“Menangani kasus kekerasan seksual tidak sama seperti menangani kasus lainnya,” cetus Vany, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali menegaskan kasus yang tengah mencuat.
Terdatanya kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan kampus Universitas Udayana (Unud), menyorot perhatian berbagai publik. Tercatat sebanyak 73 laporan kekerasan seksual. Data ini dijaring oleh BEM PM Unud dan Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) Bali melalui posko pengaduan kekerasan seksual pada tahun 2020. Dikumpulkan melalui formulir online.
Setelah diolah oleh LBH Bali terfilter sebanyak 42 korban kekerasan seksual. Pelaku diidentifikasi merupakan mahasiswa, akademisi/staf, alumni dan masyarakat umum. Tempat kejadian didominasi berada di luar lingkungan Unud tapi sebagian terkait dengan aktivitas kemahasiswaan, kemudian di lingkungan Unud, dan melalui media sosial.
Bentuk kekerasan seksual terdiri dari pelecehan seksual, perkosaan, intimidasi bernuansa seksual dan kekerasan berbasis gender online (KBGO). Pasca terkumpulnya data ini, Badan Eksekutif Mahasiswa Unud membawa hasil pendataan melalui audiensi kepada Wakil Rektor (WR) bidang kemahasiswaan Unud ketika kepengurusan Rektor Raka Sudewi.
“Pada 29 Desember 2020 kami menyampaikan data kasus kekerasan seksual ini kepada Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, selaku WR 4 waktu periode 2017-2021. Namun tidak mendapat tindaklanjut yang diharapkan,” ungkap Presiden BEM Unud, Muhammad Novriansyah Kusumapratama.
Hingga akhir kepengurusan Rektor Unud periode 2017-2021 pun tak ada angin segar yang menyambut data itu. BEM Unud kembali mengawal kasus ini ke pengurusan rektor baru Prof Antara yang dilantik Agustus lalu melalui surat kajian inventaris permasalahan yang harus diselesaikan. Pada 11 Oktober 2021.
BEM Unud bersama WR bidang kemahasiswaan melakukan audiensi membahas acuan peraturan pencegahan dan penanganan kasus seksual di lingkungan kampus Universitas Udayana. Gayung pergerakan bersambut, dengan terbitnya Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Bagi perguruan tinggi yang tidak mengindahkan peraturan ini akan mempengaruhi akreditasi kampus.
Rektor Persoalkan Validitas Data Kasus Kekerasan Seksual di Unud
Berdekatan dengan momen penerbitan peraturan terkait pencegahan dan penanganan kasus seksual di lingkungan kampus itu, mencuat kembali data 42 korban kasus yang terjadi di Unud. Hal ini menimbulkan ragam respon bahwa Universitas Udayana belum aman dari kekerasan seksual.
Rektor Unud, Prof Antara mempertanyakan validitas data yang dihimpun LBH Bali. Dalam pertemuan pada 22 November 2021, ia menyatakan tak memegang data kasus kekerasan seksual di kampus negeri di Bali itu. “Sampai saat ini, yang saya herankan itu, LBH Bali ngomong data itu ke media massa. Terus terang kami tidak memegang data-data itu. Kami akan berkoordinasi dengan LBH Bali, terkait data-data yang dihimpun itu, siapa nama pelakunya, kapan kejadiannya, siapa korbannya?” kata Rektor Unud periode 2021-2025.
Jumlah 42 kasus yang dilaporkan kepada media massa menurut Prof Antara tidak merepresentasikan civitas akademika kampus Udayana. Metode pengumpulan data pun ia pertanyakan. “Kami memiliki 35 ribu mahasiswa, 1700 dosen, 1600 tenaga kependidikan. Lalu bagaimana kami bisa mengolah? Kekerasan seksual kok melalui survei, kuesioner? Ini yang saya tidak mengerti, kapan survei itu dilakukan lalu validasinya bagaimanaa? Berapa populasinya?” tanya Prof Antara.
Pihaknya akanterbuka dan tegas menyelesaikan kasus itu kalau memang datanya benar. Apalagi, ada pelaku yang disebutkan sebanyak 4 staf.
“Kalau memang staf, kami bisa dengan cepat mengantisipasi dan menindaklanjuti jika kami tahu orang-orangya. Tapi kami tidak memegang data,” tegasnya lagi. Adanya 14 pelaku dari mahasiswa juga menjadi pertanyaan Prof Antara. “Jangan-jangan pada waktu itu mereka dalam status pacaran. Itu terjadi di luar kampus. Kami tidak bisa bergerak banyak kalau begitu,” jelasnya.
Menurut Prof Antara, LBH Bali tidak profesional memberikan angka-angka itu ke masyarakat kemudian mendesak pihak kampus menyelesaikan kasus itu. “Kami didorong menyelesaikan kasus yang mana? Datanya siapa? Itu yang harus dipertanggungjawabkan LBH Bali. Kalau sampai memainkan data ini dengna bukti yang tidak nyata kami bisa melakukan perlawanan secara hukum kepadda LBH Bali,” pungkasnya.
Menangani Kasus Kekerasan Seksual dari Perspektif Korban
Di sisi lain, dalam jumpa pers (24/11) direktur LBH Bali, Ni Kadek Vany Primaliraning menyayangkan respon kampus yang justru mempermasalahkan validitas data. Ada perbedaan penanganan kasus kekerasan seksual dibanding penganiayaan. Ada sensitifitas yang harus dibangun karena korban sudah trauma.
“Salah penanganan sedikit, biasa memangil trauma mereka, bisa depresi, lalu bunuh diri,” jelas Vany. Metode pengumpulan data melalui formulir online dengan mengumpulkan data terkait nama korban (bisa dalam inisial), email, kontak, jenis kelamin, status, asal jurusan atau fakultas, latar tempat kejadian kekerasan, siapa pelakunya, bagaimana kronologinya. Dari sini dipetakan jawaban form itu akan masuk jenis kekerasan yang mana. Ada harapan dari korban yang dituliskan para korban.
“Mayoritas karena kekerasan terjadi sudah lama sehingga harapannya ada sistem di kampus yang aman dari kekerasan seksual, tapi ada juga yang minta pendampingan hukum, psikis dari sana baru kami ditindaklanjuti,” kata Vany.
Setelah terpetakan dengan tuntas baru didiskusikan dengan korban. Sehingga yang minta pendampingan ke psikolog akan didampingi. Dari 73 laporan yang masuk, dipilah mana korban dan yang mana sebagai informan.
Prinsipnya posko ini dibuka untuk mendengarkan suara korban. Bila validitas data kita dipertanyakan, maka ada pemahaman yang salah. “Sasaran kami tidak random, sudah terarah. Siapa yang menjadi korban atau mengetahui adanya kekerasan seksual di Unud, itu adalah target pengisi posko kami,” jelas Vany.
Menurutnya, data kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus seperti fenomena gunung es. Yang dapat dijangkau sangat sedikit dan masih banyak kasus yang tidak terungkap. Sedikitnya, 42 kasus ini bisa menggambarkan kasus kekerasan seksual di institusi pendidikan. Kalau saja ada sistem yang mendukung penanganan kasus ini, mungkin saja akan mendapat data yang lebih banyak dari angka 42.
Vany menegaskan kekerasan seksual tidak memandang hubungan. Meskipun dalam hubungan pacaran, jika terjadi kekerasan seksual itu tetap termasuk dalam kekerasan seksual. Karena konsepnya, kekerasan seksual itu tidak terletak pada hubungannya, tapi persetujuannya (consent). “Kalau tidak ada persetujuan ya masuk kekerasan seksual. Hal itu harus dilihat utuh, bukan karena formalitas. Tapi memang sistem yang bisa memberikan bantuan terhadap korban,” tegasnya.
Kekerasan seksual sering kali terjadi di luar jam dan lingkungan kampus. Menjadi hal yang mengherankan kampus tidak memiliki data kasus ini. Ada 3 pertanyaan yang muncul dari fenomena ini. Apa memang benar tidak ada data tentang kekerasan seksual di kampus? Apakah pernah ada laporan tapi tidak ditindaklanjuti secara serius? Apakah kampus belum memeiliki sistem yang nyaman untuk diakses korban, sehingga korban tidak mau melapor ke kampus?
“Tidak ada sistem bukan berarti tidak ada kasus. Harus ada evaluasi kampus terhadap 3 pertanyaan kami,” desaknya.
Melalui posko pengaduan yang sudah dibuka sejak tahun 2020 atas inisiatif bersama BEM Unud, Seruni, dan LBH Bali, menjadi ruang mengadu yang dibuka untuk para korban. Beberapa korban yang sudah terdata tahun 2020 saat ini mendapat pendampingan dari Seruni Bali untuk menindaklanjuti korban.
“Kami membantu menjaring teman-teman yang menjadi korban agar terdata,” papar Novriansyah ketika jumpa pers. Sejak awal tahun 2021, BEM Unud menargetkan adanya regulasi di kampusnya terkait penanganan kasus kekerasan seksual. Melalui narasi Gerakan melawan kekerasan seksual (Gema Kesal) Universitas Udayana.
Tanggal 15 Agustus 2021 posko pengaduan kekerasan seksual secara daring kembali dibuka. Namun, belum ada yang mengisi survei tersebut. Karena memang mendorong korban kekerasan seksual untuk angkat suara bukan hal yang mudah. “Korban berani speak up aja harus diapresiasi. Bukan malah menyampaikan suara tersebut, dengan dalih nama baik kampus. Dasar-dasar penanganan PKS itu tidak digunakan,” jelas Vany.
Sekian kali pertemuan dan audiensi semoga menjadi tanda baik, regulasi terhadap kekerasan seksual di kampus bisa terbit. Seperti persiapan yang dikatakan Prof Antara, bahwa pihaknya akan segera membuat panitia seleksi untuk menyeleksi satuan tugas sesuai amanat Permendikbud No. 30 tahun 2021.
Satuan tugas ini nantinya akan mensosialisasikan sanksi yang sangat berat jika terjadi PKS di Unud. Satgas juga bertugas melakukan pencegahan apabila ada kejadian. Termasuk juga mendampingi dan meyakinkan bahwa korban akan mendapat pendampingan sampai selesai perkuliahan mereka.
“Semoga draf ini bisa menjadi acuan untuk pihak rektorat membuat peraturan. Harapannya akhir tahun ini terbit peraturan rektor mengenai pencegahan dan penanganan PKS di Unud,” jelas Presiden BEM Unud.
Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia?Nomor 30 Tahun 2021tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi pada Pasal 10 disebutkan Perguruan Tinggi wajib melakukan Penanganan Kekerasan Seksual melalui: pendampingan; pelindungan; pengenaan sanksi administratif; dan pemulihan Korban.
Selengkapnya bisa diunduh di sini. salinan_20211025_095433_Salinan_Permen 30 Tahun 2021 tentang Kekerasan Seksual fix
Baik sedikit mau pun banyak yang melapor diharapkan di lembaga manapun jika terjadi kasus kekerasan seksual maka langsung diusut. Tujuan untuk diusut bukan hanya menemukan pelaku tetapi mencegah terjadinya kembali kekerasan seksual dan membuat para pelaku jera akan hukum yang berjalan di negara kita. Dengan demikian, tindakan tersebut bermanfaat sehingga kasus kekerasan seksual dapat berkurang tanpa menunggu kejelasan data dan banyaknya korban yang melapor.