Kanker leher rahim bisa jadi gambaran utuh dari rendahnya akses pemeriksaan dini, stigma, dan ketimpangan gender.
Kanker adalah kata yang dapat merenggut nyali, merampas semangat, membunuh hidup dalam bentuk yang paling tak dapat diungkapkan. Sehari-hari, manusia hidup, bergerak, membangun impian, dan jika hidup, menghadiahi manusia dengan sel-sel ganas ini, hanya ada dua kemungkinan. Pertama, manusia tersebut terkubur dalam kubangan nestapa dan nyeri. Kedua, manusia tersebut bangkit dan tak peduli lagi pada kematian, kematian kehilangan giginya. Sesungguhnya, sebagian besar berakhir pada pilihan pertama, dan, karena itu penelitian tentang asal muasal hingga pengobatan kanker selalu menjadi salah satu agenda utama dunia kedokteran.
Sebagai seorang dokter yang tengah menyelesaikan tahun terakhir pendidikan spesialisasi, aku berkesempatan mencicipi tahun-tahun belajar di rumah sakit pusat yang terdiri dari 1000 tempat tidur. Hari-hari yang penuh dengan perjumpaan dengan berbagai wajah pesakitan, sebagian sudah lelah berjuang, dan, sebagian lagi cemas dalam penyangkalan, sebagian lagi mengirimkan doa agar kiranya mereka masih terus hidup.
Jika kalian ingin belajar tentang betapa hidup adalah kesempatan, maka, aku selalu mengatakan, ”hidup ku banyak berubah setelah menghabiskan hari-hari dengan pasien kanker. Keberanian dalam sebuah kesakitan yang tak terperi, memberiku rasa penghargaan tinggi pada tiap hari dalam usiaku yang entah berapa”.
Tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding melihat perempuan muda yang meregang nyawa dengan ketiga anaknya mencium kakinya yang bengkak. Tulang pipinya menonjol membentuk sudut-sudut tajam, lemak di bawah matanya hilang, perutnya membesar seolah akan meledak, aroma tubuhnya anyir busuk, aroma yang akan mengusir siapa saja. Namun wajah perempuan tersebut mengernyit menahan nyeri, seolah bahwa dalam hembusan nafas terakhir saja, ia masih berlari dari kematian. Pemandangan seperti itu sungguh tontonan yang lazim di rumah sakit pusat rujukan, terkadang aku sampai merasa, “kita semua akan mati, pada akhirnya.”
Kanker leher rahim atau dikenal sebagai kanker serviks adalah tipe kanker yang mengenai sel serviks, yakni bagian yang menghubungkan vagina dengan bagian bawah rahim. Pada tahun 2020, sekitar 604.237 perempuan didiagnosis dengan kanker leher rahim di dunia. Kanker leher rahim merupakan kanker yang paling sering pada perempuan setelah kanker payudara. Terdapat 341.843 kematian akibat kanker leher rahim, 90% dari angka ini terjadi di negara berkembang dimana akses terhadap usaha pencegahan, skrining dan terapi masih sangat terbatas.
Pada tahun 2020, lebih banyak perempuan yang meregang nyawa akibat kanker leher rahim dibanding akibat melahirkan. Faktanya, perempuan yang didiagnosis dengan kanker leher rahim dua kali lipat lebih mungkin untuk meninggal dibanding perempuan yang didiagnosis dengan kanker payudara. Dan, perempuan yang didiagnosis dengan HIV enam kali lebih mungkin untuk memperoleh kanker leher rahim dibandingkan perempuan dengan HIV negatif.
Di Indonesia sendiri, kanker leher rahim menempati posisi nomor dua setelah kanker payudara sebagai kanker paling banyak pada perempuan. Menurut Riskesdas 2018, sekitar 10.69% pasien di RS. Kanker Dharmais adalah penderita dengan diagnosis kanker leher rahim. Fakta lain yang terungkap adalah bahwa kanker leher rahim menurun secara drastis pada negara-negara maju seperti Swiss dan negara-negara Skandinavia, kesetaraan ekonomi, pendidikan dan gender memungkinkan perempuan-perempuan secara dini memperoleh akses pencegahan dan skrining.
Kanker leher rahim secara primer disebabkan oleh infeksi HPV (human papilloma virus), ketika tubuh terpapar dengan virus HPV, secara alami tubuh akan melakukan berbagai mekanisme perlindungan agar virus tersebut tidak menganggu fungsi normal tubuh. Namun, pada sebagian perempuan, virus HPV dapat bertahan pada tubuh tanpa menimbulkan gejala dan menyebabkan perubahan pada sel leher rahim dan akhirnya menyebabkan kanker leher rahim.
Di negara-negara maju, vaksinasi HPV diberikan saat anak-anak memasuki usia 11-14 tahun, yakni usia sebelum aktif secara seksual. Dan, vaksinasi tersebut diikuti oleh akses yang terjangkau dan mudah untuk melakukan skrining tes papsmear secara berkala. Usaha ini terbukti membuahkan hasil yang signifikan, beban sistem kesehatan akibat kanker leher rahim menurun dan angka insidensi jauh turun dalam dekade terakhir. Menurut data GLOBOCAN, pada negara dengan ketimpangan ekonomi, usia perempuan terdiagnosis kanker leher rahim cukup muda yakni <45 tahun.
Ketimpangan Gender
Bagaimana ketimpangan gender berpengaruh pada angka insidensi yang tinggi? Infeksi HPV dapat dicegah dan ketika pencegahan ini gagal, maka, sesungguhnya hal tersebut adalah pelanggaran pada hak asasi manusia. Menurut poin ke 12 dari International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang diratifikasi oleh 169 anggota PBB, dengan jelas disebutkan, ”the right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental health.”
Poin tersebut menyebutkan setiap orang, melampaui jenis kelamin dan kalangan ekonomi, bahwa setiap manusia berhak untuk memperoleh akses terhadap kesehatan fisik dan mental yang terstandar tinggi. Realitanya, poin tersebut adalah kesepakatan yang tidak dapat direalisasikan dengan maksimal pada tiap negara, terutama negara dengan ketimpangan ekonomi, pendidikan dan gender.
Setiap pengetahuan dan hak kesehatan adalah serupa pada setiap manusia, dan, untuk itu setiap kematian perempuan akibat kanker serviks adalah kegagalan akan pemenuhan hak perempuan terhadap pengetahuan, akses, dan layanan. Di negara dengan ketimpangan gender, bukanlah sebuah hal langka dimana perempuan adalah orang kedua dalam menempuh akses imformasi dan pendidikan.
Saling Terhubung
Sekitar 70-80% manusia diusia aktif secara seksual terinfeksi virus HPV. Sekitar 70% kasus akan sembuh dalam 1 tahun infeksi, dan, sekitar 90% kasus akan sembuh dalam 2 tahun post infeksi. Namun, kemampuan tubuh untuk meniadakan virus ini dapat terhambat oleh berbagai faktor, antara lain, multi-partner, hubungan seksual tanpa pengaman, merokok, riwayat penyakit menular seksual, dan usia yang terlalu dini saat melakukan hubungan seksual.
Kanker leher rahim dapat dicegah dengan cukup efektif melalui: vaksinasi & skrining berkala. Namun, realitanya tidak semua perempuan memiliki akses yang sama terhadap pencegahan ini. Sebagai contoh, di Swiss, setiap remaja berusia 11-14 tahun akan memperoleh vaksin HPV di Sekolah, kemudian, setelah mereka aktif secara seksual, perempuan muda dapat mengakses tes pap smear untuk melihat apakah pertumbuhan sel di daerah leher rahim dalam keadaan normal atau abnormal. Kemudian, secara berkala mereka akan mendapatkan jadwal untuk papsmear. Sehingga, jika terdapat tanda abnormal, dengan segera akan mendapatkan terapi sebelum sel berubah dan menyebar ke organ terdekat dan mengancam nyawa penderita.
Saat kita berbicara pencegahan, kita berbicara akses dan pengetahuan. Akses dan pengetahuan adalah kunci yang tidak dimiliki dengan serupa oleh setiap perempuan di negara dengan angka ketimpangan gender yang tinggi. Pendidikan dan kesetaraan adalah kunci. Di Indonesia, menurut studi oleh World Bank; sebagian besar kota di Indonesia tidak memiliki kesetaraan terhadap pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Sebagai contoh, partisipasi anak laki-laki 1,5 kali lebih tinggi terhadap pendidikan dasar dibandingkan anak perempuan di Probolinggo.
Sekitar 12,27% anak-anak perempuan di Indonesia tidak menyelesaikan pendidikan dasar karena menikah. Dan 11% perempuan muda yang memutuskan menikah berada pada usia 15 tahun. Di Indonesia, perundungan pada perempuan lebih sering dibandingkan pada laki-laki. Dan kita tidak boleh lupa, Indonesia berada di urutan ke 88 dari 144 dalam Gender Gap Index pada negara yang berkontribusi pada World Economic Forum 2016. Keikutsertaan perempuan pada banyak bidang pekerjaan tidak serta merta membuat perempuan setara terhadap akses ekonomi, pendidikan dan kesehatan.
Jika kita merunut apa penyebab kanker leher rahim dan bagaimana kita dapat mencegahnya, sesungguhnya, menurunkan angka tersebut bukanlah sebuah hal yang mustahil. Jika saja, kesetaraan perempuan dalam kesehatan menjadi sebuah agenda yang dengan serius dijalankan dari hulu hingga hilir. Pernikahan dini di Indonesia masih terjadi, sementara kita ketahui bahwa hal tersebut adalah salah satu faktor risiko terjadinya kanker serviks. Di banyak daerah, perempuan masih dianggap sebagai kaum nomor dua terhadap pendidikan, sehingga, sebagian besar perempuan akan berkutat pada urusan domestik dan tidak memiliki cukup akses terhadap informasi mengenai pencegahan dan kesehatan seksual. Tidak berdayanya perempuan berdampak pada miskinnya informasi, dan, minimnya keterlibatan perempuan pada usaha pencegahan itu sendiri.
Perundungan
Perempuan bahkan kerap kali merasa terlalu malu untuk menceritakan hal seksual pada sesama perempuan, perempuan juga merasa tabu untuk melakukan IVA test ke puskesmas. Pemeriksaan kesehatan seksual dianggap sebagai hal yang tabu, banyak perempuan takut akan perundungan dan pergunjingan jika mereka melakukan pemeriksaan kesehatan seksual. Sebagai contoh, ketika aku mengatakan kepada beberapa teman bahwa aku rutin melakukan tes HIV dan hepatitis, maka, sebagian besar mereka akan merespon,”kamu suka ngewek ya? berapa banyak pria yang kamu tiduri?” Respon ini masih sangat lazim. Padahal aku tinggal di kota besar dan bergaul dengan sebagian besar orang yang telah menempuh pendidikan sarjana.
Perundungan dan stigma negatif terhadap perempuan yang melakukan pemeriksaan kesehatan seksual masih merupakan masalah. Mengapa? Karena sebagian besar masyarakat kita menganggap perempuan adalah mahluk yang sebaiknya hanya mengurusi dapur, kasur dan sumur. Dengan stigma ini, sebagian besar perempuan akan takut untuk pergi ke puskesmas untuk melakukan IVA tes, meskipun, promosi terhadap IVA tes sudah digalakkan. Perasaan tabu, malu dan takut lebih besar daripada sekedar selembaran kertas tentang pentingnya IVA test untuk skrining kanker leher rahim.
Suara perempuan banyak dibiarkan hilang, perempuan di Indonesia masih banyak takut meminta kepada pasangannya untuk memakai pengaman, apalagi meminta mereka melakukan tes kesehatan seksual. Egosentris yang berpusat pada ego laki-laki menjadikan perempuan manut pada apa saja prilaku seksual laki-laki. Sudah menjadi lagu lama, banyak ibu rumah tangga yang memperoleh infeksi menular seksual dari suami mereka. Di sini, perempuan jelas-jelas menjadi korban. Kita harus mendidik laki-laki untuk menjadi manusia yang bertanggung jawab bukan hanya terhadap kesehatannya tetapi juga kesehatan partnernya. Laki-laki lebih sedikit terdampak infeksi HPV, namun, mereka dapat membawa virus ini.
Sehingga, sangat penting bagi laki-laki untuk melakukan seks yang aman. Ketimpangan gender di negeri yang patriarki, membiarkan perkara keamanan kesehatan seksual menjadi perkara yang hening dan malu dibicarakan. Mengapa malu membicarakan kesehatan seksual? Karena di negeri ini berbicara seks selaku dikaitkan dengan bobroknya moralitas. Jika saja, setiap perempuan dapat bersuara tentang nyeri senggama, tentang bercak darah pada saat senggama, tentang kutil pada kelamin mereka, maka, ada banyak kasus kanker leher rahim yang dapat diketahui lebih dini.
Ilmu pengetahun memiliki kemampuan memperbaiki kualitas kehidupan bahkan memperpanjang usia manusia, namun, ilmu pengetahuan tidak berjalan sendiri ke kepala manusia. Sehingga sudah menjadi tugas setiap manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan, hal tersebut merupakan hak asasi manusia, yakni hak terhadap informasi dan pendidikan.
Setiap hal yang menjadi lapisan penghalang terhadap akses tersebut, sebaiknya harus kita runtuhkan. Perempuan harus berani mencari informasi mengenai kesehatan reproduksi mereka, berani menyuarakan tidak pada prilaku seks yang tidak aman, berani meminta hak untuk tahu riwayat kesehatan seksual pasangannya. Keterbukaan ini adalah gerbang menuju sebuah bangsa yang setara dan sehat, dan, tentu saja akan berdampak pada berkurangnya beban ekonomi terhadap kanker leher rahim.
Jika Anda membaca ini, aku harap, kalian memulai memupuk keberanian dan menyuarakan hak kalian, berkonsultasilah kepada dokter spesialis kandungan dan kebidanan untuk vaksinasi, dan, carilah informasi di Puskesmas terdekat mengenai IVA tes dan papsmear. Mari kita menjadi perempuan yang berdaya.
(1): Sung H, Ferlay J, Siegel RL, Laversanne M, Soerjomataram I, Jemal A, Bray F. Global cancer statistics 2020: GLOBOCAN estimates of incidence and mortality worldwide for 36 cancers in 185 countries. CA Cancer J Clin. 2021 Feb 4. doi: 10.3322/caac.21660. Epub ahead of print. PMID: 33538338.
(2): www.ohchr.org
(3): www.cdc.gov
Comments 1