Oleh Anton Muhajir
Tubuh Nadia Amanda Putri, 7 tahun, terbenam lumpur hingga di atas lutut. Baju merah muda dan celana pendek murid kelas I SD itu penuh dengan lumpur. Begitu pula 13 anak lain yang sedang di sawah di daerah Kerobokan tersebut.
Namun meski berada di dalam lumpur sehingga harus menyeret tubuhnya untuk bergerak, semua anak itu tetap mengikuti gerakan Wayan Ardana, 60 tahun, petani setempat. Dengan berjalan mundur di lumpur, Amanda dan teman-temannya menanam bibit padi itu satu per satu, Minggu (21/12) lalu.
Anak-anak itu terlihat menikmati kegiatan pagi itu. Mereka menanam padi bersama Ardana, meski sebagian besar anak-anak itu tidak sampai menyelesaikan satu galur. “Senang bisa ikut,” kata Amanda setelah selesai menanam padi.
“Tidak capek karena bisa main sama teman-teman,” lanjut siswa kelas I Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Kepaon Denpasar Selatan itu.
Bersama anak-anak lainnya, Amanda mengikut Fun Sunday yang digelar Yayasan Wisnu, lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemberdayaan masyarakat tersebut. Kegiatan setengah hari ini digelar pada saat liburan sekaligus sebagai tempat belajar bagi anak-anak.
“Kami ingin memberikan pendidikan alternatif dengan materi yang tidak pernah mereka dapatkan di sekolah,” kata Ni Made Puriati, Manajer Pemberdayaan Masyarakat Yayasan Wisnu.
Target kegiatan itu, lanjut Denik, panggilan akrab Puriati, memang anak-anak SD. Makanya semua peserta Fun Sunday kemarin pun hampir semuanya anak-anak SD.
Menurut Denik, Fun Sunday sudah dilaksanakan Wisnu sejak 2006 lalu. Kegiatan ini rutin dilaksanakan tiap bulan sekali. Untuk ikut kegiatan tersebut tiap peserta membayar Rp 50.000. “Sebenarnya biaya itu tidak menutupi kebutuhan operasional kegiatan. Tapi kami tetap jalan karena ini toh bagian dari program pendidikan kami,” tambah Denik.
Dengan biaya tersebut, peserta akan mendapat materi tentang bertani, video proses belajar, makan siang dan kudapan, serta piagam.
Selain Fun Sunday, kegiatan lain yang dilakukan Wisnu untuk anak-anak adalah Melali (Jalan-jalan) Bersama Pan Godogan. Bedanya, kalau Fun Sunday dilakukan di sawah tak jauh dari kantor Wisnu, maka Melali Bersama dilakukan ke luar kota seperti ke Plaga, desa penghasil kopi, atau ke Tenganan, salah satu desa tua di Bali.
Namun kegiatan tersebut sempat terhenti selama satu tahun akibat kurangnya sumber daya manusia yang mengurusi. “Tahun ini mulai lagi setelah ada permintaan dari anak-anak yang sedang libur sekolah,” tambah Denik.
Minggu ini murid sekolah di Denpasar memang sudah mulai libur setelah ujian semester. Beberapa murid yang pernah ikut kegiatan itu pun kembali meminta ke Wisnu agar liburan sambil belajar itu kembali dilaksanakan. Amanda salah satunya. “Jadi saya bisa belajar bertani lagi,” kata Amanda yang sudah empat kali ikut kegiatan serupa.
Suasana Fun Sunday memang lebih banyak seperti bermain daripada belajar. Sejak pukul 8 pagi, anak-anak itu sudah bersiap di ruang pertemuan Yayasan Wisnu. Sambil duduk lesehan di lantai, anak-anak mendapat briefing tentang kegiatan selama setengah hari tersebut.
Mereka dibagi dalam tiga regu: Hujan, Pohon, dan Tanah. Tiga regu ini kemudian bersama-sama mengerjakan tugas dalam tim. Semuanya dipandu satu instruktur, Putu Suartana yang lebih dikenal dengan nama Pan Godogan.
Pertama mereka berkebun. Di lahan sekitar satu are lahan yang sudah disiapkan itu anak-anak menanam sayur mayur seperti cabe dan bayam. Ada yang membuat lubang untuk tempat biji ditanam, ada yang memasukkan biji, ada yang menutupnya dengan kompos.
Karena sebagian besar peserta baru pertama kali ikut, maka tidak sedikit yang masih kikuk ketika menanam bibit-bibit sayur itu. Salah satu anak menabur langsung biji-biji itu lubang sehingga banyak biji yang langsung masuk ke sana.
“Bukan. Bukan begitu cara menanamnya. Diambil dulu bijinya terus dimasukkan ke lubang tiga-tiga,” kata Pan Godogan ketika melihat anak itu.
Di kebun itu anak-anak juga belajar tentang jenis sayuran di sana. Di sekitar lahan yang baru ditanami itu ada bayam, terong, dan cabe.
“Kalau cabe rasanya apa?” tanya Made Suarnata, yang juga mendampingi anak-anak itu bersama Pan Godogan.
“Pedaas,” jawab anak-anak itu serempak.
Kelas kemudian pindah ke lokasi lain. Dari kebun, yang tanahnya padat, anak-anak pindah ke lumpur. Di sini pelajaran berganti tentang menanam padi. Tak hanya mengenal struktur anatomi padi dan bagaimana cara menanamnya, anak-anak itu juga menanam langsung padi itu di sawah.
“Kami juga ingin melatih kepekaan anak pada pelestarian lingkungan. Karena itu, kami memberikan pendidikan tentang pertanian organik,” tambah Denik.
Menurut Ardana, petani yang mengajari cara bertani, pertanian di 30 are lahan tersebut memang menggunakan pertanian organik. Bibit yang digunakan, misalnya, adalah varietas lokal, bukan hibrida. Pupuk dan pengendalian hamanya pun menggunakan bahan-bahan organik yang didapat dari lingkungan sekitar.
Karena belajar tentang lingkungan itu pula, maka anak-anak juga diajak untuk mengenal ekosistem di lahan belajar tersebut. Salah satunya ketika mengenal rayap di sebelah kolam ikan.
“Rayap itu kalau besar jadi apa?” tanya Suarnata.
“Jadi kecoak,” jawab salah satu murid dengan yakinnya.
“Bukan. Rayap itu kalau besar jadi laron. Dia hidup di bawah tanah dan keluar menjadi laron kalau nanti ada hujan,” kata Suar.
Pan Godogan menyahut. “Rayap juga punya DPR lho. Dewan Perwakilan Rayap,” katanya disambut gelak tawa anak-anak.
Proses belajar di Fun Sunday memang sangat berbeda dengan kelas di sekolah yang sangat serius. Di Fun Sunday anak-anak boleh menyela semaunya. Boleh juga berhenti jika merasa sudah capek. Tidak ada keharusan untuk mengikuti semua proses bermain sambil belajar tersebut.
“Saya jadi tahu bagaimana rasanya jadi petani setelah ikut kegiatan ini,” kata Amanda.
“Kamu mau jadi petani?” tanya saya.
“Tidak. Soalnya menjijikkan. Kotor,” jawabnya. Tak hanya Amanda yang menjawab begitu. Semua temannya menjawab hal yang sama. Tak ada satu pun anak itu yang ingin jadi petani. [b]
Comments 1