Oleh Ni Ketut Juniantari dan Luh De Suriyani
Kelompok buruh tangki selam di Tulamben ini bergulat dengan minimnya penghasilan selama hampir dua tahun pandemi Covid-19, kebutuhan pangan, dan biaya upacara adat dan agama. Namun, solidaritas kelompok ini jadi salah satu penyelamat.
“Kalau dulu pulang kerja menghitung uang, sekarang baru bangun menghitung iga-iga (istilah Bali untuk langit-langit kamar),” cetus Ni Luh Kadek, salah satu perintis organisasi buruh tangki Tulamben.
Karangasem menjadi salah satu daerah yang terpukul akibat pandemi. Desa Tulamben yang terletak di bagian timur Pulau Bali ini berada di kawasan kering kaki Gunung Agung, memiliki panorama gunung dan laut, nyegara gunung. BaleBengong mengundang belasan warga, kelompok buruh tangki atau porter, kelompok nelayan, dan pemandu selam dalam diskusi mengenai persoalan perempuan pekerja pariwisata di tengah pandemi Covid-19 hampir dua tahun ini pada akhir Agustus 2021 lalu.
Tulamben menjadi destinasi pariwisata bawah laut paling populer di Karangasem. Pesisir Tulamben memiliki pesona bawah laut sehingga kawasan pantai ini salah satu favorit untuk aktivitas diving dan snorkeling. Salah satu daya tariknya adalah bangkai kapal USAT Liberty Wreck yang tenggelam pada 1942 akibat tembakan torpedo. Kini menjelma menjadi rumah ikan yang mempesona. Sejarah inilah yang turut memikat para penyelam tiada bosan menjelajahi perairan Tulamben. Sejak tahun 1970an mulai banyak penyelam terutama warga asing ke Pantai Tulamben, yang mendorong pertumbuhan aktivitas pendukungnya. Salah satunya jasa angkut tangki selam.
Pekerjaan yang menarik yang dikerjakan oleh hampir semuanya perempuan. Jasa yang ditawarkan adalah membawakan tangki udara (scuba tank) yang beratnya sekitar 15 kg/tangki isi penuh, sabuk pemberat (weight belt) sekitar 5-10kg, BCD, dan peralatan penyelam lainnya. Jasa ini menjadi sangat dibutuhkan karena tepi pantai Tulamben yang berbatu dan berjarak sekitar 300-500 meter dari tempat parkir menuju pantai.
Solidaritas Buruh Angkut Tangki Perempuan di Tulamben
Pantai Tulamben pada 1980an adalah pesisir yang sunyi. Belum ada perusahaan dive operator, hotel, restoran, dan lainnya. Suasana sunyi ini mendadak pikuk ketika kendaraan yang membawa penyelam tiba.
Sejumlah warga berlari menyongsong kendaraan itu parkir. Salah satunya Ni Luh Kadek. Ia berlari kencang agar bisa menggapai kendaraan membawa turis asing itu lebih dulu.
“Rampok, rampok,” teriak supir dan pemandu sambil terkekeh ketika melihat lebih dari 5 orang warga mengerubungi mobil. Ketika pintu dibuka, tangan-tangan warga sudah saling menarik barang.
Ni Luh salah satunya. Ia merengkuh tas berisi peralatan menyelam dan tangki dengan kedua tangannya. Caranya untuk klaim barang-barang itu. Artinya semua barang yang dipeluknya tidak boleh diambil orang lain, dan dia yang berhak mengangkut ke titik penyelaman.
Upah yang diterimanya saat itu Rp500 rupiah per tangki yang dijunjung di kepala dari kendaraan ke titik penyelaman. Jarak terdekat sekitar 500 meter sampai menelusuri pantai dengan hamparan batu-batu sebesar kepalan tangan, jejak material erupsi Gunung Agung pada 1963.
Tak jarang supir dan pemandu selam merasa sebal dengan tarik menarik dan saling klaim barang itu. Hal inilah yang akhirnya mendorong warga membuat kelompok buruh angkut tangki. “Rasanya tidak enak kalau rebutan terus,” keluh Kadek.
Untuk menghindari keributan lagi dan demi keadilan, para buruh perempuan ini sepakat membuat kelompok sekitar 1983. Kemudian pada 1990an baru hadir hotel di Tulamben. Perintisnya adalah Hotel Bali Timur (kini Hotel Mimpi), Hotel Paradise, dan Hotel Ganamayu (kini Touch Tulamben Resort). Diikuti puluhan perusahaan dive operator yang menyediakan pemandu selam dan peralatannya.
Sampai akhirnya kelompok angkut tangki meresmikan Koperasi Sekar Baruna pada 1990an. Artinya bunga atau rejeki dari laut.
Ada dua versi tentang jumlah keanggotaan pertama kali. Ada yang menyebut 8 dan 15 orang. Kesepakatan unik kelompok ini adalah, seluruh penghasilan buruh tangki harus dimasukkan dulu ke bendahara. Setelah dipotong sumbangan ke desa adat sebanyak 5% dan kas 5%, barulah sisanya dibagi rata.
Upah buruh terus meningkat, dari Rp500 jadi Rp1000, lalu Rp4000, lalu sampai Rp10.000 per tangki saat ini. Walau para buruh juga mengangkut tas peralatan selam, namun yang dihitung sebagai upah hanya jumlah tangki yang diangkut.
Membludaknya penyelam yang datang ke Tulamben membuat kelompok buruh tangki ini diincar warga lain. Namun, Koperasi Sari Baruna ini sudah memiliki kesepakatan, hanya 29 orang yang bisa jadi anggota. Jika ada yang yang ingin bergabung, hanya bisa membeli kuota yang sudah ada. Itu pun jika ada yang mau menjualnya.
Makin banyak penyelam, artinya makin banyak tangki yang harus diangkut. Walau pekerjanya makin capek, penghasilan otomatis berlipat. Tak heran, tiap buruh pernah merasakan mendapat pembagian hasil sekitar Rp8 juta per bulan.
Bahkan ada yang berani membeli kuota anggota senilai lebih dari Rp120 juta. Cara kelompok mengendalikan jumlah buruh tangki ini berhasil menghindari kerusuhan, termasuk menjaga kestabilan penghasilan mereka.
Namun, walau nyaris semua buruh tangki adalah perempuan, yang terdaftar sebagai anggota dan pengurus kelompok dan koperasi adalah nama suaminya.
Salah satunya I Nyoman Degeng, 57 tahun adalah salah satu nama yang terdaftar sebagai kloter pertama kelompok ini. Sedangkan yang bekerja jadi buruh adalah istrinya, Ni Nengah Canang.
Degeng mengatakan kelompok menggunakan badan hukum koperasi sejak 1985. Ia jadi ketuanya saat itu, sampai terpilih jadi Kepala Dusun Tulamben pada 1995-2017. “Nama laki-laki yang tercatat, karena kami yang akan bertanggungjawab jika ada komplain,” sebut Degeng. Ia sendiri mencari penghasilan sebagai peternak dan memiliki 12 kamar penginapan Puri Aries sejak 1997. Ia juga bekerja sama dengan turis Perancis yang membuat perusahaan operator selam Dive Concept di areal penginapannya.
Jika istri sudah tidak mampu jadi buruh, barulah diganti laki-laki, anak atau suaminya sebagai pekerja sekaligus anggota kelompok. Bedanya, jika perempuan menjunjung peralatan selam dengan kepala dan bahu, laki-laki memilih pakai motor.
Sejumlah komplain dan masalah yang pernah muncul adalah barang yang diangkut diklaim hilang. Maka anggota kelompok yang harus menggantinya.
Sistem kelompok buruh tangki ini dinilai sangat efektif. Termasuk dalam pengelolaan kas bersama. Misalnya saat hari raya, kas dibagi untuk membantu pembelian bahan-bahan upacara agama.
Ia mengingat, kas terbanyak yang terkumpul adalah ratusan juta tahun pada 1990an. Selain dibagi ke anggota koperasi dan desa adat, juga diputar untuk simpan pinjam atau disimpan di bank.
Degeng menjamin, pasti ada generasi penerus buruh tangki ini jika terus menghasilkan. Selama kawasan konservasi bisa dijaga, maka akan terus mendatangkan penyelam. Tulamben menyepakati sekitar 100 meter dari bibir pantai adalah kawasan yang terlarang untuk memancing atau mencari ikan. Inilah upaya mereka untuk memastikan keberlangsungan wisata bawah lautnya.
Tak heran, kegiatan penyelaman tak mengenal waktu. Ada yang menyelam mulai dini hari dan malam hari. Nah, para buruh tangki ini pun membagi diri. Anggota Koperasi Sari Baruna bekerja pagi sampai jam 3 sore.
Berikutnya ada buruh tangki laki-laki yang disebut kelompok Siskamling yang bekerja sampai malam dan dini hari. Anggotanya kebanyakan nelayan. Jumlahnya lebih banyak, sekitar 75 orang dibagi beberapa shitf dan titik penyelaman. Ongkos buruhnya lebih mahal, sekitar Rp15ribu per tangki.
Inilah cara warga membagi penghasilan dari rejeki bawah lautnya. “Kalau saya rakus, hasil dari jukung dan buruh ya saya sendiri,” imbuh Degeng. Ia mengaku bangga dengan cara warga mengatur diri agar tidak banyak yang monopoli kue pariwisata.
Matahari belum nampak di kaki langit laut Tulamben. Namun para penyelam sudah bersiap di bibir pantai yang berbatu. Buruh angkut yang wara-wiri mengangkut tangki ke titik penyelaman adalah laki-laki dengan motornya.
Luh Sukami, buruh angkut tangki perempuan sedang sibuk di rumahnya, memasak dan menyiapkan sarana persembahyangan rutin setiap hari. Pukul 7 pagi, Luh Sukami dan rekan-rekannya menuju beberapa pantai yang jadi titik penyelaman di Tulamben.
Sedikitnya ada 5 titik, yakni Puri Madha, koordinatornya Made Resmini. Titik Drop off dan Coral Garden dikomandani Ni Luh Kadek, titik Liberty Wreck ada Luh Sukami, dan Ocean View dipimpin Made Ngetis.
Para buruh perempuan ini sedang menunggu kembalinya ratusan penyelam agar kas kelompok kembali terisi. Hampir dua tahun pandemi ini, jaring pengaman sosial sudah membantu pembiayaan darurat. Kini, kas telah menyusut, namun harapan mereka belum hilang.
Pemandu Selam Pekerjaan Laki-laki
Tingginya kebutuhan jasa angkut tangki memberikan penghasilan cukup memuaskan. Paling sedikit tiap buruh angkut tangki menghasilkan 7 juta/bulan jika ada ratusan penyelam per hari. Kelompok Sekar Baruna, dikenal akrab dengan sebutan buruh porter. Kelompok lain yang turut terbentuk akibat membludaknya kedatangan wisatawan ke Tulamben adalah kelompok selam yang tergabung dalam Organisasi Pemandu Selam Tulamben (OPST ).
Dua kelompok pekerjaan ini menarik perhatian karena tmenunjukkan perbedaan gender. Buruh porter misalnya, hanya dikerjakan oleh perempuan atau ibu-ibu. Sedangkan profesi pemandu selam hanya dilakukan para laki-laki.
Kenapa tidak ada perempuan yang menjadi pemandu selam? Ketika pertanyaan ini dilayangkan, Pasek, salah satu anggota pemandu selam mengatakan karena ada anggapan bahwa pemandu selam adalah pekerjaan laki-laki.
“Dulu ada perempuan yang mau menyelam, tapi dia malu karena pekerjaan itu kan pekerjaan laki-laki. Ada satu orang anak muda perempuan yang menjadi pemandu selam, tapi sudah menikah lalu berhenti,” jawab Pasek.
Begitu juga dengan Ni Luh Kadek yang mengenang masa mudanya memiliki keinginan belajar menyelam untuk menjadi pemandu selam. Namun, kandas karena rasa malu adanya anggapan itu pekerjaan bukan untuk perempuan.
“Dulu ada keinginan untuk belajar menyelam, bahkan dulu sudah dikasi minta celana panjang untuk menyelam, tapi sudah malu duluan, nggak berani,” kata Kadek.
Dalam diskusi di Banjar Tulamben, Kepala dusun, I Nyoman Suastika turut merespon pertanyaan ini. Ia memperkirakan saat ini sudah mulai berbeda. Kemungkinan keinginan menjadi pemandu selam banyak diminati anak muda perepuan Tulamben. Hanya saja, fasilitas menyelam masih cukup mahal untuk disewa. Begitu pula OPST yang turut mendukung minat ini, belum bisa memfasilitasi penuh peralatan yang dibutuhkan.
“Yang juga menjadi pertimbangan adalah kelanjutan pemandu selam jika perempuan sudah menikah. Jika semasih bujang, pasti bisa karena masih bebas. Tapi kalau sudah menikah akan terbentur permasalahan adat, kedudukan, belum lagi kalau sudah punya anak dan ketika hamil, tidak boleh menyelam,” tandas Nyoman.
Menawar Pengeluaran Adat dengan Persembahan Sederhana
Peran perempuan di desa ujung timur pulau Bali ini juga menyimpan ragam cerita. Nyaris tidak ada perempuan atau ibu-ibu yang berdiam diri saja di rumah. Aminah, seorang terapis di Tulamben mengatakan warga memanfaatkan semua peluang kerja dampak wisata selam.
Ketika matahari baru terlihat di cakrawala, para perempuan Tulamben sudah bergegas ke pantai menjalankan pekerjaanya sebagai buruh porter. Saat sore menjelang, pukul 3 sore, mereka beralih pekerjaan sebagai tukang pijat untuk tamu yang berlibur ke Tulamben sampai pukul 7 malam bahkan lebih jika ada pesanan.
Sebelum ke pantai, tak lupa para ibu porter memastikan sudah ada makanan untuk sarapan dan makan siang keluarga. Jika hari raya dan upacara agama menjelang, membawa janur dan perlengkapan pembuatan sesajen ke tempat kerja. Mereka tidak membuang waktu dengan hanya duduk atau termenung. Di sebuah bale-bale pusat parkir Tulamben, para buruh perempuan ini terlihat merangkai janur atau membuat anyaman kerajinan. Sambil menunggu mobil-mobil turis yang hendak menyelam.
Mereka juga berorganisasi. Rapat koordinasi perkembangan kelompok Sari Segara setiap bulan sekali. Mereka membahas jumlah kas yang bisa dipinjam atau diputar untuk bantuan sosial. Pembagian upah hasil angkut tangki tiap dua hari sekali yang menjadi momen ditunggu-tunggu para pekerja. Simpanan dalam bentuk kas, hasil menyisihkan upah yang dikoordinir organisasi dibagikan tiap hari raya atau akhir tahun.
Namun, Pandemi meluluhlantakkan aktivitas dan penghasilan para buruh porter di Tulamben. Tak ada lagi rapat koordinasi tiap bulan, apalagi pembagian uang kas karena tak ada pemasukan. Begitu pula dengan penghasilan. Bahkan sejak ditetapkannya pembatasan kegiatan atau PPKM, tak ada denyut pariwisata di Tulamben.
Untuk memenuhu kebutuhan sehari-hari, biaya upacara agama dan adat, dan lainnya, mereka hanya mengandalkan sisa tabungan. Perubahan lain yang menyesakkan, tak ada pertemuan kelompok bahkan sekadar bertegur sapa di pantai tempat para buruh biasanya berkumpul karena ada razia-razia satgas penanggulangan Covid-19 selama PPKM.
“Di pantai paling cuma ada 2-3 orang. Kadang keluar agar tidak stres, meskipun tak ada tamu,” cerita Ni Luh Kadek, yang juga perintis organisasi kelompok pijat atau massage di Tulamben.
Ia merasa gelisah luar biasa. Gempuran pandemi mulai berdampak warga sampai tekanan psikologis. “Tidur jam 10 malam, lalu terbangun jam 2 pagi. Sampai kapan begini?” begitu pikiran Kadek diiyakan rekan-rekannya yang mengganggu tiap malam.
“Ipidan ngalih pis 30-40 ribu, gampang. Jani, kadirasa 100 rupiah, keweh – (dulu mencari uang 30-40 ribu, gampang. Sekarang, rasanya nyari 100 rupiah, susah),” ia bercerita.
Menyiasati penghasilan, mereka tetap bekerja. Seringkali para porter ini hanya mendapatkan total penghasilan Rp10-20 ribu hanya dari upah 1-2 tangki. Dengan risiko didatangi Satpol PP yang razia di pusat parkir. Hasil inilah yang dibagi rata ke semua anggota, sekitar Rp1000-2000 rupiah.
“Mungkin dulu itu hanya uang jajan anak-anak, tapi sekarang nominal itu bisa membeli lauk, meski tahu tempe saja,” kata Aminah untuk menghemat pengeluaran.
Namun, ada yang tidak berubah dari kondisi pandemi ini, yaitu pengeluaran sebagai perempuan adat. Meski penghasilan jauh menurun, para ibu-ibu porter harus bersiasat menyisihkan untuk tetap memenuhi kewajibannya sebagai Hindu Bali.
“Meskipun Covid, mererainan (upacara agama) itu tetap. Kalau diperbolehkan upacara besar, ya pasti besar upacaranya,” kata Ni Luh Kadek, yang menjadi ketua srati (pembuat sesajen/banten) di Banjar Tulamben.
Dalam 12 bulan, Ni Luh Kadek melakukan upacara besar sedikitnya 6 kali (piodalan) di 6 pura. Belum termasuk hari raya besar seperti Galungan, Kuningan, dan Nyepi. Pengeluarannya pun beragam. Kalau persembahyangan di Pura Desa biasanya urunan dalam bentuk uang saja. Sedangkan untuk pura dadia (keluarga) Kadek dapat bagian mempersiapkan daging untuk sesajen. Seperti, ayam, bebek atau babi. Belum termasuk sesajen/banten yang disiapkan masing-masing pengempon pura (orang yang tergabung dalam pura dan bertanggungjawab atas pura tersebut).
Jika dihitung-hitung, dalam piodalan di satu pura dengan jenis upacara yang tidak besar, Kadek menghabiskan sekitar Rp200 ribu uang untuk urunan saja. Belum termasuk pengeluaran untuk membuat sarana prasarana yang disiapkan masing-masing dalam bentuk sesajen/pecanangan.
“Sampai sekarang pun masih. Hanya saja sekarang kan tidak boleh membuat upacara besar, jadi pengeluaran untuk urunan dan membuat sesajen dalam 1 upacara di 1 pura totalnya sekitar Rp300 ribu,” katanya.
Seperti satu tahun lalu (2020), ketika upacara Kesanga (upacara menjelang hari raya Nyepi) yang jatuh di Bulan Maret Ni Luh Kadek mengeluarkan dana Rp1.5 juta untuk upacara mecaru di rumahnya. Menurutnya, pengeluaran itu terhitung besar ketika kondisi pandemi. Meski pengeluaran banyak, ia ikhlas, karena dalam kepercayaannya, keyakinan dan pengorbanan disimbolkan dalam bentuk sesajen. “Kalau ada apa-apa seperti sakit begitu, kita juga yang susah,” sebutnya.
Melalui aktivitas adat dan agama, ia merasa bisa menjaga jalinan nyama braya (tali persaudaraan). Pengeluaran adat ia siasati dengan menyederhanakan sesajen yang dipakai. “Kalau ke pura tetap bawa banten yang isi pejati, sorohan dan lain-lain. Tapi buah-buahannya saya kurangi karena uang tidak ada, yang penting saya mebanten, ikhlas,” katanya.
Meski Pandemi, piodalan itu tetap ada. Menurut Kadek, persembahyangan menjadi bentuk doa ketika pandemi. “Cara mensiasati kondisinya sekarang, kalau purnama tilem pakai banten pecanangan saja di Pura Dalem-Puseh,” katanya.
Daya Adaptasi dari Erupsi hingga Pandemi
Kini, ketika level PPKM Bali diturunkan, seakan ada yang menyambung kehidupan di Tulamben. Setelah 2 tahun bertahan dengan tabungan yang kian menipis bahkan habis. Jika warga desa lain beralih ke pertanian untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, warga Tulamben mengaku kesulitan. Alasannya, tanah gersang dan kesulitan akses air
Ni Nengah Seniati, salah satu porter Tulamben ini memiliki kemahiran menganyam kerajinan ingka. Berbahan dasar lidi daun lontar, Nengah Seniati kerap membawa bahan menganyam sambil nongkrong di pos porter. Meski tak ada tamu yang menggunakan jasanya sebagai porter, Seniati bisa menggunakan waktunya untuk menganyam lidi daun lontar menjadi ingka. Ini adalah anyaman piring, biasanya digunakan untuk tempat makan saat ada kegiatan pernikahan atau upacara di Bali. Ingka dialasi daun atau kertas minyak, sehingga tak perlu mencuci piring.
Dulu, lidi daun lontar tak dimanfaatkan, hanya menjadi sampah atau sekadar kayu bakar. Namun kini, melalui kemampuan Seniati, 84 lidi daun lontar menjadi 1 buah piring anyaman yang dimanfaatkan untuk tempat makan atau jajanan menyambut tamu ketika upacara adat di Bali.
Krisis ekonomi seperti pandemi ini, bukan pertama kali dirasakan Seniati. Sebagai masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, erupsi Gunung Agung mengajarkannya untuk terus sigap bertahan menyambung hidup. Tahun 2017, pemasukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya tertolong dengan hasil anyaman ingka yang ia buat. Sehingga ketika pandemi mendera, ia tak berpikir panjang untuk menekuni kembali kemampuannya di bidang menganyam.
Ia belajar menganyam sejak remaja sebelum menikah, membuat ingka untuk dijual sejak Gunung Agung meletus tahun 2017. Sekarang ambil lagi karena pandemi, pariwisata kena imbas sehingga tamu sepi. “Waktu erupsi Gunung Agung, saya mengungsi dan membawa pekerjaan ini ke tempat mengungsi,” kenang perempuan muda.
Bahan bakunya ia dapatkan dari saudagar lontar Tulamben. Satu ikat besar lidi lontar biasanya dibeli Rp200 ribu. Setelah dianyam, menjadi 100 ingka ukuran besar (seukuran piring makan).
Namun, selama ini Seniati memasarkan karya tangannya ke pengepul desa lain dengan harga yang lebih murah dari harga pasar per biji, yakni Rp5000. Dengan bantuan suami, dalam 3 hari Seniati bisa menghasilkan 50 biji anyaman ingka.
“Anyaman ingka ini bisa jadi tambahan penghasilan di musim pandemi. Sebelum pandemi dan tamu sepi, kerja sebagai porter dari jam 7 pagi sampai setengah 4 sore. Sedangkan suami dulu kerja sebagai pemandu selam. Tapi sekarang bantu menganyam ini saja,” tutup perempuan berusia 21 tahun itu.
Sayangnya, buruh porter yang memiliki alternatif pekerjaan sangat sedikit karena tak banyak yang punya hobi dan keterampilan seperti Seniati. Mereka masih mengharapkan berkah laut yang membawa ratusan penyelam tiap hari ke desanya.