Isu perubahan iklim makin masif didengungkan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Misalnya, sejak tahun 2000-an Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menyatakan hutan Indonesia sudah rusak mencapai 3.4 juta hektare. Banyak faktor pemicunya. Salah satunya kebakaran hutan.
Hal ini turut direspon oleh lembaga survei Purpose Climate Lab untuk mengetahui mengenai persepsi publik di Indonesia terkait perubahan iklim. Melibatkan 2.073 orang Indonesia yang tersebar di seluruh daerah Indonesia. Yaitu, Jabodetabek, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Barat, Bali, Sumatera Utara, Sumatera Selatan , Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara.
Hasil survei dari 20.73 orang menyatakan 89% masyarakat Indonesia mengetahui tentang perubahan iklim. Survei membuktikan perihal perubahan iklim menjadi kekhawatiran di Bali, Jakarta dan Sumatera Selatan. Kekhawatiran ini dipicu akibat pengalaman terkena bencana. Michelle Winowatan dari Purpose membagi hasil survei ini pada BaleBengong.
Masyarakat Jakarta menjadi persentase tertinggi atas kekhawatiran persoalan ini. Sekitar 99% masyarakat Jakarta merasa khawatir terhadap perubahan iklim ini akibat pengalaman Jakarta yang sering terjadi banjir, polusi udara, dan musim hujan panjang.
Disusul Kalimantan Barat. Sebanyak 98% dipicu dari pengalaman bencana asap/kebakaran hutan, banjir. Selanjutnya persentase masyarakat Sumatera Utara sebanyak 95% akibat sering terjadi banjir, kekeringan, dan polusi udara.
Dari tiga daerah dengan persentase kekhawatiran tertinggi ini, ditemukan kondisi yang anomali dari persepsi masyarakat Bali. Masyarakat Bali merasa tidak memiliki banyak pengalaman bencana alam. Ditandai dengan persentase tingkat keseringan terjadinya bencana masuk dalam tanda hijau sebesar 64%. Pengalaman bencana menurut masyarakat di Bali adalah bencana pancaroba dan musim hujan yang panjang.
Persepsi pengalaman bencana bagi masyarakat di Bali ini menjadi temuan anomali. Karena di sisi lain memiliki kekhawatiran yang besar terhadap perubahan iklim. Meski merasa tidak banyak mengalami bencana, namun muncul kekhawatiran besar.
Bali mengalami sejumlah bencana rutin tahunan seperti longsor dan banjir. Salah satunya bencana banjir bandang di Jembrana beberapa tahun ini. Namun, kenapa kepekaan terkait bencana masih rendah?
Tak Mampu Banyak Bertindak untuk Perubahan Iklim
Masyarakat responden menyadari perubahan iklim dan bencana berdampak pada kesehatan fisik (54%) dan kesehatan mental (41%). Bagi masyarakat ada tiga kebijakan yang masuk dalam prioritas yaitu pendidikan (13%), kesehatan (12%) dan perlindungan lingkungan (12%).
Pendorong utama adanya kebijakan yang lebih baik untuk melindungi lingkungan generasi mendatang, keluarga dan kesehatan. Hasil survei menemukan bahwa masyarakat lebih percaya jika tanggung jawab atas perlindungan lingkungan digerakkan secara individu daripada pemerintah ataupun bisnis.
Masyarakat percaya jika Indonesia dapat mengambil aksi iklim tanpa harus menunggu negara lain (48%). Namun, persentase rasa tidak tahu atas pendapat ini juga besar sebanyak 13%. Hasil ini menjadi pertanyaan besar atas tindakan masyarakat Indonesia terhadap permasalahan iklim ini.
Meski memiliki keyakinan bahwa individu yang mengatasi persoalan perubahan iklim, pernyataan tak konsisten ditemukan Purpose dalam survei persepsi ini. Kebanyakan orang Indonesia memiliki motivasi, namun tidak banyak bertindak untuk persoalan iklim karena merasa tidak memiliki kemampuan dan kesempatan untuk bertindak.
Sebanyak 44% dari jawaban responden merasa secara psikologis tidak memiliki ilmu untuk bertindak. Sebanyak 39% menyatakan tidak tahu bagaimana caranya bertindak untuk menangani perubahan iklim yang terjadi di Indonesia. Sehingga secara emosional masyarakat Indonesia merasa tidak tepat melakukan tindakan. Hambatan paling umum ini secara ringkas akibat kurangnya pengetahuan, relevansi, dan ajakan untuk bertindak yang jelas tentang persoalan iklim. Namun, dari semua hambatan dan rasa pesimis, responden masih percaya pada sains yang menjadi udara segar untuk masa depan perubahan iklim.
Meski merasa percaya persoalan iklim harus diatasi oleh individu. Namun 53% jawaban responden mempercayai pemerintah daerah memiliki kekuatan untuk menyampaikan pesan tentang perubahan iklim kepada masyarakat. Dibandingkan isu ini disampaikan oleh Presiden, PBB, LSM, ilmuwan. media dan pemuka agama.
Sebesar 61% masyarakat percaya aktivitas manusia bertanggung jawab atas perubahan iklim. Namun, responden cenderung religius mempercayai bahwa ada peran Tuhan dalam bencana dan perubahan iklim. Alasannya, Tuhan memberikan amanah untuk manusia harus menjaga lingkungan. Jika terjadi bencana dipercayai bahwa itu adalah hukuman dari tuhan. Misalnya dalam Islam melalui Al-Qur’an dan Hadits diperintahkan untuk menjaga bumi dan tidak merusak. Termasuk juga perlakuan manusia terhadap hewan dan menghargai alam dipercaya sebagai kewajiban manusia Tuhan.