Bagaimana letusan Gunung Agung 54 tahun silam diceritakan dalam lontar?
Sang Madé Gedé Sidemen, demikian menyebut dirinya dalam lontar, dikenal sebagai sastrawan besar tiada lain bergelar Ida Pedanda Madé Sidemen. Beliau seorang seniman, budayawan, dan undagi (arsitek).
Kawi (sang kawya) dan wiku (pendeta) yang sangat sederhana ini menceritakan dalam kolopon lontar ‘Puja Pañambutan’ yang disalinnya menuliskan pangéling-éling (pesan pengingat) tentang letusan Gunung Agung tahun 1963, diikuti kekacauan politik 1965, atau 2 tahun setelah letusan besar itu.
Isi kolopon lontar tersebut, yang sebenarnya tiada berhubungan dengan isi lontarnya, tidak lain adalah lontar tentang ‘Puja Pañambutan’. Dia menyebut rangkai peristiwa dan musibah, sebagai berikut:
“Maletus Gunung Agung medal hagni, hudan hawu mawor watu… isaka 1884. Isaka 1887, rijek jagaté hantuk parthé. Pang, sasih, kapat, tekéng, tang, ka, 5, bintang kukus ring hambara meh rahina bener kangin. Ring purnama kalima, gentuh pasaning sagara, hangrubuhaken pinggir, ngilyaken watu kakalih, ring sagara Hintaran, kadi kubu göngnya”.
Terjemahannya:
“Meletus Gunung Agung keluar lahar (api), hujan abu berhamburan batu… tahun isaka 1884 (1963 M). Tahun isaka 1887 (1965 M), hancur masyarakat oleh partai. Bulan ke empat (perhitungan sasih), tanggal 5, bintang kukus di langit timur, rubuh tepian, menghayudkan dua batu, di pantai Intaran, besarnya sebesar rumah.”
Apa yang bisa dipelajari dari kolopon ini?
Tahun 1963 Gunung Agung meletus, kemudian 1965 masyarakat hancur karena partai. Banyak warga dibunuh, dan seterusnya.
Dari kolopon lontar ‘Puja Pañambutan’, kita diajak eling, menjaga keheningan batin, mulat sarira dan merenung: Apakah ini berulang tahun 2017 meletus (?), dua tahun kemudian, tahun 2019 muncul ribut-ricuh-kacau karena partai (?) — semoga jangan terulanglah ritme kekacauan itu.
Semoga jangan terulanglah ritme kekacauan itu.
Sang Kawya juga memberi gambaran bencana Gunung Agung tahun 1963, tentang berapa lama kira-kira dampak letusan Gunung Agung, dalam salinan lontar lainnya yaitu lontar ‘Batur Kalawasan’, yang disalinnya di Desa Intaran (Sanur), dituliskan:
“Duk sasih, 8… Gunung Hagung maletus mëdal hagni, ngadakang hudan hawu, katakéng tilem kasanga kari gununge medal hagni, maduluran ëmbah linet, tan pahudan, tan kanten surya wahu hasasih, durung kanten panguwusané.”
Terjemahannya:
“Ketika bulan 8 [menurut perhitungan Sasih]… Gunung Agung meletus mengeluarkan api, menyebabkan hujan abu, berlanjut sampai bulan 9 gunung [Agung] masih mengeluarkan api, disertai banjir lava, tiada hujan, matahari tak tampak selama sebulan, belum ada tanda-tanda berhenti”.
Seperti apa yang ditulis Sang Kawya, letusan Gunung Agung pada 1963 memang dahsyat. Dalam beberapa catatan Gunung Agung mulai menampakkan aktivitasnya pada 18 Februari 1963, lalu pucak kebencanaan terjadi ketika meletus dahsyat pada 17 Maret 1963.
Disebutkan pada 24 Februari 1963 mulai turun lahar di bagian utara gunung, diperkirakan meluncur sejauh 7 kilometer selama 20 hari.
Pada letusan 17 Maret 1963, Gunung Agung menyemburkan abu vulkanik diperkirakan mencapai 10 kilometer ke udara. Letusan ini memakan ribuan korban. Kembali pada 16 Mei 1963 terjadi letusan, yang diperkirakan kembali menewaskan 200 orang.
Gunung Agung tak hanya bergolak dan meletus dari 18 Februari 1963 sampai 16 Mei 1963. Menurut catatan sejarah Gunung Agung meletus kembali pada 26 Januari 1964, setelah itu tidak ada aktivitas berbahaya lain, kemudian terjadi bulan ini, September 2017.
Aktivitas kebencanaan Gunung Agung sebelumnya — terhitung dari 18 Februari 1963-16 Mei 1963 dan letusan kembali pada 26 Januari 1964 — itu dengan disertai kemunculan bintang kukus di langit timur.
Sang Kawya, Ida Pedanda Madé Sidemen, mengaitkan dengan bencana kemanusiaan di Bali akibat kisruh kepartaian (dan juga keterlibatan militer) yang diperkirakan oleh para beberapa peneliti disebut memakan korban rakyat Bali sekitar 100.000 korban. Jauh lebih besar dari bencana letusan Gunung Agung pada 2-3 tahun sebelumnya.
Bencana kepartaian menewaskan sekitar 100.000 orang ini, yang muncul 2-3 tahun berselang setelah letusan Gunung Agung dan bintang kukus itu, tersirat dituliskan dalam kolopon lontar lain yang disalin oleh Ida Pedanda Madé Sidemen, yaitu lontar ‘Caru Agung Alit’ yang berisi soal tata cara ‘pacaruan’ (ruwat bumi) akibat bencana dan musibah, sebagai berikut:
“Puput sinurat ring dina, Bu, Ka, Dunghulan… duk rijek jagaté hantuk parthé, kéh janmané kapademang, makawit maciri bintang kukus wetan das rahina, nemonin wuku wayang, muwah ring tilem kalima, A, Wa, Sinta, suryugra matemu lawan ulan, duk isaka, 1887.”
Terjemahannya:
“Selesai disalin pada hari, Rabu, Kliwon, Dungulan.. ketika hancur dunia karena partai, banyak manusia dibunuh, berawal dari ciri bintang kukus di timur setiap hari, pada wuku Wayang, bulan gelap kelima, Selasa, Wage, Sinta, bagian matahari bertemu bulan, pada tahun duk i?aka, 1887 (1965 M).”
Ida Pedanda Madé Sidemen dikenal sebagai ‘bhujangga siddhi’ dan ‘bétél tinggal’, pendeta yang mumpuni dan punya visi melihat ke masa depan, tentu tiada bermain-main meninggalkan semacam ‘pengeling-eling’ yang ditinggal dalam jejak tangan tulisan Sang Kawya.
Dari ‘pangéling-éling’ dalam karya beliau kita sekarang diajak bercermin dan berpikir bijak: Semoga segera Gunung Agung kembali tenang dan tidak pernah terulang lagi bencana ricuh partai yang menewaskan ratusan ribu krama Bali itu. [b]
Catatan: tulisan ini pertama kali terbit di Tatkala.
Tulisan yang menarik.
Entah kenapa ada beberapa huruf yang semrawut ketika membaca artikel ini di laptop:(