Definisi kata perempuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sungguh menyedihkan.
perempuan/pe·rem·pu·an/ n 1 orang (manusia) yang mempunyai puki, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan menyusui; wanita; 2 istri; bini: — nya sedang hamil; 3 betina (khusus untuk hewan);bunyi — di air, pb ramai (gaduh sekali);
— geladak pelacur;
— jahat 1 perempuan yang buruk kelakuannya (suka menipu dan sebagainya); 2 perempuan nakal;
— jalan pelacur;
— jalang 1 perempuan yang nakal dan liar yang suka melacurkan diri; 2 pelacur; wanita tuna susila; — jangak perempuan cabul (buruk kelakuannya);
— lacur pelacur; wanita tuna susila;
— lecah pelacur;
— nakal perempuan (wanita) tuna susila; pelacur; sundal;
— simpanan istri gelap;
Tak sulit membantahnya atau mengajukan fakta-fakta melawan diskriminasi dan domestifikasi pemaknan kata “perempuan” dari sebuah kitab panduan bahasa kita, bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Ini adalah cerita 8 perempuan yang sedang berjuang membebaskan diri dan keluarganya dari gangguan kejiwaan. Apakah mereka sesuai dengan deskripsi “perempuan” di atas?
Pada Februari lalu, kami akhirnya menelpon dan menunggu Nyoman Sudiasa, Koordinator Rumah Berdaya untuk menunjukkan rumah dua perempuan muda yang kesulitan akses layanan psikososial. Sudah berupaya mengikuti petunjuk lisan dari Sudiasa namun tak berhasil.
Rumah tujuan pertama ada di gang sempit yang hanya bisa dilalui sepeda motor di kawasan Denpasar Selatan. Dua perempuan terlihat keluar rumah dan kami bisa mengenali salah satunya setelah perjumpaan pertama di Kelas Jurnalisme Warga: Ekspresi ODGJ pada 7 Februari 2020 di Rumah Berdaya.
Wayan tersenyum menyambut. Sangat senang ia masih mengenali kami. Di sampingnya, kakak perempuan yang menjaganya di rumah. Seorang perempuan remaja tiba-tiba lewat membawa barang belanjaan. Melihat wajahnya, saya langsung ingat cerita testimoni Wayan. Saya menebak itu anaknya.
Kakaknya mengonfirmasi itu memang anak perempuan Wayan. Bayi dalam kandungannya yang sudah ditinggalkan bapaknya. Barangkali ini pemicu depresi sang ibu. Bayi itu kini sudah jadi gadis SMA yang disebut sangat rajin, di sekolah dan di rumah. Membantu sang nenek yang bekerja membuat banten (sesajen).
Saya dan dua teman relawan fotografer dipersilakan masuk. “Itu pohon jambunya,” Wayan menunjuk halaman rumahnya yang rindang dengan pohon jambu, tapi saat itu belum berbuah. Ketika perjumpaan pertama, ia menjanjikan akan memetikkan jambu jika bertandang ke rumahnya.
Wayan lebih banyak diam ketika kakaknya bercerita mengenai masa lalu. Ia ditinggal pasangan yang menghamilinya.
Waktu saya hamil, ibu dan bapak saya masih hidup. Sampai saya melahirkan pun juga masih hidup. Ketika anak saya sudah kelas 4 atau 5 SD, ibu saya meninggal duluan. Ketika itu, saya sudah mulai berobat ke rumah sakit jiwa di Bangli, adik yang antar saya ke sana. Saya diajak ke sana biar tidak diam dan duduk di jalanan, biar nggak telanjang atau cuma pakai kain aja di jalanan. Saat itu, saya dicari oleh adik saya ke Bangli, diberi tahu kalau ibu meninggal. Saya enggak datang ke upacara pengabenan dan penguburan ibu karena saya masih tinggal di Bangli.
Adik saya yang mengurus anak ketika saya suka diam di jalanan. Ketika itu anak saya sudah kelas 6 SD. Saya enggak tahu kalau saya dapat tinggal di jalanan. Selama di Bangli, saya dapat disuntik. Setelah pulang dari Bangli, tahun 2016, saat itu obat saya habis dan kepala saya jadi sering pusing, sampai tidak bisa bangun dan tidak bisa makan. Adik saya memberi mie, tapi saya juga enggak bisa makan. Sampai malam saya tidak makan, besok harinya juga tidak makan. Saya tidak bisa bangun, akhirnya disuntik kembali. Setiap minggu saya disuntik di Puskesmas dan langsung jadi sadar. Dokter Puskesmasnya memberi saran, “coba bekerja di Rumah Berdaya.”
Namun saat ini ia tak bisa tiap hari ke Rumah Berdaya, sebuah komunitas yang didirikan Kelompok Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) Bali. Wayan tak mampu mengendari motor sendiri, kondisinya belum stabil, dan tidak ada yang bisa antar jemput tiap hari.
Padahal ia mengaku senang bisa sibuk karena ia juga perlu penghasilan. Hidup ditemani kakak tak berarti diam tanpa berusaha kontribusi pada kebutuhan sehari-hari. “Wayan pernah jualan ceper (anyaman janur untuk sesajen) banyak yang kasihan sama dia,” lanjut sang kakak.
Wayan juga bilang Ia mau ke Rumah Berdaya kalau ada yang antar jemput. “Saya bisa jahit mote, tapi yang gampang-gampang,” urainya.
Berikutnya adalah kunjungan ke rumah Made. Perempuan muda yang sangat disayang orang tuanya. Terbukti ketika awal-awal merasakan gejala depresi, bapaknya, seorang buruh bangunan segera bertanya ke kepala banjar dan mengurus surat rujukan.
Selama perbincangan, ibunya juga tak pernah lepas menatap Made dengan sayang. Ia bergidik mengingat pengalaman traumatis Made saat diobati di balian. “Masak kakinya dibakar? Sampai lama berobat biar sembuh kakinya kembung,” sesalnya.
Made masih ingat jelas, awal ia terdeteksi sebagai ODS ketika tahun 2014. “Seingat saya teriak-teriak, tapi saya sadar.” Mendapati anaknya berteriak tiba-tiba, orangtua Made mengajaknya berobat ke balian (non medis). Di Balian sering diajak melukat. Pernah diajak ke tiga balian. “Nggak ngerti saya waktu di balian, bahasa halus soalnya dipake.”
Saking seringnya ke balian, Made meminta agar berhenti diajak ke balian. Merasa bosan karena tidak ada pemulihan apapun. “Masak di balian, punggung saya ditepuk-tepuk, terus kalau berobat disuruh buka baju, kakinya ditusuk pakai seperti pensil gitu. Gak mau lagi saya diajak ke balian”
Penolakan Made Wartini akhirnya dikabulkan orangtuanya. Ditambah dengan rujukan dari kepala lingkungan tempat ia tinggal untuk berobat ke Rumah Sakit Wangaya. “Kepala Lingkungan tahu saya perlu berobat, makanya dikasi tau ke Rumah Sakit Wangaya.”
Lalu Made memulai pengobatan medis di Rumah Sakit Wangaya. Di tengah proses pengobatan di RS Wangaya, Made dirujuk ke dokter Rai. Selama berobat di RS Wangaya, pembiayaan pengobatan menggunakan tanggungan dari JKBM. Selama berobat di RS Wangaya, Made mendapatkan dua jenis pil yang harus diminum setiap hari. Ia merasa sejak mendapatkan pengobatan rutin, kondisi dirinya menjadi lebih baik.
Namun, setelah JKBM tidak berlaku, Made tidak mampu membeli obat dan hanya melanjutkan pengobatannya di Puskesmas. “Ada pihak puskesmas yang datang ke rumah.” Selama mendapatkan home service dari puskesmas, Made biasanya disuntik dan mendapatkan obat saja. Hingga dirujuk untuk bergabung di Rumah Berdaya oleh Dokter Rai.
Tahun 2017, Made mulai ke Rumah Berdaya, berselang rutin selama tiga bulan, ia memutuskan jarang datang. Persoalannya setiap ke Rumah Berdaya ia harus selalu diantar orangtua. Kesulitan antar jemput ini membuatnya terhenti mendapat layanan psikososial di sana.
Dua tahun setelah jarang ke Rumah Berdaya, Made rutin setiap bulan berobat ke puskesmas dekat tempat tinggalnya. Hingga saat ini akhirnya memilih untuk berobat ke puskesmas setiap satu bulan sekali. Kendalanya pun masih sama. Setiap berobat ia harus diantar oleh orangtuanya. Di umurnya yang akan menginjak 28 tahun, Made masih merasa enggan untuk keluar sendiri. “Males kalo sendiri, ngga berani. Nanti saya lupa jalan pulang ke rumah.”
==
Selain jadi penyintas, kisah dan pengalaman pendamping ODS juga memberi sudut pandang penting untuk memahami proses pemulihan. Misalnya Sri, seorang pekerja di usaha jahit ini. Berikut testimoninya.
“Saya seorang ibu rumah tangga dan suami mengalami gangguan jiwa (ODS) pada tahun 2001. Saya ajak berobat ke RS Jiwa Bangli, di sana dirawat 7 hari dan sudah diperbolehkan pulang. Menjalani perawatan di rumah sungguh sangat menyita perhatian keluarga.
Saya dan mereka selalu menguatkan saya agar tetap menemani suami dan selalu bersabar sampai pernah ingin saya pergi dan tak sanggup lagi. Untung semua pihak, keluarga mendukung saya dalam menjalani semua ini. Karena waktu sangat singkat saya cukupkan dulu cerita ini. Mungkin nanti saya akan memulai lebih panjang lagi cerita saya dan akan saya kirimkan ke ibu.
Ibu di rumah kerja merawat orang tua. Saya jarit, ambil jaritan. Pak Nyoman sudah bisa tidak seperti orang sakit. Dulu sama dengan ibu. Sudah ngemong anak, nyari kerja, untuk beli obat 500 ribu itu berapa uangnya? Sekarang lebih murah. Saya bersyukur, sudah terbayar pengorbanan saya.
Bener menderita sekali punya orang sakit, kadang diolok orang. Kaya kamu yang penting minum obat teratur. ODS di RB saya doakan bisa stabil, kerja. Bujang dapat jodoh biar bisa menikah. Harapannya yang belum punya pasangan bisa punya.
Saya diomongin orang, sabar aja. Jangan terlalu mengeluh, orang lain tidak ngerasain. Kalau dia sakit keras kan di kampung, semua bilang jangan ditinggalin bu. Ajak dia, keluarga saya sendiri pesen. Jangan ditinggal, bila perlu dianter. Saudara menghina, tidak usah diajak kesana kesini, dipasung saja. Ajak ke RS Bangli. Saya mengikuti menyarankan lebih banyak menjalani pengobatan daripada dipasung. Saya berdua menunggu sama anak 2 tahun, ada keluarga baik yang menampung saya menanggung namanya Pak Kadek. Pas jenguk saya diantar.
==
Pendamping lainnya adalah Sulandari. Ibu yang ramah tapi keteguhannya bak batu karang.
Saya ibu rumah tangga yang telah lama merawat anak saya yang gangguan kejiwaan. Anak saya mengalami sakit dari tahun 2010 selama kurang lebih 5 tahun berobat ke dokter psikiater tetapi hasilnya kurang memuaskan. Setelah anak saya masuk ke RB saya sangat beryukur sekali. Di RB ada kegiatan yang positif. Saya sangat berterima kasih sekali kepada dokter Rai dan bapak Nyoman yang telah membimbing anak saya.
Tahun 2010 Indra itu mulai sakit, dia tidur di kamar sebelah sama temannya tiba-tiba kepalanya digedor-gedorkan. Tensinya tinggi trus dia marah-marah. Dari 2010 sampai tiga tahun saya ajak Indra berobat magic terus. Semua orang ngasi tau bawa ke sana, bawa ke sini, semua saya ikutin. Ke Balian juga udah saya bawa, tapi hasilnya juga ga memuaskan.
Sampai saya lupa dengan agama saya, lupa dengan pengobatan medis. Trus saya ditelpon sama temen saya, disarankan coba dibawa ke psikiater, di gereja ada dokter psikiater, ada dokter internasional. Kadang dokter itu jarang praktik, kalau sabtu-minggu tutup. Kadang hari libur keluar negeri kunjungan kan. Pengobatan dokter itu bagus. saya mulai bingung waktu itu. Berjalannya waktu, itu udah tahun 2017 masih masa pengobatan di psikiater dari tahun 2015.
Dari tahun 2010 mengetahui Indra sakit, selama 5 tahun berobat ke balian, saya udah bingung, kadang ada yang bagus baliannya. sekitar tahun 2013/2012, nemu berita katanya ada psikiater. Nah dari tahun 2017, anak saya kenalan sama anak Surabaya. Dia ngamuk di kos, semua barang-barang dilempar. trus dibawa ke kepolisian, ditahan selama 5 hari. Polisi akhirnya nelfon, minta biar saya menjemput anak saya karena di kantor polisi banyak orang. Sama polisi saya dikasi alamat untuk ke Dinsos. Di Dinsos saya ketemu sama bapak-bapak, saya bicarakan apa adanya, lalu disarankan ke rumah berdaya, dinsos ngasi alamatnya.
Saya cari-cari rumah berdaya sama anak perempuan saya, ketemu sama Pak Nyoman. Rumah berdaya wktu itumasih di Hayam Wuruk. Saya tanya apa syaratnya, ternyata hanya BPJS. Padahal selama pengobatan sebelum ke RB ini, saya bayar obatnya per butir 50 ribu. Saya sudah kalang kabut waktu itu, akhirnya waktu dia ngamuk dikasi obat yang murah, kayaknya harganya paling 25 ribu, akhirnya lama-lama dokternya sering ngga praktek.
Habis itu saya mikir harus kemana, trus Indra ngamuk macem-macem. Saya suda tidak tenang. Tapi semenjak di Rumah Bedaya, saya sangat berterimakasih, Indra ngga keluar rumah, lebih banyak di rumah. Selain pengobatan, mungkin pengaruh lingkungan juga. Waktu dia di kos itu ka nada orang Madura, dia suka ngejek dan dendam waktu itu jadi pelampiasan dia ngamuk di kos-kosan itu. Dengan adanya anak saya yang sakit gini, kayaknya di ngga terima.
Indra udah bisa nerima omongan saya, kalau sebelumnya pasti marah. Kalau di Rumah berdaya mungkin enak dia Indra suka ada temennya, akrab. Dia paling seneng cuci motor, bungkus-bungkus dupa, nyablon kaos, di sana kan ada kegiatan positif.
Mendengar juga Menyembuhkan
Saya beruntung sekali bersua delapan perempuan yang berjuang menghadapi tantangan kejiwaan dua bulan ini. Bertemu dan mendengarkan cerita mereka.
Pengalaman ini kembali mengingatkan, seberapa berani menaruh harapan, menggantungkan asa? Pada kondisi paling membuat tertekan, menyerah, dan rasanya lebih enak jika tidak peduli?
Delapan perempuan mengguyur saya dengan cerita bahwa harapan itu adalah obat. Saat ini pun mereka masih berjuang untuk mewujudkan harapan itu.
“Orang yang tidak pernah merawat dan mengalamin enak, oh tidak usah dituruti kalau suami kita marah-marah. Saya pernah ingin mati duluan, tapi ingat nasihat orang tua saya yang sudah meninggal. Kalau bisa jangan ikut sakit. Ke depan pasti ada hikmahnya, belajar bersabar.” (Ibu Nyoman)
“Dipegang kaki dan tangan, diikat. Saya yang megang anak karena dia ngamuk-ngamuk. Orang depresi diobatin dengan cara gitu. Ternyata diginiin, dibilang ini penyakit non medis. Dibilang penyakitnya keluar, makanya anak saya teriak-teriak, itu dipakai contoh, anak saya dipukul biar penyakitnya keluar.” (Ibu Kadek)
“Di sekolah, anak saya sempat dibilang letoy, ngga perkasa, jadi laki-laki lembek banget. Sering dipukul sama teman-temannya. Sampai dia pernah minta dipindahin sekolah. Sering seperti itu dulu. Kemudian saya bilang semua sekolah sama aja, yang penting cara ngatasinnya. Kalau digituin orang, ya balas lagi. Kalau saya kan gitu. Dia kan cuma ditahan di dalam hati, itu yang bikin dia kesal. (Ibu Ema)
“Ia tidur di kamar sebelah sama temannya, tiba-tiba kepalanya digedor-gedorkan. Tensinya tinggi trus dia marah-marah. Dari 2010 sampai tiga tahun saya ajak berobat magic terus. Semua orang ngasi tau bawa ke sana, bawa ke sini, semua saya ikutin. Ke Balian juga udah saya bawa, tapi hasilnya juga gak memuaskan. Sampai saya lupa dengan agama saya, lupa dengan pengobatan medis.” (Ibu Indra)
“Saya mulai sakit tahun 2014. Saya diajak ke balian dan saya berobat ke Wangaya. Di rumah saya bersih-bersih, mebanten, bikin canang untuk di rumah. Saya tidak bekerja. Saya ingin bekerja tapi tidak kuat kerja. Saya sekarang berobat ke Puskesmas, disuntik dan diberi obat. Obatnya 2 macam. Semoga saya selalu sehat dan keluarga saya sehat. Semoga rejeki saya dan keluarga makin membaik. Pekerjaan ibu saya tukang cat, pekerjaan bapak saya buruh bangunan.” (Made)
“Saya ditinggal pas masih belum gede perutnya. Ngomong mau nikah, langsung gak karuan, dia kabur, mungkin ke rumahnya. Ada yang nyuruh uyah jak seprit gen minum. Kayang jani sing taen delokne panakne sube kelih.” (Wayan)
“2014 rasanya saya nikah. Ndak tahu saya, tiba-tiba di rumah kampungnya. Saya dipayasin, saya nangis. Dia tak datang lagi, saya ditaruh di rumah kakaknya. Hamil lalu keguguran, tapi belum nganten.” (Koming)
Dari potongan cerita mereka, dirangkum dari buku tulis yang dibekali dan obrolan tatap muka, ada sejumlah fakta-fakta yang tak bisa dibantah. Gangguan kejiawaan itu dipantik dari peristiwa-peristiwa yang mengguncang. Ada yang berhasil melaluinya, ada yang akhirnya membuat gangguan di otak.
Untuk menghadapinya bukan hal mudah. Biasanya didiamkan saja beberapa lama, bisa beberapa tahun karena merasa itu bisa hilang begitu saja. Luka-luka seolah akan menguap sendiri. Namun, akhirnya ada gejala lain yang tak bisa dielakkan. Marah-marah, ngamuk, buka baju dan lari ke jalan, berteriak seolah ada seseorang yang menyerang, dan lainnya.
Saya tidak bisa menyimpulkan mana gangguan kejiwaan berat dan mana ringan. Namun satu hal yang saya yakini, saya pernah mengalaminya.
Ketika baru punya anak pertama, saya berteriak dan menangis tersedu kalau saya tak mungkin bisa mengasuh anak ini. Saya mengacuhkannya selama beberapa jam, tidak mau menyusuinya. Suami bingung dan kelabakan. Konon ini baby blues syndrome, saya tahu setelah beberapa tahun kemudian. Namun saya yakin ada sesuatu di bawah alam sadar yang memicu hal ini.
Di peristiwa lainnya, saya juga mengalami masa-masa yang tidak ingin melakukan apapun, iri pada orang lain, dan cuek pada sekitarnya.
Namun, masa-masa kelabakan dialami delapan perempuan itu selama beberapa tahun. Saya tak bisa membayangkan jika mereka menyerah dan cuek pada anggota keluarganya yang mengalami peristiwa yang memompa adrenalin tiap hari. Satu yang pasti, mereka masih punya harapan.
Mereka Berjuang Pulih dengan Bekal Ini
Jumlah pengidap gangguan kejiwaan laki-laki dan perempuan tak beda jauh. Tapi kenapa tak banyak perempuan yang bisa mengakses layanan psikososial? Hal ini dipaparkan dalam pertemuan awal yang sudah dipaparkan di tulisan pertama ini.
Peran penting perempuan lainnya adalah, sebagai pendamping penyintas ODGJ, mereka melakukannya dengan kesabaran termasuk di Rumah Berdaya-KPSI Bali.
Dari serangkaian kegiatan #KamiBersuaraKamiMendengar ini, terangkum sejumlah pembelajaran dari kisah-kisah perempuan ini, baik sebagai penyintas dan pendamping.
1. Mencoba berbagai cara pemulihan dan pengobatan, seperti akupunktur dan balian. Namun yang akhirnya berperan penting adalah pengobatan medis seperti psikiater dan terapi psikososial.
2. Pertemuan dengan sesama penyintas perempuan dan keluarga memberikan semangat dalam melanjutkan pemulihan, terutama dalam kondisi letih.
3. Dukungan dari keluarga terus menerus, mendampingi konsisten minum obat, mengambilkan obat di klinik atau rumah sakit langganan.
4. Mengikuti sesi psikososial di klinik atau komunitas penyintas seperti Rumah Berdaya-KPSI Bali.
5. Diajak berkarya atau bekerja sesuai hobi, di rumah atau komunitas.
Karya kolaboratif relawan #KabiBersuaraKamiMendengar, video oleh Prema Ananda, Foto-foto oleh Prema Ananda, Gus Agung, Teja Artawan.
sudiasanyoman04@gmail.com