Topeng Bali umumnya dibuat dari kayu kenanga dan kayu pule. Proses pemahatan melalui tahapan yang tak lepas dari pakem terkait penggambaran sifat tokoh topeng yang dibuat. Perajin topeng dituntut memiliki keterampilan andal untuk menciptakan topeng yang bertaksu.
Keberadaan topeng Bali tak lepas dari sendratari topeng yang menjadi kebutuhan ritual upacara keagamaan. Cerita dalam sendratari biasanya diambil dari sejarah kerajaan, kisah legenda atau dari kitab Ramayana.
Pada pameran yang bertajuk Wana Jnana sejumlah 33 karya topeng bisa dilihat di Gedung Kriya Taman Budaya Bali, Denpasar. Pameran ini berlangsung dari tanggal 10 Juni sampai 10 Juli 2021. Karya topeng dari beberapa desa dan lapis generasi dapat dijumpai di sana.
Ajang ini terkait dengan agenda Bali Kandarupa, sebuah forum pameran seni rupa tradisional, bagian dari Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIII Tahun 2021. Di tengah berlangsungnya pameran di selenggarakan Kriyaloka (workshop) bermaterikan pembuatan topeng.
Jejak seni tari topeng sendiri dapat dilihat di sekitar abad ke-10 pada masa pemerintahan Raja Jaya Pangus.Tilasan ini tertera pada rampai prasasti Jaya Pangus yang merujuk pada adanya pementasan yang mengenakan penutup muka atau topeng. Pada prasasti Blantih (1059 Masehi) disebutkan juga bahwa topeng sudah dikenal dan banyak digunakan untuk pementasan.
Prasasti lainnya yaitu Ularan Plasraya menyebutkan saat pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460-1550) menaklukkan Kerajaan Blambangan, mereka membawa pulang beberapa barang rampasan yang salah satunya adalah satu peti topeng.
Tapak Lima
Ada beberapa topeng Bedahulu yang hadir di pameran ini. Masing-masing memiliki anatomi dan karakter wajah yang berbeda. Begitu pun pada topeng Anoman, Sugriwa, Barong Ket dan lainnya. Setiap seniman mempunyai karakter personal atau istilah lokalnya ‘tapak lima‘. Pewarnaan, pengisian ornamen dan aksesori menampakkan kecenderungan pola desain masing-masing.
Topeng Bedahulu merupakan personifikasi rupa Raja Sri Tapolung, raja Bali Kuno terakhir yang bertahta di kerajaan Bedahulu. Ada mitologi yang berkembang di masyarakat tentang raja Bedahulu berkepala babi. Garapan topeng ini bisa dilihat pada karya AA Gde Rai Widiadnyana dan I Ketut Mujarta.
Di antara beragam topeng, nampak rupa Sugriwa dan Hanoman yang diambil dari kisah Ramayana. I Kt Wirtawan dan I Made Regug menunjukkan kekriyaannya pada kreasi topeng Sugriwa sedangkan topeng Hanoman muncul dari hasil tatahan I Made Sama dan I Wayan Murdana.
Karakter kedua tokoh hadir memikat dengan garis ekspresi yang tegas. Pada bagian lain ada topeng Barong Lembu. Kesenian ini baru diciptakan pada tahun 2010, melengkapi khasanah barong Bali. Diwujudkannya berdasarkan inspirasi dari kisah Lembu Nandini, kendaraan Dewa Siwa.
I Nyoman Jaya menampilkan profil topeng Barong Lembu dengan apik. Didominasi warna putih, merah dan keemasan. Binatang surgawi ini merupakan simbol ibu pertiwi dan kesuburan, sebagai sumber kehidupan.
Barong Ket merupakan manifestasi ‘banaspati raja’, penguasa hutan berbentuk paduan antara singa, macan, sapi dan naga. Mitologi barong tertulis di lontar Barong Swari. Dikisahkan dalam lontar tersebut apabila malapetaka melanda kehidupan di bumi,
Dewa Tri Murti turun ke bumi dan menjelma menjadi beragam sosok. Dewa Brahma turun menjadi Topeng Bang. Dewa Wisnu turun menjadi Topeng Telek sedangkan Dewa Iswara turun menjadi Barong. I Kt Yuantina dan I Made Degus Armawan menggarap topeng Barong Ket dengan detail mengesankan. Struktur dan anatomi nyaris sempurna.
Ketut Yuantina memberi warna merah pada wajah barong sementara Degus Armawan memilih warna putih. Nampak sublim ketika berpadu dengan warna keemasan. Kedua topeng berhiaskan sekartaji yang terbuat dari ukiran kulit berlapis prada dan isian ornamen bertahtakan hiasan cermin kecil. Sekartaji ini memegahkan rupa muka sehingga nampak beraura.
Tarian Imaji
Di zaman prasejarah, pada masyarakat penganut animisme dan dinamisme di daerah pedalaman, seni tari topeng ini berfungsi sebagai penolak bala, mengusir penyakit, mendatangkan hujan dan lain sebagainya. Tinggalan kebudayaan ini sekali waktu masih kita jumpai di Bali pada tarian sakral seperti Tari Sang Hyang.
Barong Bangkal meliukkan tubuhnya, diiringi ‘gambelan batel bebarongan’. Kepalanya bergoyang-goyang ke samping, menunduk dan mendongak. Mulutnya mengentak membuka dan menutup menimbulkan bunyi ‘tak’ berpadu dengan suara tetabuhan.
Kakinya bergantian bergerak ritmis, maju-mundur. Kadang mengangkang, kembali menarik ke belakang. Berdiri menjengket dengan badan tegak dan kepala mendongak, terlihat seperti pada sikap ‘tari baris’.
“Tak! Tak! Tak! Tak!” Suara rentak dari mulut barong, berulang beradu dengan tabuh gamelan, rancak. Tubuhnya terus meliuk, kepala melenggok ke samping, mendongak. Kakinya bergerak ke kiri ke kanan, maju-mundur, menekuk dan mengentak. Kepalanya merunduk maju dan tiba-tiba tubuh itu melesat.
Topeng Barong Bangkal karya I Nyoman Sutama tampil dominan dengan warna hitam pada wajah dan merah pada moncong hidung juga di bibir. Alur-alur keemasan sebagai aksentuasi mengikuti struktur atau anatomi wajah. Di samping aksesori di dahi dan di atas alis, disematkan bulu-bulu menjurai di alis dan di kedua sisi hidung memberi kesan magis. Taring panjang menambah karakter garang. Sutama mewujudkan sekeping rupa mitologi.
Barong Bangkal adalah binatang mitologi, simbol dari pengejawantahan Dewa Wisnu yang turun ke bumi menjadi waraha (babi hutan) untuk membunuh raksasa Hiranyaksa. Barong Bangkal adalah barong jantan yang memiliki kekuatan magis dan ganas sedangkan barong betina disebut Barong Bangkung.
Sebagai binatang mitologi yang memiliki kekuatan baik, kedua barong ini dipakai ‘ngelawang’ sebagai ritual mengusir anasir jahat dan menyucikan lingkungan rumah maupun desa. Karya-karya topeng di ruang pamer ini merupakan representasi tokoh mitologi yang ada dalam sendratari dengan segenap karakternya.