Banyak yang menyatakan bahwa menjadi perempuan Bali sekaligus menjadi simbol untuk Bali itu sendiri. Simbol yang berat tentunya. Benarkah sepenuhnya demikian?
Seandainya para Ibu bisa menjelaskan mengapa perempuan Bali harus belajar banyak hal, mungkin menjadi perempuan Bali tak akan seberat itu. Dahulu, orang tua meminta setiap anak perempuan di Bali untuk bisa memasak, bisa mejejaitan, membuat sesajen, bisa segalanya yang kadang tak sebanding dengan tuntutan kepada anak laki-laki.
Namun, orang tua lupa menyatakan jika kemahiran dan keterampilan serba bisa yang selayaknya dipahami oleh perempuan Bali ini ada nilai berlipat ganda di baliknya. Nilai spiritual, nilai moral, bahkan nilai ekonomis yang bisa dipetik jika perempuan Bali karib dengan tradisi. Dahulu, bagi saya sendiri, kegiatan mejejaitan dan membuat sesajen adalah hal yang sangat rumit.
Hingga timbul pikiran mengapa tak membeli saja sesajen dan jejaitan agar lebih praktis dan tidak membuang waktu, toh artinya sama saja. Belakangan, baru saya memahami bahwa mejejaitan dan rentetan ritual yang dilakukan oleh perempuan Bali bukan tanpa makna. Saya menyesal tidak menemuki mejajaitan itu secara sungguh-sungguh. Kini, saya hanya bisa menopang dagu ketika melihat sahabat saya yang sejak sekolah dasar sudah mahir dan terlatih dalam memainkan janur serta kawan-kawannya.
Hingga kini, sahabat itu telah mendapatkan pundi-pundi rupiah dengan berjualan banten, jejaitan, dan sebagainya. Saya semakin percaya, ia yang memelihara tradisi, menekuni budaya secara sungguh-sungguh dan berkelanjutan akan memetik manfaat bahagia kelak. Pada sahabat itu pula saya bertanya tentang makna-makna sesajen, banten, dan ia kerap menjadi salah satu perempuan yang bisa menunjukkan jalan saat perempuan Bali yang lainnya tersesat oleh arus modernisasi.
Keindahan Bali yang termahsyur itu salah satunya datang dari perempuan Bali penjaga tradisi. Mau tidak mau, suka tidak suka, perempuan Bali harus menerima jika dirinya harus bisa majejaitan, membuat sesajen, belajar makidung, agar bisa diwariskan kelak. Aplaagi untuk wnaita yang sudah emmasuki fase pernikahan, keharusan ini semakin menjadi-jadi.
Jika dahulu tempat belajar perempuan Bali hanyalah Ibu, sanak saudara atau bale banjar, perempuan Bali masa kini bisa belajar tradisi dan bebantenan melalui sebuah platform yang begitu dekat dengan dunia milenial saat ini. Salah satunya yaitu akun tiktok, Instagram, facebook, bahkan youtube.
Perempuan Bali kini juga bisa membuat akun jejaitan atau bebantenan sendiri dan bisa meraup pundi-pundi rupiah dari tutorial yang dibagikan. Jangan berkecil hati, penonton saluran pembuatan banten atau sesajen di Bali sangatlah masif. Sebuah media digital yang edukatif sekaligus dapat memicu generasi muda untuk berkarya dan melestarikan budaya Bali patutlah didukung. Siapa yang mendukung? Tentu saja warga Bali dan anak mudanya.
Saluran-saluran digital semacam inilah yang menjadi alat ampuh untuk dapat mengetuk hari generasi milenial bahwa menjalani tradisi atau adat itu bukanlah sesuatu yang rumit, namun sebaliknya. Melestarikan tradisi membuat seseorang tetap berdaya dan bertumbuh di tengah modernitas. Jadi pada hakikatnya pekerjaan “mejejahitan” sudah jelas merupakan pekerjaan yang didominasi (monopoli) bagi kaum perempuan (ibu), mengingat pekerjaan ini membutuhkan kehati-hatian, perasaan jiwa yang sabar, didukung pula keterampilan dan harus memahami sastra-agama yang menyangkut lontar-lontar sehingga membuat perempuan Bali tak bisa hanya sekadar bisa melainkan harus paham juga.
Sebagai solusi sederhana coba ditawarkan oleh I Dewa Ayu Alit Setiari dan I Gusti Ngurah Mahadisuta dengan menciptakan wadah digital bagi generasi muda Bali dalam belajar tentang Budaya Bali. Kedua pemuda-pemudi ini berkolaborasi untuk menciptakan Channel Youtube yang diberi nama ‘Balinaise’ yang telah memiliki 2.45K subscribers.
Dimana tujuan utamanya adalah untuk memberikan akses informasi terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar budaya Bali dari tingkat yang paling sederhana. Chanel Balinaise ini berisikan berbagai tutorial yang berkaitan dengan mejejaitan dan berbagai keterampilan lain yang berkaitan dengan budaya Bali. Durasi videonya pun tidak terlalu panjang, ratarata memiliki durasi 3 menit. Sampai saat ini, sudah ada seratusan lebih video tutorial yang dipublikasikan dan bisa diakses di aplikasi Youtube. Berkat saluran digital ini, banyak remaja, ibu-ibu, serta perempuan Bali yang tinggal di luar Bali merasa terbantu untuk tetap akrab dengan budaya Bali yang pada akhirnya akan membawa siapa pun kemBali.
Selain jejaitan, ada juga ranah ritual lainnya yang kini bisa dipelajari dan dipahami dalam ranah virtual, yaitu keterampilan makidung. Saya sempat memiliki kekhawatiran terhadap penyanyi atau sang penembang kidung di Bali yang dilantunkan oleh perempuan yang sudah paruh baya. Melulu perempuan paruh baya itu-itu saja, suaranya itu-itu saja, seolah yang menekuni tradisi adalah hanya orang-orang terpilih saja.
Saya melihat sekeliling anak mudanya enggan belajar makidung atau makekawin. Saya juga tersindir sendiri. Saya ingin sekali melantunkan kidung, namun saya kurang percaya diri, saya kurang yakin bahwa suara nyanyian saya akan mampu memperindah ritual yang sedang dijalankan. Nah jika anak mudanya malu-malu seperti saya, siapa yang akan mewarisi? Apakah mungkin jika ada persembahyangan atau odalan, banjar dan desa hanya memutar kaset, cd, nyanyian yang direkam saja? Apakah dewata tak bisa merasakan bahwa ada suara-suara dari perempuan -perempuan Bali yang dipendam begitu saja?
Kekhawatiran ini kini dijawab. Lagi-lagi soal teknologi dan tradisi yang beradu rayu. Lewat ranah virtual dan digital, setiap orang, meski orangnya malu-malu, kini memiliki tempat untuk belajar matembang, makidung, melantunkan sloka-sloka suci tanpa harus banyak penghakiman atau intervensi. Lewat youtube saja, anak-anak milenial yang memiliki ketertarikan terhadap mantra, sloka, maupun kidung mendpaat tempat untuk belajar sebaik-baiknya.
Kecanggihan teknologi tidak melulu mendatangkan candu yang bernapas negatif. Kita bisa memaknainya sebagai alih wahana yang dipandang sebagai sebuah bentuk dan upaya untuk mempertanahkan nilai-nilai budaya, tardisi, kearifan lokal di tengah arus teknologi informasi sebagai wadahnya. Pemanfaatan platform digital seperti yang tersaji lewat yotubube ini menunjukkan bahwa kemajuan teknologi, modernisasi, dan globalisasi yang sering dituduh tidak berpihak pada budaya lokal justru terbukti dapat memotivasi pendukung budaya lokal secara kreatif melestarikan budayanya.
Secara tradisional dan konvensional, kidung biasanya dilakukan di ranah ritual. Kegiatan ritual Hindu yang lengkap senantiasa diiringi oleh panca suara (lima suara) yaitu suara mantra, genta, gamelan, kulkul (kentongan), dan kidung. Ini berarti kidung merupakan bagian yang esensial dari kegiatan upacara. Ada juga anakanak berbakat yang dengan bangga menunjukkan identitas Balinya dengan mem-posting rekaman kidungnya di FB atau YouTube. Media sosial terutama YouTube menjadi ranah digital baru bagi penggemar kidung untuk memperkenalkan warisan budaya ini kepada masyarakat luas. Jika orang tua memanfaatkan radio dan TV, anak-anak muda memanfaatkan media sosial untuk mengekspresikan kegemarannya melantunkan kidung.
Ada beberapa nama saluran penembang kidung yang memberikan motivasi kepada generasi mudah untuk dapat melakukan hal yang sama. Saya pun kerap berguru di ranah virtual ini ketika misalnya didapuk untuk membacakan mantra, sloka, atau kidung. Sebut saja akun Budi Arsajana di youtube, akun sekarbumi, Ma Bali, dan lain-lain yang sudah mengunggah puluhan video makidung yang ditonton pula berulang oleh warga net.
Unggahan mereka mendapat klik puluhan bahkan ratusan ribu. Ini bukti ruang virtual tidak main-main untuk dapat memperkenalkan dan mendekatkan budaya dan tradisi Bali kepada mereka yang menyebut diri milenial dan modern. Sekali lagi para pelaku penjaga tradisi yang memanfaatkan ruang virtual harus senantiasa bertanggung jawab atas apa yang diunggah agar warganet tetap diedukasi berdasarkan nilai kebenaran sastra dan agama itu sendiri.
Dengan hadirnya ruang virtual ini, seorang perempuan Bali yang menjadi simbol besar dan agung terhadap Bali itu sendiri kini tidak perlu khawatir. Semua tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru. Perempuan Bali yang senantiasa setia pada dapur, anak, urusan rumah tangga, kini tetap bisa menjalankan tradisi, seni, ritual, dan budaya tanpa rasa bersalah. Mereka memaknai takdir sebagai kewajiban, kewajiban yang tidak meminta imbalan langsung.
Tradisi perempuan dicontoh dan diwariskan secara apik lewat pikiran, perkataan, dan tindakan yang berbudaya dan beradab. Demikianlah perempuan Bali yang sejatinya simbol dari Bali itu sendiri.