Teks dan Foto Anton Muhajir
Bersama satu temannya, Tri Elida Wulansari, 18 tahun, berjalan kaki mengelilingi Lapangan Puputan Margarana Renon Denpasar, Minggu pagi lalu. Mahasiswa Fakultas Pertanian (FP) Universitas Udayana Bali ini membawa lingkaran dari kardus bekas. Kardus berbentuk bulat itu berwarna hitam gelap dengan tiga garis putih membentuk bibir tersenyum dan mata, ikon gerakan World Silent Day (WSD) atau Hari Hening Sedunia.
Ide tentang WSD muncul pertama kali dari Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim (KBPI). Kolaborasi yang terdiri dari beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Bali seperti Yayasan Wisnu, Bali Organic Association, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali, dan Walhi Bali ini mulai mengenalkan ide WSD pada saat pertemuan PBB tentang perubahan iklim di Bali 2007 lalu. Setelah itu, ide tentang WSD pun terus bergulir.
Merujuk pada namanya, WSD merupakan kegiatan mematikan kendaraan bermotor ataupun listrik selama empat jam tiap tanggal 21 Maret. Kegiatan yang terinspirasi dari Hari Nyepi ini bertujuan mengurangi pembuangan emisi gas rumah kaca. Tanpa kegiatan yang memakai listrik dan kendaraan bermotor, menurut para penggagasnya, WSD bisa menjawab salah satu masalah terbesar bumi saat ini, pemanasan global.
Ide untuk mengurangi dampak pemanasan global ini yang membuat Wulan mendukung WSD. Tak hanya mendukung, dia juga ikut mengampanyekannya. Pagi itu, dengan dua gambar ikon WSD seukuran sekitar 50×50 cm persegi diikatkan di tubuhnya, Wulan dan temannya mencari dukungan tanda tangan.
Wulan membawa stiker dan leaflet. Dia membagikannya pada orang yang ditemui sementara temannya membawa formulir tanda tangan dukungan. “Jangan lupa ya tanggal 21 Maret nanti. Matikan listrik dan kendaraan bermotor selama empat jam,” katanya.
Sejak sekitar sebulan lalu tiap akhir pekan Wulan melakukan kampanye yang sama. Alumni SMA 1 Jepara Jawa Tengah ini tergabung dalam Relawan untuk WSD yang terdiri dari 15 anak muda di Bali. Hampir semua relawan adalah mahasiswa. Selain dari universitas di Bali seperti Unud dan Universitas Hindu Indonesia (Unhi), juga ada relawan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Relawan juga ada di luar Bali seperti di Bandung. Bahkan ada juga relawan dari Jerman yang ikut serta dalam kampanye tersebut.
Para relawan inilah yang gencar melakukan kampanye sekaligus menggalang tanda tangan dukungan untuk WSD. Tiap Sabtu dan Minggu, mereka mengampanyekan WSD ke tempat-tempat publik seperti mall, pantai, dan lapangan.
Minggu (14/3) pagi itu pun begitu. Sekitar 15 anak muda itu ada yang berorasi mengajak tiap orang yang lewat untuk memberikan tanda tangan di sisi selatan Lapangan Renon. Ada yang menyebarkan leaflet dan stiker. Ada yang bernyanyi. Ada pula yang duduk-duduk saja. Mereka juga memasang spanduk berukuran sekitar 4×4 meter persegi dengan materi mengajak warga mendukung WSD.
Selain mengajak warga melakukan hening selama empat jam dari pukul 10 pagi hingga 2 sore pada tanggal 21 Maret nanti, para relawan juga menggalang tanda tangan dukungan warga terhadap WSD.
Menurut Koordinator KBPI Siska Kusumadewi, hingga Minggu tersebut, mereka mendapatkan 7.025 tanda tangan dukungan. Target mereka, akan ada 10 juta tanda tangan pendukung WSD. Jika sudah ada 10 juta tanda tangan, maka gerakan ini akan bisa diakui oleh PBB dan menjadi hari hening internasional. Untuk itulah, KBPI dan para relawan WSD terus menggelar kegiatan ini sekaligus mencari tanda tangan.
KBPI dan para relawan bekerja tak hanya langsung di lapangan, mereka juga menggalang dukungan melalui dunia maya. Selain melalui website resmi di www.worldsilentday.org, para relawan juga menggalang dukungan melalui jejaring social networking Facebook melalui grup Gerakan 10.000.000 (10juta) Facebookers Dukung Hari Hening SeDunia (WSD). Hingga Senin malam, grup ini diikuti lebih dari 5000 pengguna Facebook.
Melalui berbagai cara, para relawan menggalang dukungan sekaligus menebar ajakan agar warga melakukan hening pada 21 Maret nanti. Menurut Wulan, WSD merupakan bentuk terima kasih manusia pada bumi. Bumi sudah memberikan banyak hal pada kita. Sekarang giliran kita yang beterima kasih padanya dengan melakukan hal kecil, hening selama empat jam.
“Meski kecil, saya yakin itu sangat berarti bagi bumi,” ujar Wulan. [b]