Sejumlah sipir dan narapidana berkolaborasi mengapresiasi karya sastra.
Mereka membaca karya bersama di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Anak Gianyar di Karangasem dalam apresiasi sastra hari ini. Para sipir membacakan karya anak-anak ini dalam buku “Di Balik Jeruji”.
Buku setebal 108 halaman ini merangkum puluhan karya prosa dan puisi dari lebih 20 napi anak. Buku dibuat dalam kurun waktu Januari-Februari lalu. Seluruh karya memperlihatkan pengalaman pribadi penulis ketika ditangkap, kasus masing-masing, maupun cerita kehidupan dalam Lapas khusus anak laki-laki satu-satunya di Bali dan NTB ini.
Kegiatan workshop dan apreasiasi sastra ini difasilitasi Bali Emerging Writers Festival dan Ubud Writers and Readers Festival bekerja sama dengan Sloka Institute, sebuah lembaga pengampanye jurnalisme warga di Bali.
Kawidana, Kepala Bidang Pembinaan Lapas Anak membacakan puisi dengan keras di depan napi. Juga ada dua sipir lain yang menjadi pengawas harian.
Salah satu puisinya berjudul Perjalanan karya Dansap (bukan nama sebenarnya).
Begini cuplikannya, “hidup adalah pelajaran/terkadang membuat bingung/jalan yang ditempuh/ perasaan takut muncul/hidup sekali tapi takut muncul ratusan kali…”
Sementara dalam belasan prosa, kebanyakan berisi kronologis kisah mereka ketika sebelum ditangkap. Keterkejutan menjalani penyidikan, persidangan, dan kebosanan dalam penjara.
Sebagian besar kasus yang menimpa mereka adalah asusila atau pelecehan seksual. Baik sendiri maupun berkelompok. Kenakalan masa remaja, yang bisa menimpa siapa saja tapi berujung di sel penjara.
“Saya dan teman-teman di sini sudah kehilangan kebebasan. Kalian di sana enak masih bersama orang tua, manfaatkanlah,” kata Carli, salah seorang napi.
Cok Sawitri, mentor workshop mengatakan anak-anak di Lapas tidak terbiasa dengan tradisi membaca. “Hanya televisi yang sepintas saya liat di lorong depan sel. Jadi, saya mengembalikan pemahaman workshop itu mengajak peserta melihat proses mengenal sastra dan mengerjakannya,” ujarnya.
Ia menghindari ceramah teori menulis, teori sejarah sastra, namun langsung ke pengalaman menulis dan membaca. “Saya harapkan para peserta berani menuliskan apa saja, dan strateginya sederhana saja, yang paling mudah adalah menuliskan diri mereka, mengenalkan diri,” paparnya.
Menurut Haryoto, Kepala Lapas Anak Klas IIB Gianyar di Karangasem ini, suara dan potensi anak-anak dalam Lapas harus bisa didengarkan oleh orang lain. Karena itu ia memendam sejumlah mimpi untuk mewujudkannya.
“Saya berharap banyak program gila yang menggugah mereka untuk fight,” ujar pria yang baru jadi Kalapas sejak 22 Oktober 2014 ini.
Selain menulis juga lewat musik. Ia meyakini musik adalah salah satu medium penyampai aspirasi. Haryoto misalnya bermimpi ada kontes band di dalam Lapas yang mempertemukan penghuninya dengan anak-anak dari luar Lapas.
Di balik festival musickini ada sejumlah pesan yang ingin disampaikan. “Pertama, mereka tahu Lapas Anak bukan tempat yang bagus untuk mereka tinggal. Kedua, untuk masuk Lapas tidak dengan kasus tapi dengan kreativitas,” katanya bersemangat.
Sebelumnya selama satu tahun ada Yayasan Seni Sana Sini yang membuat workshop music, menulis, dan lukis di Lapas. Haryoto ingin meneruskan ruang kreativitas ini dengan mengajak relawan-relawan terlibat. [b]