Desa Les merupakan desa kedua yang dikunjungi dalam program “Melali ke Desa” yang dirancang oleh BaleBengong. Desa ini merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Tejakula, Kabupaten Buleleng. Desa Les menjadi salah satu desa yang memiliki berbagai macam destinasi pariwisata yang mampu menarik wisatawan lokal maupun manca negara. Air Terjun, Pura, wisata bahari, wisata pembuatan garam tradisional serta produk-produk lokal lainnya yang ada di Desa Les menjadi daya Tarik tersendiri bagi wisatawan untuk berkunjung Kembali ke Desa Les.
“Melali ke Desa Les” dilaksanakan pada Sabtu kemarin, 10 Desember 2022. Sebanyak 14 peserta yang berangkat dalam menjadi satu rombongan. Rombongan tersebut berangkat dari Peguyangan, Denpasar. Selama perjalan menuju Desa Les, rombongan dipandu oleh Nyoman Nadiana selaku pelaku wisata yang berasal dari Desa Les.
Sekitar pukul 10.00 WITA rombongan tiba di Permandian Umum Desa Les sebagai meeting point. Setelah menginjakkan kaki di Desa Les, peserta diajak untuk memasuki permandian umum, sekedar untuk mencuci tangan ataupun membasuh muka setelah perjalanan jauh dari Denpasar. Peserta wanita, masuk ke permandian sebelah kanan, sedangkan untuk peserta pria masuk ke permandian yang sebelah kiri. Sebelum memasuki permandian, pemandu selama perjalanan, Nyoman Nadiana atau yang akrab dipanggil Bli Don Rare menjelaskan terkait permandian tersebut, termasuk juga prosesi 3 bulanan anak yang harus dimandikan terlebih dahulu di permandian tersebut.
Bergeser sedikit dari permandian umum, peserta diajak untuk melihat arsitektur-arsitektur pura yang ada dikawasan Pura Bale Agung yang letaknya persis berada di sebelah tenggara permandian tersebut. Cuaca yang cukup terik, tidak menyurutkan semangat peserta Melali untuk mengisi rasa keingintahuannya terhadap desa Les termasuk juga untuk mengetahui pura yang ada di kawasan tersebut.
Menuju ke lokasi berikutnya, yaitu Warung Mengguh khas Desa Les. Warung Ibu Made Lesniasih yang terletak di Banjar Dinas Kanginan menjadi lokasi untuk menikmati sarapan. Mengguh yang gurih dilengkapi dengan sayur touge, bayam, dan kecambah lengkap dengan bumbu kacangnya menjadi suguhan dengan rasa yang unik untuk menikmati dipagi hari. Tidak lupa juga kacang merah yang digoreng kering menjadi toping pelengkap mengguh tersebut. Ditemani dengan segelas rujak yang dingin dan sedikit pedas menambah nikmat sarapan tersebut.
Destinasi berikutnya adalah berkunjung ke Pondok kele-kele (trigona) yang dikelola oleh pemuda desa yang masih duduk di bangku SMA, Gede Redi Putra. Pondok kele-kele atau trigona ini merupakan tempat budidaya kele lokal Desa Les. Trigona ditempatkan pada kotak-kotak yang terbuat dari kayu. Sekitar dua bulan madu dari trigona tersebut sudah bisa dipanen. Redi sebagai pengelola pondok kele tersebut menjelaskan kepada peserta melali tentang awal mula menjadi wirausaha trigona, jenis-jenis trigona yang dikelola, serta perbedaan rasa madu dan juga penyebab dari perbedaan rasa tersebut.
Selain melihat budidaya kele-kele lokal Les, peserta juga menyaksikan salah satu kesenian dari Desa Les yaitu Tapel Gandong. Tapel Gandong ini dimainkan oleh Bapak Wayan Madiana. Biasanya, tapel Gandong ini dipentaskan pada saat pengrupukan hari raya nyepi ketika pengarakan ogoh-ogoh. Tapel Gandong ini bisa dimainkan oleh siapa saja. Tidak ada gerakan kusus letika memainkan tapel Gandong tersebut. Gerakannya bebas, karena dengan melihat dan ditambah gerakan-gerakan singkat penonton sudah tertawa apalagi ditambah dengan iringan suara rindik.
Lokasi selanjutnya sebelum ke lokasi terakhir yang dikunjungi adalah tempat pembuatan Arak dan Gula juruh yang ada di Banjar Dinas Selonding. Rute menuju tempat pembuatan Arak dan Gula Juruh melewati Kuburun Umum Desa Les. Peserta diajak untuk mampir dan melihat-lihat Kuburan ala Les tersebut. Mereka cukup tertarik dengan tradisi di Les yang mana orang-orang di desa les yang meninggal langsung dikubur tanpa ada prosesi ngaben seperti daerah-daerah lainnya di Bali.
Kemudian rombongan Kembali melanjutkan perjalanan menuju tempat pembuatan Arak. Peserta diajak untuk melihat pohon lontar sebagai penghasil nira, bahan baku untuk membuat Arak dan juga gula juruh. Dijelaskan juga oleh petani arak dan gula juruh yang akrab disapa Bli Odon tentang tuak dan lau. Beberapa masyarakat berpendapat kalau lau dan tuak itu adalah sama. Sebenarnya, keduanya berbeda. Tuak adalah air yang keluar dari pohon nira sedangkan lau merupakan campuran (bisa serabut kelapa atau batang pohon kesambi yang di potong kecil-kecil) yang di taruh di penampungan air nira yang ada di pohonnya.
Tidak lupa juga peserta diajak untuk mencicipi tuak dan melihat proses pembuatan arak. Namun, sayangnya karena sedang tidak musim, beberapa pohon aren tidak menghasilkan air nira sehingga gula juruh tidak diproduksi belakangan ini. Sekali dayung, dua-tiga kapal terlampaui, mungkin hal ini cocok disematkan untuk kunjungan ke tempat proses pembuatan arak dan gula juruh tersebut.
Peserta melali selain melihat proses pembuatan Arak dan juga melihat pohon aren secara langsung, mereka juga diajak untuk melihat sanggah kemulan Desa Les yang menggunakan pohon Dapdap. Hal ini unik karena sanggah kemulan di Desa Les berbeda dengan sanggah kemulan di daerah lainnya yang tidak menggunakan dapdap sebagai bahan utamanya. Menyambung dengan sanggah Dapdap, setiap rumah di Les yang memiliki sanggah kemulan pasti memiliki Penegtegan, yang ditempatkan di kamar suci. Mereka juga diajak untuk sekedar melihat apa itu yang disebut dengan Penegtegan.
Menuju ke tempat terakhir yaitu Pantai Penyumbahan. Setelah berkeliling di sekitar pusat Desa Les dan sekitarnya, peserta pun berlabuh di pesisir desa. Sesampainya di pantai, peserta sudah disuguhkan dengan makanan kas les untuk santap siang. Nasi Sabrang (singkong), be gerang, ikan tuna bakar, be toktok dan sayur coboran menjadi menu santap siang mereka.
Sayur Coboran merupakan perpaduan dari daun labu, kacang merah, dan jagung yang diisi bumbu dan kuah. Santap siang dengan menu kas Les dan juga ditemani dengan suasana pantai dan desiran anginnya membuat santap siang tersebut terasa lebih nikmat. Tidak lupa juga singkong rebus dengan topping gula juruh menjadi menu penutup.
Disela-sela santai menikmati suasana pantai, tim alumni KJW berkesempatan untuk berbincang-bincang dengan peserta melali. Firman dari Jakarta yang sudah menetap di Bali sejak 2013 dan Mada, siswa salah satu SMP Swasta di Denpasar menjadi teman berbincang saya.
Firman bekerja di salah satu perusahaan Tour and Travel yang berada di Nusa Dua menyukai perjalanan melali. Melali ke Desa Les bukanlah kali pertama Firman berkunjung ke desa-desa yang ada Bali. Melali ke Desa Les, ini merupakan kali keduanya berkunjung. Melali kedua ini sangat berkesan karena dia tidak hanya berkunjung ke satu tempat dan kembali lagi. Namun dia diajak untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat Les. Semua tempat yang telah dikunjungi selama melali merupakan tempat-tempat yang baru, pondok kele, tapel gandong dan juga kuliner mengguh yang pertama kali dia coba dan sangat disukai. Hal yang paling membuat kak firman berkesan adalah pemandangan yang ada di Les.
“Hal yang paling membuat aku berkesan sih pemandangannya. Unik aja desa ini, dari landscapenya ada gunung kemudian ketemu dengan pantai, hijau-hijau semua hehe,” ungkap Firman sembari menunjukkan kekagumannya terhadap Desa Les.
Berbeda dengan Fiman, Mada peserta melali yang paling muda, masih duduk di kelas 2 SMP mengatakan kalau dia sangat suka untuk mengeksplor tempat-tempat baru. Salah satunya melalui Melali ini. Selain itu Mada juga mengatakan bahwa dia sangat suka untuk berinteraksi dengan orang-orang yang baru dia temui.
“Semua yang Mada temui merupakan hal-hal baru bagi Mada. Apalagi Mengguh yang Mada makan tadi. Sebelumnya belum pernah makan itu, seperti bubur diisi kuah pindang, enak banget,” sambung Mada.
Lanjut dari tutur Firman, pertama kali dia berkunjung ke sini ternyata banyak hal baru yang dia temui. Hal-hal yang belum pernah didapatkan sebelumnya. Hanya saja Desa Les harus lebih mengeksplore diri agar banyak orang yang tau tentang Desa Les dan potensinya dan mau berkunjung ke sini. Hal itulah yang menjadi PR bagi Desa Les saat ini.
Kegiatan “Melali ke Desa Les” berakhir di Pantai Penyumbahan. Peserta duduk santai sembari memandangi indahnya lautan dengan pasir hitamnya yang berada persis dihadapan mereka sebelum balik ke Denpasar.