Hilangnya kesempatan mencapai kesetaraan gender bermula dari sistem perkawinan yang tidak adil. Begitu tercatat dalam buku cetusan Komnas Perempuan yang berjudul Memecah Kebisuan, Agama Mendengarkan Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan.
Ada tiga hal yang dikritisi para pemuka masyarakat dan pejuang kesetaraan gender di Bali. Antara lain, sistem perkawinan, perceraian dan warisan. Dituliskan dengan runut dalam buku yang berjudul Memecah Kebisuan, Agama mendengarkan suara korban kekerasan demi keadilan. Tercetak lumayan lama, yaitu tahun 2014 oleh Komnas Perempuan.
Bersama tiga penulisnya Ketut Arnaya, Ni Nengah Budawati dan Sariningsih menjabarkan kondisi sosial yang mempengaruhi kesetaraan gender di Bali. Berangkat dari kasus-kasus yang ditangani lembaga perlindungan perempuan itu. Mencetuskan pertanyaan tegas di bagian akhir buku mengenai Mengapa Hukum Adat Bali Perlu Diubah?
Beranjak dari situasi riil di Bali. Bahwa sebelum muncul program keluarga berencana, keluarga di bali banyak memiliki anak. Memiliki anak laki-laki lebih diutamakan, bahkan diidam-idamkan. Karena anak laki-laki sebagai kapurusa yang artinya memiliki kewajiban agama (swadharma). Namun, yang terjadi saat ini masyarakat bali cenderung tidak ingin memiliki anak terlalu banyak. Tidak lagi ada tanah yang cukup untuk membiayai anak.
Akibatnya tanggungjawab agama seringkali dilimpahkan pada anak laki-laki. Kondisi ini menjadi masalah yang harus dipertimbangkan sehingga yang terjadi anak perempuan yang sudah kawin keluar, mau tidak mau harus ikut bersedia membantu tanggungjawab orangtua di rumah mudanya.
Di sisi lain, sistem perceraian yang terjadi di lingkaran sosial masyarakat Bali turut berpartisipasi dalam ketidakramahannya pada gender. Tingkat perceraian yang meningkat, memberikan dampak pada status seorang perempuan cerai apabila kembali ke rumah orang tua. Akan bagaimana posisi anak atas hak dan tanggungjawabnya ketika kembali ke rumah bajang?
Seperti kasus nyata yang menimpa Mawar. Cuplikan kisah kalut dituangkan pada halaman 90 buku komnas perempuan cetakan 2014 menceritakan kisah perceraiannya dengan suaminya. Mawar dicerai suaminya, dia pulang tidak membawa apa-apa, tidak minta apa-apa dan tidak dapat apa-apa.
Suaminya minta cerai, tanpa alasan yang jelas, dan karena merasa harga dirinnya terhina, secara emosional dia bereaksi spontan.
“Apa boleh buat?” tanyanya.
Mawar memilih pulang, tanpa membawa baju, perhiasan dan lain-lain. Termasuk mobil pick-up yang Mawar beli dari hasil jualannya. “Biarlah suami saya yang mengambilnya,” katanya.
Yang terjadi kemudian, Mawar pulang ke rumah kakaknya dengan baju yang hanya melekat di badannya saja.
Kisah Mawar adalah salah satu dari sekian kasus sistem patriarki di Bali. Banyak perempuan Hindu di Bali malu bercerai. Malu minta apa-apa. Meski sudah bekerja keras bertahun-tahun untuk menopang ekonomi keluarga. Pernyataan tegas yang dituliskan oleh penulis bahwa hukum adat bali berhasil sejak lama mengatur perasaan-perasaan perempuan atas haknya untuk tidak mendapatkan apapun dari perceraian apabila posisinya bersalah. Jika posisinya tidak bersalah, perempuan hanya berhak “sepertiga” dari harta bersama, harta guna kaya.
Sayangnya, hukum ini jarang diterapkan, sehingga perceraian sangat merugikan pihak perempuan hindu di Bali. Sementara, salah satu sistem patriarki di Bali yang sangat kental turut terlihat pada sistem pembagian warisan. Sistem warisan adalah hal yang sensitif dalam keluarga hindu di Bali. Terlebih untuk keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki.
Sistem patriarki ini semakin dekat terjadi dalam sistem pernikahan. Apabila anak perempuan kawin keluar (meninggalkan kedaton), maka tidak mendapatkan warisan karena kekuatan adat yang tidak lagi dimiliki setelah meninggalkan rumah.
Meski banyak orangtua yang ingin bertindak adil soal warisan ini. Namun, persoalan warisan bukan semata-mata dilihat dari perspektif hak, tapi juga melekat tentang kewajiban. Mengingat, kewajiban ditanggung anak laki-laki. Hal inilah yang menjadi bagian kritis yang disoroti Ketut Arnaya dan tim penulis lain. Mengurai persoalan gender yang melekat di setiap 3 bagian tadi mampu menyumbang kesetaraan gender di Bali.
Melalui keputusan Majelis Utama Desa Pekraman (MUDP,) persoalan budaya yang tidak ramah gender ini diurai perlahan. Pertama seperti yang dijelaskan pada buku halaman 80, bahwa perlu adanya prinsip dasar yaitu paksa, lasia dan satia. Berlaku seperti undang-undang. Menurut Ketut Arnaya dan tim penulis dalam bukunya, hukum adat yang masih hidup di Bali hanya dapat diubah apabila didukung masyarakat yang melaksanakan. Setiap kali muncul persoalan, dalam keadaan darurat (paksa), bersangkutan sebaiknya berunding bersama secara tulus iklas (lasia) sehinga keputusan yang diambil bersama dan setia (satia).
Hal lain adalah dengan sistem perkawinan. Di Bali ada 2 jenis perkawinan, yaitu perkawinan biasa dan perkawinan nyentana. Perkawinan biasa, upacaranya dilakukan di rumah keluarga besar suami. Dalam perkawinan ini, suami berstatus sebagai kapurusam yang mempunyai hak dan kewajiban sebagai kepala keluarga. Sedangkan perempuan sebagai pradana yang membantu suami dalam melaksanakan kewajiban agama dan mengurus keluarga.
Perkawinan nyentana (pihak laki-laki masuk menjadi keluarga perempuan). Jika tradisi masyarakat Hindu menganut sistem patrilinial, dimana posisi anak laki-laki menjadi utama soal waris. Maka dengan perkawinan nyentana, bisa menjadi solusi untuk keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki. Dalam perkawinan nyentana, anak perempuan menjadi kapurusa, yang memilliki kewajiban agama dan adat di keluarga. Sedangkan suaminya tercatat sebagai pradana. Secara status hukum tercatat meninggalkan keluarga asal dan tidak lagi punya kewajiban maupun hak di dalam keluarga asalnya.
Persoalan pelik lain muncul ketika situasinya tidak banyak laki-laki Bali mau nyentana. Apalagi dikaitkan dengan status sosual dan masyarakat yang memiliki perbedaan status keturunan (warna). Bila orang biasa dan pacarnya berkasta, ia tidak dapat diterima nyentana karena akan bermasalah ketika tidak memiliki keturunan laki-laki.
Solusi Perkawinan
Dicetuskanlah solusi atas persoalan sistem pernikahan, perceraian dan pembagian warisan ini ke dalam perkawinan pada gelahang. Melalui keputusan Pesamuan Agung III MUDP, memberikan jalan keluar dari persoalan keluarga yang hanya memiliki anak tunggal. Baik itu anak tunggal perempuan ataupun laki-laki saja. Dalam perkawinan pada gelahang, posisi perempuan dan laki-laki adalah sebagai kapurusa. Dengan kata lain keduanya memiliki tanggung jawab dan hak yang setara dalam dua keluarga masing-masing.
Misalnya kisah Putri dan Ari yang bersedia menikah pada gelahang yang dituliskan pada halaman 85. Mereka adalah anak tunggal di rumahnya masing-masing. Kalau menikah seperti biasa, Putri harus mengikuti keluarga laki-laki, artinya tidak ada penerus di keluarganya. Kalau menikah nyentana, tidak ada yang meneruskan dari keluarga Ari.
Jadi solusinya, mereka menikah pada gelahang. Mereka mengemban tugas, tanggungjawab dan hak dari keluarga masing-masing. Sehingga bebannya menjadi ganda. “Tapi kami berdua sudah sepakat bersedia menjalani. Karena dalam pernikahan bukan ganya bersatu dua jiwa dan badan tapi juga sosiologis yang bertambahnya anggota keluarga,” jelas Ari dalam cuplikan kisahnya.
Sistem perkawinan inilah menjadi salah satu jalan menuju kesetaraan gender dari kacamata Hindu di Bali. Persoalannya hanya saja, kesediaan para pasangan bersangkutan untuk mengemban tugas “lebih” untuk mencapai kesetaraan gender.
Bentuk untuk meningkatkan kesetaraan gender yang lain bisa diawali dengan hal-hal kecil.
Dengan memperoleh akses ke berbagai sumber daya produktif dan kapasitas pendapatan, pendidikan, sumber finansial. Namun, kondisi berbeda yang terjadi pada masyarakat Bali, yang memiliki budaya patriarki kental. Sistem sosial dan budaya tersebut semakin tak mengimplementasikan kesetaraan gender.
Comments 1