Oleh Rofiqi Hasan
“Get Up, Stand Up, Stand Up for your rights”. Potongan syair lagu milik Bob Marley yang dinyanyikan artis lokal Joni Agung itu segera membangkitkan ratusan pecinta reggae untuk bernyanyi bersama. Mereka berkumpul menyesaki Apache Bar Legian, Jum’at (6/2) malam untuk merayakan hari ulang tahun Marley. Kelahiran ikon musik asal Jamaika masih terus diperingati meski dia sudah meninggal pada 11 Mei 1981.
Nuansa reggae makin kental dengan kehadiran ratusan pria dan wanita berambut gimbal. Turis asing yang memiliki gaya rambut itu pun turut berbaur. Bergoyang tanpa heni dalam kepengapan asap rokok dan sengatan bau minuman beralkohol. Menariknya, Joni Agung tak lupa menyelipkan lagu-lagu reggae karyanya sendiri yang berbahasa Bali. “Reggae itu musik universal.Orang yang tak mengerti bahasanya tetap bisa menikmati,” ujarnya.
Puncak acara ditandai dengan sejumlah lomba. Diawali adu cepat melinting ‘mariyuana’ layaknya kaum rasta sejati. Rasta adalah sebuah aliran spiritual di Afrika dimana Marley dianggap sebagai nabinya dan mengisap mariyuana sebagai salah-satu ritualnya. Malam itu pembawa acara terus menerus memperingatkan untuk mewaspadai polisi meski mariyuana telah digantikan oleh tembakau saja. Pesta dilanjutkan dengan lomba Dreadlock alias rambut gimbal . Terdiri dari lima kategori. Yakni, Gimbal terpanjang, Gimbal terpendek, Lady Dreadlock, Gimbal Mirip Marley dan Dreadlock of the Year.
Manager Apache Ida Bagus Gede Sariana mengungkap, tradisi tahunan itu sudah digelar rutin sejak 2001. Apache sendiri memilih hanya memainkan musik reggae saja pada 1998. “Sebelumnya kita masih menyajikan jazz dan rock,” ujarnya mengenai kafe yang berdiri pada 1996 itu. Mereka pun rutin merayakan hari meninggalnya Marley pada tanggal 11 Mei serta konser terakhirnya pada 22 september.
Strategi itu ternyata cukup jitu. Apache kini telah dikenal oleh komunitas pecinta reggae dari seluruh dunia. Terbukti untuk acara-acara tahunan itu, banyak turis sudah memberitahukan rencana kedatangannya beberapa minggu sebelumnya. Jumlahnya memang tak terlalu banyak. Namun relatif solid sehingga bisa diharap menjadi pengunjung tetap saat berlibur ke Bali.
Selain reggae, pihaknya terus mencari variasi. Misalnya tahun ini dengan penampilan parade musik Jimbe dan tarian suku Asmat. Nah, gara-gara rencana penampilan tarian dari Papua itu , aparat intel dari Kodam IX Udayana dan Polda Bali sempat mendatangi bar ini. “Mereka takut akan ada pengibaran bendera bintang Kejora,” ucap Sariana sambil terkekeh.
Di Bali, komunitas reggae lumayan eksis. Kelompok Stephen & Coconut Trees yang populer dengan lagu “Welcome to My paradise” termasuk yang memulai karirnya disini. Joni Agung pun berani meluncurkan album reggae dalam bahasa Bali. Beberapa singlenya sukses menjadi hits dan terus menerus diputar di radio dan televisi lokal. Tiket konsernya selalu ludes terjual.
Namun Joni yang juga berambut gimbal mengaku bukanlah penganut Rasta. Reggae baginya hanya sekedar ekspresi seni lewat musik. Iramanya pas karena sesuai dengan karakter warga Bali yang santai dan cinta damai. “Mengisap mariyuana juga bukan gaya saya,” ujar pria bertubuh tambun itu dalam suatu wawancara.