Kematian bagi Agus, nama samaran, bukanlah akhir sebuah perjalanan.
Kematian bagi mantan pecandu heroin tersebut justru menjadi masalah baru. Dua hari lalu, IDU yang sudah positif HIV itu meninggal akibat infeksi oportunistiknya. Lazimnya di Bali, tiap orang yang meninggal akan menjadi tanggung jawab bukan hanya keluarga, tapi juga komunitas tradisional setempat yang biasa disebut banjar.
Biasanya, orang yang meninggal akan diurus jenazahnya oleh keluarga dan warga banjarnya. Tapi tidak bagi Agus. Kini, jangankan mengurusi, bahkan menerima jenazahnya pun warga tidak mau. Maka, jenazah Agus dibawa kembali ke Rumah Sakit Sanglah, rumah sakit terbesar di Provinsi Bali, Indonesia, tempat dia pernah dirawat.
Untunglah masih ada teman-teman Agus, sesama pengguna maupun mantan pengguna heroin dengan jarum suntik, maupun Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang mau mengurus jenazahnya. Teman-teman Agus itulah yang kemudian memandikannya.
Sekitar seminggu sebelumnya, cerita sama juga terjadi pada Budi, nama samaran juga, salah satu ODHA di Bali. Karena statusnya sebagai ODHA, jenazah Budi ditolak oleh warga banjarnya.
Kasus pada Agus dan Budi adalah contoh cerita klise pada ODHA di Bali maupun Indonesia, diskriminasi. Namun cerita pada dua ODHA yang ditolak oleh komunitasnya tersebut juga menunjukkan betapa besarnya kesenjangan antara aturan di atas kertas dengan kenyataan di lapangan.
Sejak 2006 lalu, Pemerintah Bali (Perda) sudah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2006 tentang Penanggulangan AIDS. Perda yang disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bali pada akhir Maret 2006 lalu itu mengatur antara lain penanggulangan AIDS di Bali meliputi kampanye, pencegahan, voluntary counseling testing (VCT), pengobatan, serta perawatan dan dukungan. Selain Perda No 3, Bali juga memiliki Komitmen Sanur yang ditandatangani oleh Bupati dan Walikota se-Bali serta Gubernur, Kapolda, dan Ketua DPRD Bali.
Salah satu kalimat dalam Pasal 20 ayat (1) Perda ini menyebutkan bahwa masyarakat memiliki kesempatan yang sama dalam penanggulangan AIDS, salah satunya adalah dengan tidak melakukan diskriminasi. Namun pada praktiknya, masih saja ada praktik diskriminasi pada ODHA tersebut. Adi, salah satu ODHA di Bali, menyebutkan bagaimana temannya tidak jadi diperiksa oleh dokter hanya karena statusnya sebagai ODHA.
Bagusnya aturan di atas kertas berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan. Bukan hanya soal diskriminasi, begitu pula terkait dengan pencegahan atau pengurangan dampak buruk. Ada beberapa program yang belum dilaksanakan sepenuhnya oleh Pemda Bali meskipun sudah ada aturan terkait dengan program tersebut.
Misalnya program pertukaran jarum suntik di penjara yang sampai saat ini belum ada meski Perda sudah menjamin bahwa program tersebut bisa dilaksanakan.
Saat ini, Bali adalah salah satu dari lima provinsi dengan jumlah kasus HIV/AIDS tertinggi di Indonesia. Berdasarkan data dari Departemen Kesehatan jumlah kasus di Indonesia sampai Desember lalu adalah 16.110 kasus. Bali berada di urutan kelima dengan 1177 kasus. Ada 33 provinsi di Indonesia.
Sekadar informasi, data di Depkes ini berbeda jauh dengan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Menurut Dinkes Bali, hingga Oktober 2008 lalu data kasus di provinsi ini mencapai 2323 kasus.
Di atas Bali, provinsi lain adalah Papua. Provinsi di bagian paling timur Indonesia ini selalu menjadi provinsi dengan prevalensi kasus AIDS terbesar. Meski demikian, penanggulangan AIDS di Papua pun tidak jauh berbeda dengan Bali. Masih saja penuh dengan diskriminasi.
Hal paling kontroversial baru-baru ini adalah adanya rencana pembuatan Perda yang mengatur pemasangan chips pada ODHA. Banyak pihak, terutama kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang menolak rencana Perda ini karena dianggap tidak manusiawi dan mendiskriminasi ODHA. Rencana itu secara tidak langsung menunjukkan bahwa memang di tingkat anggota legislatif pun masih cukup pemahaman tentang HIV dan AIDS serta bagaimana memperlakukan ODHA.
Bali dan Papua mungkin bisa jadi dua contoh dari seluruh provinsi di Indonesia terkait dengan penanggulangan AIDS. Bahwa kenyataan di lapangan tidak semanis aturan di atas kertas.
Kebijakan AIDS di Indonesia sebenarnya sudah mengatur banyak hal untuk menanggulangi epidemi ini. Namun, dalam praktiknya masih menghadapi masalah klasik: stigma, diskriminasi, dan kurangnya dana.
Menurut Rencana Aksi Nasional Penanggulangan AIDS 2007-2010, penanggulangan AIDS di Indonesia dilaksanakan dengan memperhatikan tiga hal berikut: Pertama, program diarahkan terutama untuk menjangkau sub-populasi IDU dan penjaja seks (PS) termasuk pasangan dua kelompok ini. Kedua, pencegahan penularan melalui jarum suntik dan transmisi seksual untuk mencegah laju pertumbuhan infeksi baru HIV. Ketiga, program mengutamakan cakupan wilayah di 19 provinsi dengan estimasi jumlah populasi paling berisiko yang mencapai 80% dari seluruh wilayah Indonesia.
Untuk mendukung tiga program besar itu, Indonesia sudah memiliki beberapa kebijakan antara lain 1) Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1994 tentang Pembentukan KPA dan KPA Daerah sebagai lembaga pemerintah yang mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan AIDS, 2) Mengadopsi komitmen United Nations General Assembly Special Session on HIV
and AIDS (UNGASS) pada tahun 2001, sebagai kerangka kerja dalam memperluas respons penanggulangan AIDS, 3) Penandatanganan Komitmen Sentani pada tahun 2004 oleh enam provinsi dengan tingkat epidemi HIV tertinggi sebagai gerakan bersama memerangi AIDS, serta .
4) Memorandum of Understanding (MoU) Badan Narkotika Nasional (BNN) dan KPA yang ditindaklanjuti dengan Permenko Kesra Nomor 2/2007 tentang pengurangan dampak buruk terhadap IDU.
Namun semua aturan itu seperti dikalahkan oleh pesatnya jumlah kasus AIDS di Indonesia. Lima tahun terakhir ini, peningkatan jumlah kasus AIDS semakin cepat. Depkes melaporkan jumlah kasus baru AIDS pada tahun 2006 sebanyak 2.873. Jumlah ini dua kali lipat dibanding jumlah yang dilaporkan selama 17 tahun pertama epidemi tersebut di Indonesia, yakni 1.371 kasus.
Data lebih ekstrim terlihat dari hasil Estimasi Populasi Dewasa Rawan Tertular HIV pada tahun 2006. Diperkirakan ada 4 juta sampai dengan 8 juta orang paling berisiko terinfeksi HIV dengan jumlah terbesar pada sub-populasi PSK dan pasangannya. Namun jumlah penularan terbesar justru di kalangan IDU. Menurut hasil estimasi pada 2006, jumlah ODHA di Indonesia sekitar 169.000-217.000, di mana 46 persen di antaranya adalah IDU sedangkan PSK 14 persen.
Kuantitas penularan ini pun diikuti dengan perubahan pola penularan. Dari yang semula di kalangan tertentu seperti IDU dan PSK, kini penularan mulai masuk di populasi umum. Ini sudah terjadi di Papua dan Bali.
Di sisi lain, adanya aturan-aturan di atas kertas pun tidak sinergis dengan political decision. Paling sederhana bisa dilihat dari rendahnya pendanaan oleh pemerintah dalam penanggulangan AIDS di Indonesia. Perkiraan jumlah dana yang dibutuhkan Indonesia selama empat tahun (2007-2010) terdiri atas program pencegahan Rp 4,35 trilyun, perawatan, dukungan dan pengobatan Rp 1,32 trilyun, manajemen Rp 1,17 trilyun, serta mitigasi Rp 143 milyar. Namun perkiraan ketersediaan dana per tahun sebanyak Rp 597 milyar.
Maka, Indonesia kemudian hanya bergantung pada lembaga donor. Kontribusi pemerintah dalam biaya penanggulangan hanya sekitar 20 persen, sedangkan 80 persen berasal dari donor. Dengan kata lain, penanggulangan AIDS di Indonesia masih sangat bergantung pada kebaikan hati ndoro funding. Inilah ironinya..
Comments 2