Candu media sosial tak pernah kering dibahas. Namanya saja candu, karena membuat ketergantungan. Walau sudah tahu dampaknya, tapi enggan jauh darinya.
Ingatan ini hadir lagi saat penulis datang ke galeri Arma pada 10 November 2020. Di antara karya yang dipajang di situ ada dua karya yang menarik untuk diulas. Kedua Karya itu dibuat oleh satu orang seniman bernama Putu Dika Pratama. Judul dua karya itu adalah Bombardir. Ukuran panjang dan lebarnya 50 cm.
Karya dibuat dengan menggerakkan kuas dengan cat minyak di atas canvas. Dua Karya tersebut menggambarkan dampak media sosial di masyarakat dan dalam kehidupan kita sehari hari.
Pada karya Bombardir 1 menampilkan ilustrasi mahluk menyerupai manusia yang membawa pengeras suara berbentuk mulut manusia yang mengeluarkan air liur. Ekspresi wajahnya menampakkan kebuasan.
Di bawah pengeras suara terdapat awan berwarna kelabu dengan latar yang berwarna merah muda. Di tengah awan kelabu disisipi ikon media sosial Twitter. Dari karya ini dapat ditafsirkan media sosial itu memiliki sisi kelam dan terang. Awan kelabu melambangkan dampak buruk media sosial. Kita sering melihat kata kata kasar, kotor, dan provokatif yang menyebarkan kebencian, kekerasan, hingga ancaman pembunuhan.
Tak jarang dengan ketikan jari lewat HP dan komputer melalui media sosial, dapat memicu konflik di masyarakat. Atau pihak pihak yang tidak suka dengan apa yang seseorang tampilkan di media sosial dapat mengkriminalisasi. Ini berpotensi membungkam suara kritis.
Di sisi lain, media sosial itu dapat membuat seseorang beruruan dengan hukum melalui Undang-undang ITE yang berlaku. Kemudian, ketika seseorang menampilkan sesuatu di media sosial, hal yang ia tampilkan tersebut dapat tersebar dengan cepat ke mana-mana walaupun dia hanya ingin mengirimnya ke akun media sosial kalangan tertentu.
Kadang-kadang ini buat seseorang sulit bergerak di dunia digital. Privasi kita hampir tidak ada karena semuanya sudah terdata. Wajah, nama, nomor handphone yang terhubungan dengan nomor kartu identitas hingga alamat rumah. Semua aktivitas di media sosial terpantau. Lalu jika seseorang menuntut suatu pihak kepada polisi biasanya menggunakan tangkapan layar percakapan atau postingan dalam media sosial. Jadi dibalik kemudahan berkomunikasi banyak kerentanan juga.
Kemudian, kerentanan masyarakat untuk terpengaruh oleh pesan pesan media sosial ditentukan oleh daya kritisnya. Masyarakat Indonesia yang minat bacanya rendah sekali dan kemampuan literasinya menyedihkan rawan untuk percaya hingga terhasut dengan apa yang tampil di media sosial dari akun orang terkenal yang dia idolakan atau temannya.
Dia tidak mau mengecek dasar dari pernyataannya. Ini konsekuensi dari rendahnya minat baca sehingga masalah ini tidak dapat diremehkan. Lalu kebanyakan informasi di media sosial itu bersifat dangkal, dan karena dua masalah tadi, memperparah kedangkalan berpikir orang orang di Indonesia termasuk Bali. Ironi yang terjadi dalam masyarakat Indonesia dan Bali seperti yang ada pada lukisan ini menunjukkan kedangkalan dan minimnya daya analisis terhadap suatu informasi yang beredar di media sosial.
Lukisan Bombardir 2
Pada karya seni yang kedua, menampilkan seseorang yang bingung dan rumit akibat banyaknya bunyi notifikasi dari media sosial seperti Line, Whatsapp dan Messenger. Saat ini tempat kerja menggunakan tiga media sosial itu untuk berkomunikasi. Di sisi lain, sering terdengar kabar dari grup tempat kerja WA atau Line mengirimkan pesan jauh setelah selesai jam kerja.
Ini membuat orang jadi tidak tenang karena merasa terganggu dengan waktu istirahatnya. Dalam kasus tertentu, pihak majikan menyampaikan tugas yang harus dikerjakan di luar jam seharusnya untuk diselesaikan besok pagi lewat grup media sosial ini. Hak pekerja untuk beristirahat dan menenangkan diri terkuras untuk hal tersebut.
Seseorang yang terlalu aktif di media sosial akan menjadi rumit hingga berujung pada stress yang mempengaruhi kesehatan mental dan fisiknya. Biasanya orang orang ini mengidap apa yang disebut Fear of Missing Out (FOMO) yaitu ketakutan akan terlewatnya kabar dari media sosial. Padahal banyak hal di media sosial itu tak berhubungan dengan dirinya dan jika terlewatkan tidak berdampak apa-apa.
Media sosial dapat buat orang kecanduan seperti halnya video game. Orang yang mengalami hal tersebut, saat dia tidak mengakses media sosial kurang dari dua jam, dia akan merasa bermasalah hingga merasa tertekan karena tidak mendapatkan yang begitu dia inginkan.
Dia sampai lupa dengan tanggung jawab yang harus dia kerjakan. Saat berkendara, dia berpotensi membahayakan dirinya dan orang di sekitarnya karena terfokus pada media sosial di gadget. Bahkan ada kasus yang ekstrim orang sampai nekat melakukan tindakan di luar nalar yang dapat mengancam nyawanya.
Dari kedua karya seni di atas, seniman menunjukkan permasalahan akibat media sosial. Dalam menangani masalah ini, masyarakat harus kritis, dan meningkatkan minat baca. Dengan begitu memiliki analisis yang luas dan dalam terhadap muatan di media sosial.
Mengenai kasus di mana karyawan harus mengerjakan pekerjaan kantor di luar jam kerja sejak adanya internet dan media sosial, hendaknya manajer dan pemilik perusahaan sadar bahwa karyawan berhak atas waktu istirahat yang cukup demi kinerjanya di hari esok.
Media sosial memiliki sisi positif yang mana ketika digunakan dengan benar dapat memiliki dampak sosial yang luas. Seperti membagikan informasi mengenai ilmu pengetahuan, isu ekologi, dan sosial yang bertujuan membangkitkan kesadaran akan hal itu sehingga timbul kepedulian yang mana berpotensi membuat lingkungan lebih bersih dan lebih baik.
Dari media sosial seseorang dapat mendengar dan melihat ide-ide baru yang mungkin dapat bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya. Seorang seniman dapat menginformasikan kepada khalayak mengenai acara pameran seni untuk meramaikan acara dimana penulis hadir ke acara tersebut.
Kedua karya tersebut dipamerkan di Bali Megarupa mengambil tema Candika Jiwa: Melampaui Medium, Ruang dan Waktu. Pameran ini diselenggarakan di Museum Arma yang berlokasi di Ubud, Gianyar, Bali pada 28 Oktober 2020, dibuka oleh Gubernur Bali Wayan Koster dan ditutup pada 10 November 2020. Pada acara penutupan diadakan webminar Bali Megarupa yang pesertanya antara lain Agug Gede Rai sebagai pendiri museum, I Wayan Adnyana, Kepala Dinas Kebudayaan Bali, Jean Couteau kurator seni, dan Warih Wisatsana yang mengatur jalannya webinar.