetaka hidup bangsa ini karena dari akibat perkataan yang buruk memukul diri sendiri.