Oleh I Putu Juniawan dan I Kadek Andriasa Sastrawijaya
Kintamani khususnya Desa Mengani dikenal sebagai desa yang didominasi petani kopi.
Salah satu petani kopi Desa Mengani adalah Sang Ketut Yadnya. Lelaki berumur hampir paruh baya ini terinspirasi mengembangkan usaha pembibitan kopi Arabika karena keinginan keluarga mendapatkan bibit kopi unggul. Keinginan awalnya, bibit unggul ini akan ditanam di ladang keluarga.
Respon baik menyambut keinginan keluarga Ketut Yadnya. Banyak pesanan justru datang dari luar keluarga. Akhirnya usaha ini terus dikembangkan oleh Sang Ketut Yadnya bersama kakaknya, Sang Made Arka.
Ia menegaskan usaha ini adalah bentuk pelestarian kopi Arabika. Usaha ini sudah ditekuninya selama satu tahun. Dalam proses pembibitan, Sang Ketut Yadnya dan Sang Made Arka saling berkolaborasi untuk menghasilkan bibit yang unggul.
Lebih lanjut dijelaskan, Kopi Arabika dipilih untuk dikembangkan karena temperatur serta kondisi geografis Desa Mengani yang cocok kopi jenis Arabika. “Saya memilih bibit kopi Arabika karena bibitnya memang unggul serta hasil kopi yang dihasilkan sangat lebat dan banyak daripada kopi yang lain, dengan itulah saya memilih bibit kopi Arabika,“ tuturnya, Minggu (27/02/2021) pada peserta Kelas Jurnalisme Warga BaleBengong.
Sang Ketut Yadnya menerangkan, proses pembudidayaan kopi Arabika ini gampang-gampang susah. Untuk memulai harus menyiapkan modal yang cukup serta bibit (buah kopi) yang unggul. Selain itu, persiapan tempat dan teknik pembibitan juga menjadi hal penting untuk diperhatikan. Dengan kondisi daerah Kintamani yang berpenghujan, sangat mempengaruhi kualitas bibit kopi yang dihasilkan.
“Sebenarnya cara membuat usaha pembibitan kopi yang benar adalah memilih tempat yang sesuai dengan kondisi geografis, seperti dekat jalan dan lainnya. Selain itu pemilihan biji kopi juga penting, jangan mencari bibit asal-asalan. Kemudian langkah pembibitan juga harus diperhatikan,” jelas Sang Ketut Yadnya.
Cara pembibitan kopi Arabika diawali dengan pemilihan biji kopi yang berkualitas bagus. “Cara mengetahuinya dengan melihat jumlah biji dalamnya berjumlah dua biji. Berbiji dua ini nantinya akan menghasilkan bibit yang baik,” ujarnya.
Setelah pemilihan biji kopi yang unggul, Ketut Yadnya menjelaskan proses selanjutnya dalam pembibitan. “Setelah memilih bibit yang unggul, tahap kedua adalah membelah biji kopi yang selanjutnya akan direndam dan dicuci,” kata Sang Ketut Yadnya.
Setelah itu dikeringkan tapi tidak terlalu kering atau istilahnya labu. Kemudian penyemaian biji kopi ditempatkan pada tempat yang telah dibuat. Menyemai biji kopi itu sampai tumbuh dan berdaun dua. Setelah berdaun dua, bibit dipindahkan ke plastik polybag yang telah berisi pupuk. Proses terakhir adalah pemeliharaan bibit sampai proses penjualan.
Bibit kopi yang dihasilkan Sang Ketut Yadnya dijual sebesar Rp 2000 per batang. Harga tersebut didapatkan dengan menghitung biaya yang dikeluarkan dan sesuai kualitasnya. Bibitnya sudah banyak dibeli oleh masyarakat desa dan masyarakat luar desa Mengani.
“Saya sudah dua kali membeli bibit di sini, bibit yang dihasilkan sangat berkualitas serta harga yang diberikan sesuai dengan kualitas yang dihasilkan. Selain itu di sini merupakan pusat bibit kopi Arabika Desa Mengani,” tegas Made Teken, Desa Satra (56 tahun) salah satu pelanggan.
Namun persoalannya sekarang, kata Sang Ketut Yadnya, adanya pandemi Covid-19 yang melanda Bali bahkan dunia sangat mempengaruhi eksistensi kopi Bali khususnya Arabika ini. Pandemi menyebabkan hilangnya wisatawan yang datang ke Bali, khusus wisatawan yang ingin mencari kopi khas Bali khususnya Arabika.
Tantangan tersebut tidak membuat Sang Made Arka patah semangat untuk tetap melestarikan kopi Arabika. Ia mengharapkan agar generasi muda desa Mengani bisa menjadi generasi pelestari kekayaan alam yang melimpah ini. “Harapan saya, semoga apa yang saya geluti bisa dikembangkan oleh generasi muda Mengani, dan bisa menyebarluaskan bibit-bibit kopi Mengani sehingga tertanam di desa lainnya” ujar Sang Ketut Yadnya.