“Tidak tahu saya gek, saya memang tidak pernah membahas itu,” kata Wati, bukan nama sebenarnya, kepada saya dengan rasa khawatir yang terpancar pada raut wajahnya.
“Mungkin itu sudah dijalankan dari dulu, kalau dibilang setuju, setuju, kalau dibilang tidak, tidak juga,” ujar Mulya, bukan nama sebenarnya.
“Susah-susah gampang menjawabnya, karena itu sensitif banget masalah warisan, walaupun ke anak perempuan. Apalagi jawaban tiap orang pasti beda-beda. Sangat sulit. Makanya, warisan itu masalah kompleks,” tambahnya.
Begitulah jawaban beberapa para perempuan Bali ketika ditanya mengenai sistem pewarisan masyarakat di Bali. Dari respons para perempuan Bali tersebut, terlihat bahwa ini memang topik yang sensitif bagi beberapa orang, khususnya perempuan di Bali.
Sebetulnya hak pewarisan perempuan Bali telah diatur dalam Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP Bali No. 1/Kep/PSM-3MDP Bali/X/2010. Aturan ini terbit pada 15 Oktober 2010 dan dikatakan menjadi “angin segar” bagi perempuan Bali. Banyak pula berita dan jurnal penelitian yang mengangkat aturan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) atau yang sekarang berubah menjadi Majelis Desa Adat (MDA).
Sebab, awalnya, pewarisan masyarakat Bali didasarkan atas kebiasaan dan ahli waris adalah keturunan laki-laki. Sehingga, anak perempuan tidak diperhitungkan dalam harta warisan, walau perempuan memiliki hak menikmati selama ia belum kawin. Jadi, keputusan itu adalah langkah yang mencairkan kekakuan hukum waris adat Bali yang selama turun temurun dan berabad-abad berlaku diskriminasi terhadap perempuan. Namun, setelah belasan tahun lamanya semenjak diputuskan, apakah aturan tersebut sudah efektif tersampaikan?
Sensitivitas Hak Waris bagi Beberapa Perempuan Bali
Berawal dari rasa keingintahuan dan berbekal pertanyaan-pertanyaan yang sempat terpendam dalam benak, saya menelusuri setiap jalan untuk bertemu dengan beberapa perempuan Bali dan beberapa kali pun mengalami penolakan. Ini memang termasuk topik yang sensitif untuk ditanyakan.
Saya berbincang dengan Mulya di kediamannya di daerah Kuta. Rumah dengan tembok oranye yang merupakan kediamannya itu dikelilingi bangunan besar yang berjejer di pinggir jalan raya. Mulya menanggapi semua pertanyaan yang saya lontarkan padanya. Walau sensitif, ia tetap menjelaskan pandangannya terkait budaya patriarki yang cenderung ada di sistem pewarisan Bali.
“Di Bali itu, warisan jatuh ke anak laki-laki, kalau perempuan nikah ke tempat laki-laki, warisan dia ke mana? Kecuali, warisan itu benar-benar dijatuhkan juga ke menantunya, baru itu benar perempuan dapat hak waris,” ujar Mulya bercerita dengan tegas. Ia pun menjelaskan pandangannya bahwa beberapa perempuan di Bali tidak mendapat hak yang selayaknya didapatkan oleh mereka walau telah berada di rumah suaminya. Sementara itu, Mulya juga mengatakan bahwa di lingkungannya tidak semua seperti itu. Ada yang memberikan anak perempuannya warisan, seperti tempat tinggal setelah mereka menikah, ada juga yang tidak. Tergantung kemampuan orang tuanya dalam memberikan warisan kepada anak-anaknya.
“Kalau di lingkungan saya, yang saya dengar, otomatis warisan leluhurnya jatuh ke anak laki-laki itu. Ada juga memberikan anak perempuannya itu beberapa karena kasihan, ada juga yang tidak. Jadi, tergantung orang tuanya. Istilahnya dikasih bekal cuman tidak sepadan dengan anak laki-lakinya,” ujar Mulya. Saya yang duduk bertatap muka dengan Mulya mengangguk paham dan mendengarkan dengan khusyuk pandangannya yang membuka mata.
Di sisi lain, saya pun bertemu dengan perempuan Bali lainnya, yakni pemilik sebuah salon, yang berasal dari Canggu. Sembari menunggu, saya duduk dan menanti giliran. Wangi semerbak salon terasa hingga seluruh penjuru ruangan. Tiba saatnya wawancara, Nyoman Mastini menyambut pertanyaan yang saya lontarkan dengan senyuman yang hangat dan dengan terbuka memberikan pandangannya.
“Kalau menurut saya, itu tradisi. Kita bisa ngikutin bisa nggak, tetapi kalau saya, saya kasih anak saya, walau dia cewek. Sebab menurut saya, tradisi itu, saya nggak cocok, tetapi saya tidak bilang kalau tradisi itu tidak bagus, tetapi itu kan hak saya. Cewek-cowok itu anak saya, saya akan bagi rata. Kalau yang lain mungkin terserah mereka,” ujar Mastini.
Selain itu, ia juga memberikan pandangannya terhadap pembagian di keluarganya dulu (sebelum menikah). “Kalau dulu, saya kan cewek-cewek, kita tetap support satu sama lain, kompak, saling mengisi dan mengerti satu sama lain. Saya juga nggak cuman mikirin keluarga suami saja, saya juga mikirin rumah gadis, walau saya nggak dikasih apa, cuma gak ada apa,” tambahnya.
Mengulik Peraturan MUDP Tahun 2010
“Nggak pernah dengar, tidak ada sosialisasi seperti itu,” jawab Mulya yang mewakili jawaban dari sebagian besar narasumber yang saya temui. Berdasarkan hal itu, bisa dikatakan bahwa masih banyak yang tidak mengetahui keputusan yang telah dihasilkan MUDP (atau sekarang MDA) belasan tahun lalu.
Dengan melanjutkan perjalanan, saya menemui orang-orang yang sekiranya mengetahui seluk-beluk peraturan tersebut secara mendalam. Tibalah saya di Fakultas Hukum Universitas Udayana, tempat Profesor Wayan P. Windia, guru besar di fakultas tersebut yang secara khusus pernah membahas mengenai hak waris perempuan.
Prof. Windia menceritakan bahwa warisan termasuk sebagian dari hukum keluarga menurut hukum adat Bali. Untuk memahami hukum adat Bali, ada empat hal yang perlu diketahui: 1) harus tahu desa adat, 2) harus tahu sistem kekerabatan kapurusa atau patrilineal, 3) harus tahu agama Hindu, serta 4) harus tahu sistem kasta.
“Lalu kalau sudah paham keempatnya, baru bisa mengerti masalah waris,” jawabnya dengan antusias.
Ia pun menambahkan bahwa warisan menurut hukum adat Bali sebenarnya adalah tanggung jawab atau swadharma. Tanggung jawab itu ada tiga: 1) tanggung jawab parahyangan (ada hubungannya dengan pura keluarga dan pura desa adat), 2) tanggung jawab pawongan (hubungan dengan keluarga dan desa adat sebagai umat Hindu), 3) tanggung jawab terhadap palemahan (tata kelola lingkungan alam keluarga dan desa adat sesuai dengan Hindu).
“Kalau yang dimaksud warisan tadi adalah tanah misalnya, itu ada di tingkat terakhir (palemahan). Tidak boleh ngomongin palemahan tanpa tahu di atasnya. Itu bedanya dengan pewarisan lainnya,” tuturnya.
Perlu diketahui pula bahwa Keputusan Pesamuhan Agung III MUDP Bali No. 1/Kep/PSM-3MDP Bali/X/2010, 15 Oktober 2010 berbunyi wanita Bali dapat menerima setengah dari hak waris purusa setelah dipotong 1/3 untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian. Hanya jika kaum wanita Bali yang pindah ke agama lain, mereka tak berhak atas hak waris. Jika orang tuanya ikhlas, tetap terbuka dengan memberikan jiwa dana atau bekal sukarela.
Hukum itu kembali berdasarkan tanggung jawab yang akan diemban oleh ahli waris (purusa). Seseorang yang melaksanakan tanggung jawab penuh, maka hak waris yang didapat akan secara penuh (yang berstatus purusa). Selain itu, Prof. Windia juga menuturkan bahwa dalam pewarisan menurut hukum adat Bali, dikenal pula istilah ninggal kedaton yang berarti meninggalkan tempat kediaman. Ada ninggal kedaton secara penuh (misalnya meninggalkan agama Hindu) dan ada yang secara terbatas (misalnya melakukan perkawinan biasa atau kawin keluar).
“Tergantung status. Mereka yang berstatus ninggal kedaton penuh, maka hak atas warisannya gugur, sedangkan yang ninggal kedaton terbatas, masih berhak atas harta warisan orang tuanya sesuai dengan beban tanggung jawab yang terbatas dan hak warisnya pun terbatas,” jelas Prof. Windia lebih lanjut.
Selain Prof. Windia, saya pun menemui seorang perempuan yang juga pernah memperjuangkan hak waris perempuan Bali, Ni Nengah Budawati selaku Ketua Bali Women Crisis Centre (BWCC). Ia pun berbagi pandangannya selaras dengan yang disampaikan oleh Prof. Windia.
Budawati menjelaskan kembali mengenai ahli waris yang diambil dari keturunan purusa, bukan patriarki (atau hanya laki-laki saja). “Bukan perempuan bahasanya, tetapi siapa yang berstatus purusa,” ujarnya.
Status purusa dan pradana, selain berlaku dalam istilah agama Hindu juga berlaku dalam penjelasan dari hukum waris adat Bali. Dalam hukum waris Bali, purusa dimaknai sebagai anak laki-laki atau anak perempuan (sentana rajeg), yang akan mewarisi, baik hak-hak maupun kewajiban-kewajiban pewaris. Di lain sisi, pradana dimaknai sebagai anak laki-laki atau perempuan yang ninggal kedaton (kawin keluar) dan meninggalkan hak ataupun kewajiban yang ditinggalkan pewaris. Selain itu, ia juga menjelaskan adanya sistem perkawinan yang memengaruhi status ahli waris.
Mendengarnya, saya merasa paham bahwa konteksnya bukanlah melihat apakah dia laki-laki atau perempuan, melainkan apakah dia berstatus purusa atau tidak. Sebelum saya melontarkan pertanyaan lain, Budawati kembali menjelaskan salah satu fakta yang penting dengan antusias.
“Warisan leluhur tidak boleh diterima oleh anak perempuan (pradana),” katanya.
Saya terhenti dan memasang raut muka bingung.
Menurut penjelasan Budawati, warisan leluhur adalah warisan yang ditarik dari garis keleluhuran, dan yang didapat oleh anak perempuan adalah warisan guna kaya. Guna kaya adalah warisan (harta) yang didapat oleh orang tua setelah perkawinannya. Mendengar penjelasan itu, ada satu pertanyaan yang ingin saya lontarkan.
“Mengapa perempuan (pradana) tidak mendapat hak waris leluhur?” tanya saya.
Budawati dengan antusias menjawab pertanyaan saya secara langsung. “Karena ada mekanisme kewajiban di sana. Di Bali, untuk hak waris leluhur mengandung makna kewajiban. Tidak boleh kamu meminta hak, tetapi tidak menjalankan kewajiban,” ujarnya.
Budawati pun menjelaskan kewajiban yang dimaksud, misalnya kewajiban ngadat (melaksanakan tanggung jawab di masyarakat adat), memelihara orang tua, dan memelihara leluhur.
Saya terhenti dan berpikir sejenak, hal yang sama dilontarkan seperti yang dijelaskan Prof. Windia. Tanggung jawab yang dipikul seseorang berstatus purusa pasti akan berat. Tak lama kemudian, Budawati melontarkan pertanyaan kepada saya yang masih memproses segala informasi.
“Kalau kamu kemudian meminta hak waris leluhur, mau nggak kamu ngikutin kewajiban sepenuhnya?” tanyanya. Saya berpikir sejenak. Laki-laki atau perempuan khususnya yang telah menikah pasti tidak akan mampu menjalankan tanggung jawab di kedua tempat secara bersamaan dan pastinya akan sulit. Jadi, inti dari pembahasan tersebut adalah sebenarnya ada kesetaraan gender dalam pembagian hak waris, tetapi tergantung posisinya atau status orang tersebut.
Aksi yang dapat Dilakukan Perempuan Bali
Mendengar berbagai pendapat dari narasumber, lantas muncul pertanyaan dalam benak saya. “Lalu, apa yang seharusnya atau sebaiknya dilakukan oleh perempuan Bali?” tanya saya.
Pertanyaan itu terjawab oleh Budawati yang dengan tegas menjelaskan bahwa perempuan harus tahu posisinya dan mencari tahu informasi tentang hukum adatnya.
“Kita perempuan harus tahu, aku di mana dan hukum adatku bagaimana, bener tidak dia diskriminasi. kalau kamu didiskriminasi, apa yang kamu perjuangkan dan hak apa yang harus kamu minta, bicarakan itu, jangan ngedumel,” tegasnya.
Ia juga mengatakan bahwa apabila membicarakan perempuan, tidak hanya perempuan yang saat ini yang dibicarakan, tetapi perempuan yang akan datang atau lahir nantinya.
“Kalau ngomongin perempuan, jangan ngomongin yang cuma perempuan saat ini, tetapi perempuan yang akan datang atau lahir nantinya, keturunan perempuan kita nantinya,” tutupnya yang sekaligus merupakan sebuah pesan yang disampaikannya.
Asa yang Tertimbun dalam Benak
Berbagai macam asa yang terkemas dengan rasa dan keinginan bercampur menjadi satu, kemudian dilontarkan oleh perempuan-perempuan hebat yang saya temui. Namun, yang terpenting adalah harapan kepada pemangku kepentingan yang terus menyebarkan informasi mengenai keputusan yang luar biasa ini agar lebih banyak lagi yang mengetahuinya.
“Harapan ibu, ini terimplementasi dengan baik. keputusan ini adalah keputusan yang luar biasa di mana kemudian kita bisa memberikan kesejahteraan dan kebermanfaatan bagi perempuan kita, MDA minimal harus sosialisasikan keputusannya. Kalau sudah ada keputusan luar biasa tetapi nggak diimplementasikan atau dikasih dampingan misalkan, kan rugi.” kata Budawati.
Selaras dengan hal itu, Prof. Windia pun menyampaikan hal yang sama bahwa langkah yang dapat dilakukan adalah sosialisasi. Selain itu, Prof. Windia juga menyarankan bahwa awig-awig desa adat (adat kebiasaan yang diwarisi secara turun-temurun di Bali) agar direvisi sesuai dengan awig-awig tertulis dengan substansi Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali, sekaligus juga pemaknaan tentang revisi substansi awig-awig yang dirasa kurang sejalan dengan perkembangan masyarakat (termasuk hubungan ninggal kedaton).
Berdasarkan lika-liku penjelasan panjang yang saya dapatkan, keputusan akhirnya pasti tergantung keluarga yang bersangkutan. Sebab, tiap orang mengalami hal yang berbeda. Namun, satu hal yang dapat dipastikan bahwa kaum perempuan seharusnya memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki dihadapan hukum, sehingga perempuan pun berhak mewaris dari orang tuanya. Kaum perempuan terutama di Bali pun seharusnya mendapatkan perhatian yang sama dengan laki-laki karena mereka pun pernah atau akan selalu bertanggung jawab merawat orang tua semasa hidupnya, sehingga layak diperhitungkan dalam hal pewarisan.
Tulisan ini bagian dari program Workshop dan Story Grant Pers Mahasiswa yang digelar Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) atas dukungan Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit (FNF) dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
There are some interesting closing dates in this article but I don’t know if I see all of them middle to heart. There may be some validity but I’ll take maintain opinion till I look into it further. Good article , thanks and we would like more! Added to FeedBurner as well