Ni Nyoman Ayu Suciartini
Bali, sebuah surganya dunia yang dipenuhi keindahan yang luar biasa, dikenal juga sebagai hunian yang mampu menjaga tradisi dengan sangat baik. Namun, di tengah keindahannya, Bali juga dihadapkan pada tantangan yang serius terkait sampah plastik. Apakah Bali benar-benar memperlakukan sampah dengan bijak?
Sampah-sampah sesaji yang digunakan dalam perayaan dan ritual Bali seringkali berakhir di sungai atau lautan, menyebabkan tempat-tempat yang seharusnya dipenuhi oleh budaya dan keindahan malah dipenuhi oleh sampah plastik. Apakah kita ingin melihat anak-anak kita kelak harus makan di meja yang penuh dengan sampah plastik? Persoalan sampah plastik bukanlah sesuatu yang sepele; jika tidak ditangani dengan serius, dapat menjadi bencana nyata dalam 10 atau bahkan 20 tahun mendatang.
Sebagai masyarakat Bali, penting bagi kita untuk menyadari bahwa perayaan, ritual, dan sesaji tidak boleh diutamakan di atas menjaga sumber air yang merupakan sumber kehidupan. Dengan mengurangi atau bahkan menghilangkan penggunaan plastik sejak dini, kita dapat memberikan dampak positif yang besar bagi lingkungan dan terutama sumber air di Bali.
Bali, yang diidentikkan dengan konsep Tri Hita Karana, harus mewujudkan nilai-nilai tersebut dalam tindakan nyata. Perayaan, ritual, dan sesaji di Bali haruslah sejalan dengan prinsip pemuliaan semesta, pemuliaan sumber air, dan pemuliaan lingkungan yang terdapat dalam Tri Hita Karana. Kita harus memperlihatkan hubungan harmonis antara manusia dan lingkungan melalui tindakan nyata.
Salah satu langkah sederhana yang bisa kita lakukan adalah mengubah cara kita menyajikan sesaji. Pemangku seperti Nyoman Muditha menyarankan agar dalam ritual dan tradisi, masyarakat Bali menggunakan makanan seperti jajanan, biskuit, dan nasi yang dapat terurai dengan sendirinya, tanpa menggunakan bungkus plastik yang berakhir sebagai sampah di sumber air. Sungai, danau, laut, dan mata air di Bali adalah tempat-tempat yang suci dan harus dijaga kebersihannya.
Masalah sampah plastik juga terkait dengan pantai-pantai indah di Bali. Pantai seharusnya menjadi tempat larung segala sesuatu kecuali sampah plastik. Tutur leluhur telah memuliakan alam dengan menggunakan bahan-bahan alami seperti daun pisang atau kain sebagai pembungkus sesaji. Kita harus mengikuti jejak mereka dan tidak terpengaruh oleh modernitas atau alasan kepraktisan yang mengharuskan penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari. Hidup akan tetap berjalan dengan baik tanpa plastik.
Sejak zaman dahulu, tutur leluhur telah mengajarkan kepada kita untuk memuliakan alam Bali melalui berbagai aktivitas adat, ritual, hari raya, dan sesaji. Namun, dengan munculnya modernitas dan kepraktisan, masyarakat sering kali mengabaikan perlindungan lingkungan dengan menggunakan sesaji berbahan plastik. Begitu pula dengan penggunaan kantong plastik yang semakin meluas saat hari raya besar atau ritual keagamaan. Hal ini bertentangan dengan ajaran leluhur Bali yang selalu mengutamakan keberlanjutan. Di masa lalu, bahan alami seperti daun pisang atau kain digunakan untuk membungkus banten atau sesaji. Leluhur Bali senantiasa memuliakan alam.
Kita tidak perlu bergantung pada plastik dalam kehidupan sehari-hari hanya karena ingin terlihat modern atau demi alasan kepraktisan. Percayalah, hidup akan tetap berjalan dengan baik tanpa plastik. Rwanda, di Afrika Timur, telah memberikan contoh yang baik dalam perang melawan penggunaan plastik sejak 2008. Penggunaan plastik di Rwanda dianggap sebagai tindakan ilegal yang memalukan, dan masyarakatnya menganggapnya setara dengan masalah narkotika. Penanganan penyelundupan plastik di Rwanda juga menjadi prioritas yang serius. Tidak pernah terlambat untuk berbuat sesuatu. Apakah kita bisa bersama-sama menyuarakan bahwa membuang plastik adalah dosa yang melukai pertiwi?
*Artikel ini bagian dari sayembara menulis Plastic Detox.