Oleh Nurafida Kemala Hapsari
Sosialisasi dan pelatihan soal bahasa isyarat dan budaya Tuli ini masih kurang.
Di tengah perkembangan berbagai teknologi yang dapat memudahkan urusan hidup manusia, nampaknya orang Tuli, utamanya yang berada di pelosok daerah Indonesia, masih harus berjuang untuk mendapatkan haknya. Setidaknya itulah yang dirasakan Ade Wirawan, seorang aktivis Tuli sekaligus pendiri Bali Deaf Community.
Perhatian masyarakat dan pemerintah terhadap aksesibilitas orang Tuli masih sangat minim, bahkan cenderung abai. Padahal Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali sendiri telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) no. 9 tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Namun, dalam praktiknya banyak poin yang masih absen ataupun tidak diterapkan dengan baik, khususnya bagi orang Tuli. Salah satunya keterbatasan penggunaan bahasa isyarat dalam ruang publik.
Menurut Ade, sumber daya manusia untuk juru bahasa isyarat di Indonesia sangatlah sedikit. Belum banyak masyarakat yang benar-benar berminat untuk mempelajari bahasa isyarat. “Sosialisasi dan pelatihan soal bahasa isyarat dan budaya Tuli ini masih kurang,” ujar Ade lewat juru bahasa isyaratnya, Satyawati dan Ranum Dara Valentin, dalam Short Film Market MFW6 Talks bertajuk “Film, Orang Tuli, dan Bahasa Isyarat” di MASH Denpasar, Sabtu (5/9) lalu.
Ade tentunya tidak tinggal diam dengan keadaan tersebut. Tak hentinya ia menyampaikan aspirasi dan keresahannya ke instansi-instansi publik dalam perannya sebagai aktivis Tuli yang juga bergabung sebagai Humas di Gerakan untuk Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (GERKATIN) Bidang Kepemudaan, serta sekretaris GERKATIN Bali. Harapannya sangat jelas, yakni kesadaran pemerintah akan penyediaan akses di ruang publik serta penyetaraan kesempatan bagi orang Tuli.
“Sebab itu adalah hak kami orang Tuli yang juga tercantum dalam Undang-Undang dan Perda,” tegas Ade.
Memang, beberapa media televisi nasional dan instansi pemerintahan pusat belakangan ini telah menyediakan penerjemah bahasa isyarat dalam menyampaikan informasi kepada orang Tuli. Terutama di tengah merebaknya pandemi COVID-19 yang mana segala informasinya wajib diketahui oleh seluruh lapisan masyarakat. Namun, dalam praktiknya tersebut timbul permasalahan baru yang dirasakan orang Tuli.
“Masih ada penerjemah media dan instansi yang menggunakan Sistem Bahasa Isyarat Indonesia (SIBI) dalam penyampaiannya. Padahal yang lazim kami gunakan adalah Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Keduanya sangat berbeda secara konsep. SIBI sangat mengikuti tata bahasa lisan Indonesia, sementara BISINDO lebih alami. Banyak kawan-kawan Tuli yang tidak terlalu memahami SIBI,” ungkap Ade.
Adanya ragam bahasa isyarat yang digunakan orang Tuli sekaligus menunjukkan eksistensi budaya Tuli yang memiliki makna berbeda dengan tunarungu. Ade menjelaskan, tunarungu adalah istilah medis untuk menggambarkan keterbatasan fungsi, sementara Tuli adalah sebuah identitas budaya yang mengacu pada kelompok minoritas linguistik.
“Jadi masih salah kaprah jika menganggap tunarungu adalah ‘bahasa halus’ dari Tuli. Justru orang Tuli lebih nyaman dengan istilah Tuli itu sendiri. Ada identitasnya,” kata Ade.
Selain bahasa isyarat, ketersediaan teks dalam layar juga dibutuhkan orang Tuli untuk dapat memahami konteks pembicaraan. Contohnya, saat menonton film. Ade mengatakan, di Indonesia masih sangat sedikit yang menyertakan teks bahasa Indonesia dalam penayangan filmnya. Sementara orang Tuli tidak sepenuhnya dapat membaca gerak bibir dari para aktor di layar.
“Kalau film luar yang masuk Indonesia tentu sudah tersedia teks terjemahan dalam bahasa Indonesia. Tapi film-film Indonesia sendiri sangat jarang ada yang menyertakan teks. Jadi kami banyak melewatkan pemutaran film-film Indonesia yang bagus di bioskop karena ketiadaan teks tersebut,” ujarnya.
Untuk itu, Ade mengaku senang adanya Minikino Film Week 6, Bali International Short Film Festival yang menyediakan teks bahasa Indonesia dalam seluruh penayangan film pendeknya serta menghadirkan juru bahasa isyarat dalam setiap sesi talks dan forum sehingga orang Tuli dapat ikut menikmati film pendek dan rangkaian acaranya.
Di penghujung sesi talks, Ade menyampaikan mimpinya untuk Bali dan Indonesia yang makin ramah untuk orang Tuli. Ia berharap orang-orang dengar juga belajar bahasa isyarat sehingga dapat tercipta sinergi yang baik antar kedua belah pihak. Hingga saat ini, meski Ade telah gencar menyuarakan aspirasinya ke pemerintah, tetapi ia masih sering terhambat birokrasi yang berbelit.
“Kesadaran budaya tuli ini harus terintegrasi dengan seluruh komponen pemerintah dan masyarakat. Jalannya masih sulit dan akan lama untuk mewujudkannya. Tapi ya harus sabar dan tidak berhenti menyuarakan,” tandas Ade. [b]