Buku pertama karya Ziggy yang saya baca adalah “Jakarta Sebelum Pagi (JSP)”. Suka dan setelah itu berniat membaca karya-karya lainnya. Cukup tertarik dengan cara Ziggy bertutur di buku tersebut dan memutuskan memang untuk seharusnya membaca karya-karyanya yang lain.
JSP sendiri saya tahu dari sebuah menfess di twitter yang membahas mengenai buku-bukuan. Menfess itu apa? Baik saya juga akan menjelaskannya. Dilansir Urban Dictionary, menfess adalah akronim dari ‘mention’ dan ‘confess’, yang artinya ‘menyebut’ dan ‘mengungkapkan’. Singkatnya, mainan anak twitter yang mau mengungkapkan sesuatu tapi tetap ingin anonymous. Ribet memang.
JSP saya tahu dari menfess tentang buku-bukuan di twitter. Sedikit sekali informasi yang saya tahu mengenai buku ini. Tentu menjadi salah satu pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta atau Kusala Sastra Khatulistiwa bukan salah satunya. Seingat saya, JSP saya baca karena buku ini terus dibahas di menfess yang saya sebutkan tadi.
Setelah membaca dan suka, agak lama untuk kemudian saya membaca karya Ziggy yang lain yaitu, “Di Tanah Lada” buku yang akan dikomentari dengan sotoy kali ini.
Sinopsis
Buku ini kurang lebihnya membahas petualangan, Ava, anak kecil usia sekitar 5 atau 6 dengan temannya bernama P (Iya, namanya cuma huruf P. ) ke Tanah Lada. Atau untuk memberikan gambaran dan tafsir yang menurut saya artinya sebagai, cerita tentang petualangan ke tanah kebahagiaan.
Cerita dimulai ketika, kakek Kia, kakeknya Ava, meninggal dan mengakibatkan keluarganya Ava (Ayah dan Ibu serta Ava) harus pindah ke Rusun Nero. Di Rusun Nero lah Ava bertemu dengan P. Yang awalnya Ava kira sebagai P si anak pengamen.
Karena mereka cukup cocok, mereka sering mengobrol dan pada suatu waktu mereka bersepakat untuk pergi ke tanah kebahagiaan. Atau Tanah Lada. Hingga di akhir cerita keduanya memutuskan untuk benar-benar pergi ke Tanah Lada. ke tanah kebahagiaan.
*Semoga tidak spoiler dan pembaca yang tertarik tetap bisa menikmati bukunya*
Judul: Di Tanah Lada
Penulis: Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie
Tahun Terbit dan penerbit: October 19, 2015 by Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman: 244
Bahasa: Indonesia
Menjadi Kuat Seperti Ava dan P
Meskipun diceritakan dengan cara yang unik dan hampir jenaka, tetap saja, Di Tanah Lada menurutku kisah yang cukup sedih. Kisah untuk terus berdiri meskipun badai menghampiri, kata banyak orang. Karena kita tahu, badai pasti dan hampir pasti akan berlalu. Di bagian sinopsis di belakang buku kamu bisa membaca.
“Namanya Salva. Panggilannya Ava. Namun papanya memanggil dia Saliva atau ludah karena menganggapnya tidak berguna.
Menyedihkan sekali bukan? Ayah Ava sebegitu kejinya hingga menamai anak sendiri ludah. Hal yang tentu sangat tidak lumrah di dunia nyata. Namun, sebagai anak umur 6 tahunan, di buku ini, sebagai anak yang tak tahu apa-apa rasanya Ava tetap tegar saja. Dia malah mencari sudut pandang yang positif, bahwa ibunya mengganti namanya menjadi Salva. Yang artinya penyelamat.
Tak kalah sedih, P yang dikira anak pengemen oleh Ava juga mengalami nasib yang sama. Tinggal bersama ayah tiri. Tidak sekolah. Dan hanya berkeliran di sekitar rusun Nero. P yang berusia 11 tahun, meskipun kisah hidupnya cukup malang, di buku ini P juga diceritakan sebagai anak yang riang. Membawa gitar kemana-mana dan suka menyanyi.
Mereka berdua, Ava dan P, di dalam buku ini sering bercerita bagaimana mereka diperlakukan secara buruk oleh ayah masing-masing. Dipukul. Tidak dipedulikan. Tidak diberikan uang jajan seperti anak-anak kebanyakan. Dan hal-hal lain yang memberi mereka rasa senasib sepenanggungan. Dan inilah yang akhirnya membawa mereka ke perjalanan untuk mencari tanah kebahagiaan.
Namun, seperti anak-anak kebanyakan, mereka hanya anak kecil dan yang mereka tahu seharusnya hanya bermain dan bersenang-senang. Bukan untuk menjadi kuat. Namun, Ava dan P kuat.
Tanah Lada
Saat membaca judul Tanah Lada, sejujurnya saya kurang paham cerita dalam novel ini membahas apa. Lada yang saya tahu cuma bumbu atau penyedap dalam berbagai masakan. Namun, setelah googling ke sana kemari, dan saya lupa menemukannya di mana, ada yang menafsirkan Tanah Lada sebgai cara lain untuk menyebut Tanah Kebahagiaan. Atau Surga, dalam konteks yang lebih jelas. Dan alhasil, ketika saya membaca buku ini, saya langsung teringat lagu milik The Beatles – Strawberry Fields Forever.
Lagu ini memang mempunyai nuansa surealistik dan psychedelic. Di video resminya saja, para personel The Beatles tampil dengan baju warna-warni dengan tingkah yang komikal. Seperti sedang piknik di taman yang menyenangkan. Menyadur Wikipedia, sang produser lagu, George Martin mengatakan bahwa perasaan yang dia rasakan usai mendengar lagu ini seperti “impresionistik mimpi” atau”kabur”.
Seingat saya, lagu ini sendiri merupakan nostalgia John Lennon, salah seorang personel The Beatles, mengenai taman di mana dia sering bermain ketika masih kanak-kanak. Nostalgic memang. Namun, apakah lagu ini juga lahir ketika Lennon dan personil The Beatles yang lain sedang teler karena obat-obatan? Bisa jadi demikian juga.
Mengaitkan dengan buku di Tanah Lada, rasanya Tanah Lada dan Strawberry Fields itu sama-sama taman atau tempat bermain yang menyenangkan. Sebuah taman yang seru untuk keluar dari perasaan-perasaan tidak bahagia. Sebuah taman kebahagiaan. Sebuah firdaus.
Inspirasi dari Chairil
Sepertinya, orang-orang sudah akan tahu puisi Chairil Anwar yang berjudul Aku. Namun, tetap saja, saya akan melampirkan puisi itu lagi di sini. Puisi ini juga menjadi salah satu tema dalam buku di Tanah Lada.
Aku
Kalau Sampai Waktuku,
Ku mau tak seorangkan merayuku
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Sepertinya karya Chairil yang ini merupakan puisinya yang paling masyhur. Saya sendiri membaca pertama kali ketika SD atau SMP, namun langsung membalik ke halaman selanjutnya karena tidak paham. Baru kemudian ketika saya SMA, saya kembali mendengar puisi ini dibacakan oleh salah satu guru yang kebetulan menyukai Chairil. Namun tetap saja, saya masih cukup badung untuk memahami puisi indah ini.
Barulah ketika membaca buku Di Tanah Lada ini, saya baru bisa sedikit lebih memahami secara mendalam makna puisi ini. Di suatu Bab, puisi ini rasanya begitu menyentuh. Puisi Aku ini menggambarkan dengan tepat sekali nasib dan perasaan Ava dan P. Tentang menjadi kuat. Tentang bagaimanapun perlakuan nasib, tidak ada pilihan lain, selain untuk terus dihadapi sekuat mungkin.
Ava dan P laiknya Chairil yang tidak ingin kebanyakan bersedih. Yang meskipun lukanya menganga, mereka masih bisa berlari. Berlari.
Di Tanah Lada
“Jadilah anak kecil barang sebentar lagi. Lebih lama lagi. Bacalah banyak buku tanpa mengerti artinya. Bermainlah tanpa takut sakit. Tonton televisi tanpa takut jadi bodoh. Bermanja-manjalah tanpa takut dibenci. Makanlah tanpa takut gendut. Percayalah tanpa takut kecewa. Sayangilah orang tanpa takut dikhianati. Hanya sekarang (di masa anak-anak) kamu bisa mendapatkan semua itu. Rugi, kalau kamu tidak memanfaatkan saat-saat ini untuk hidup tanpa rasa takut.”
Pesan yang paling menohok dari buku Di Tanah Lada ini tentu pesan di atas. Bertumbuh dewasa sepertinya kita keseringan untuk takut dan lupa bahagia. Lupa untuk bermain-main barang sejenak. Pekerjaan dan kesibukan hari-hari tentu akan sangat mengganggu, namun untuk menjadi apa adanya, menjadi innocent, menjadi bahagia agaknya tak boleh terlupa. Buku Di Tanah Lada seakan mengingatkan kembali untuk tetap melakukan hal-hal yang membuatmu senang. Membuatmu bahagia. Karena semua orang pasti mempunyai Tanah Lada-nya masing-masing. Tanah atau ruang dimana kamu bisa menjadi bahagia.