MEN COBLONG merasa sedikit segar setelah “terbebas” dari segala macam hiruk-pikuk yang dia alami.
Hiruk pikuk medsos, hiruk pikuk kehidupan, semua terbenam dalam ke seluruh palung-palung napasnya. Berkelindan dan membuatnya merasa hidup menjadi perempuan baru. Perempuan yang memiliki harapan baru, impian baru, dan terasa menyenangkan menjadi manusia baru itu.
Minimal Men Coblong bisa merasakan aura-aura positif menyiram pikiran, hati dan otaknya. Mungkin juga telah mengalir di deras aliran darah dalam tubuhnya.
Perayaan Nyepi yang bersatu dengan hari raya Sasraswati membuat Men Coblong merenung. Apa artinya? Apakah ada makna “terselubung” dari alam untuk manusia?
“Ya, ampun. Hari begini masih berpikir tentang mistis? Memang kamu ingin jadi paranormal? Atau jadi motivator?” tanya sahabat Men Coblong. Tak lupa dia sambil menyebutkan nama salah satu motivator kondang yang sempat jadi “tuhan” bagi orang-orang galau tetapi nyatanya tidak bisa mengurus dengan baik keluarga dan anaknya sendiri.
Men Coblong menarik napas. Di tengah usianya yang makin “dewasa”, Men Coblok emoh mengatakan “tua”. Tua biasanya identik dengan “kerapuhan”. Bagi Men Coblong “kerapuhan” adalah tanda-tanda kecengengan menghadapi hidup. Orang yang tidak berani menghadapi hidupnya, juga takut pada masa lalu adalah orang-orang “kerdil”. Orang-orang yang sesungguhnya pengecut dan tidak berani bertarung dengan hidup.
Jika tidak berani menghadapi realitas dan terus bersembunyi dengan beragam “kesohoran” juga materi, kapan kita siap menikmati hidup dengan realitas yang terhidang di depan mata. Beranikah kita menghadapi realitas dengan “pertarungan” yang telah kita persiapkan dengan akal sehat? Bukankah “usia” dan liku perjalanan hidup sesungguhnya membuat kita tumbuh dan berkembang jadi manusia imun yang siap menghadapi realitas. Realitas yang jadi pancang di depan mata, juga pertaruhan dari hasil kita “menyantap” hutan kehidupan?
Men Coblong merasa setelah “puasa” medsos selama satu hari penuh justru memiliki pikiran-pikiran baru yang harus dipancangkan dalam-dalam untuk menghadapi beragam persoalan hidup yang terjadi ke depan.
Sebagai perempuan, juga seorang Ibu yang memiliki anak yang hobi berselancar di dunia maya dan bereksperimen di dunia teknologi Men Coblong justru merasa ada sesuatu yang mistis dan rahasia di balik berita ini.
Namanya Surabaya Black Hat (SBH), kelompok peretas sistem komputer yang mayoritas anggotanya merupakan mahasiswa teknologi informasi (TI) dengan usia sekitar 21 tahun. Tak menggunakan ilmunya secara positif, kelompok ini justru telah meretas sekitar 3.000 sistem komputer di 40 negara termasuk Amerika Serikat.
“Yang terdata dan cukup mengagetkan adalah kelompok ini meretas sistem situs dan database milik pemerintah Los Angeles,” ujar Kasubdit Kejahatan Siber Ditreskrimsus Polda Metro Jaya AKBP Roberto Pasaribu, Rabu (14/3/2018).
Pasaribu mengatakan, penangkapan tiga anggota SBH berinisial NA, ATP, dan KPS bermula dari informasi Internet Crime Complaint Center (IC3), badan investigasi utama dari Departemen Keadilan Amerika Serikat (DOJ) Biro Investigasi Federal AS (FBI).
“Jadi begini, itu ada lembaga namanya IC3. Seluruh data kejahatan dunia terkumpul di mereka. Nah, dari mereka itulah ditemukan lebih dari 3.000 korban yang diretas dalam durasi 2017 yang mengalami serangan. Jadi, informasi itu dari FBI karena kerja samanya kan police per police,” kata Roberto.
Pasaribu menambahkan SBH hanya membutuhkan waktu 5 menit untuk melakukan peretasan. “Hanya 5 menit saja,” ujarnya. Ia mengatakan, para tersangka mengaku melakukan peretasan dengan dalih melakukan penetration testing pada suatu sistem. Penetration test merupakan sebuah metode untuk melakukan evaluasi terhadap keamanan sebuah sistem dan jaringan komputer dengan cara melakukan sebuah simulasi serangan (attack).
Apa yang ada di benak seorang Ibu jika anaknya bermain-main di wilayah ini? Men Coblong ingat ketika anaknya duduk di bangku SMP Negeri di Denpasar, anak lelakinya sering bercerita bahwa dia dan beberapa teman sekolahnya bisa dengan mudah menjadi hacker bagi wifi sekolah yang sudah dipasang kata kunci (password). Maka, jika tidak ada guru masuk, seluruh kelas dengan mudah berselancar apa saja yang disepakati. Padahal mereka rata-rata masih berusaha 12 tahun.
Jika hal-hal begini terjadi, ini menunjukkan bahwa banyak sekali anak-anak “cerdas” yang justru belajar dari hutan-hutan di luar pendidikan formal yang disepakati. Seharusnya tidak bisa ditampik, bagi anak-anak usia pubertas dan sedang mencari ekosistem dirinya, tantangan adalah realitas yang mengasyikkan.
Persoalannya sudah sejak lama sesungguhnya Men Coblong merasa pendidikan formal di sekolah-sekolah sudah tidak bisa jadi pancang bagi kehidupan modern dan serba cepat seperti sekarang ini. Anak-anak saat ini paham dan khatam bereksperimen dengan laptop dan gawainya. Mereka juga belajar di “hutan-hutan” di luar pendidikan formal melalui beragam fasilitas yang disediakan Internet.
Jika pendidikan formal di sekolah-sekolah tidak segera berbenah, alangkah sayangnya negeri ini, karena “keusilan” mereka bermain menjadi peretas bisa jadi bagian dari kejenuhan dengan beragam aturan formal. Sayang sekali, jika anak-anak cerdas seperti ini tidak dimanfaatkan untuk kepentingan pancang-pancang masa depan yang sangat berbau digital. Sementara pendidikan formal belum bisa menyentuhnya.
Inilah realitas yang harusnya mulai dipikirkan. Ada baiknya teknologi digital sudah mulai disusun menjadi kurikulum agar anak-anak cerdas yang paham digital dan internet bisa berguna bagi generasi Z. Ini realitas. Bukan motivator. Bukan juga pemikiran mistis. [b]