Oleh Luh De Suriyani
“Isin aku, Mbak,” ujar Mutadi, 55 tahun, lirih dalam Bahasa Jawa yang berarti malu. Pedagang soto ayam Lamongan ini mengaku sangat malu melihat tingkah polah tiga terpidana kasus bom Bali, Amrozy, Ali Ghufron, dan Imam Samudera di televisi.
Dua bersaudara, Amrozy dan Ali Ghufron alias Mukhlas berasal dari Lamongan. Seminggu ini, ketiga terpidana yang akan dieksekusi itu memang seolah menjadi idola bagi reporter di Nusa Kambangan, sebuah pulau lokasi penjara mereka. Televisi berlomba-lomba mendapatkan kutipan komentar apa pun soal mereka. Bahkan yang bernada ancaman dan kekerasan.
Mutadi, pria dengan dua anak ini mengaku hampir enam tahun menyembunyikan asal kampungnya ketika ditanya pembeli dagangannya. Ia mengaku berasal dari Surabaya. “Saya malu bilang dari Lamongan. Malu juga takut ditanyai soal kasus Amrozy. Padahal saya tidak tahu apa. Orang hanya taunya Lamongan itu tempat teroris,” tuturnya sambil melayani pembeli, Kamis lalu. Mutadi dengan gerobak dorong sotonya biasanya mangkal di Jalan Bedahulu Denpasar.
Ketakutan dan rasa malu ini berimbas pada persoalan ekonomi. Ia tidak berani menulis kalimat, “Soto Ayam Lamongan” di gerobak sotonya. Tak hanya Mutadi, ia mengatakan hampir semua rekannya yang berjualan makanan melakukan hal serupa.
Enam tahun lalu, ketika Amrozy pertama kali ditangkap sebagai tersangka peledakan bom 12 Oktober 2002 itu, di headline surat kabar tertulis besar-besar bahwa pelaku terorisme ini dari Lamongan, Jawa Timur.
Identitas daerah itu terus melekat karena selama berbulan-bulan sampai kini jelang eksekusi, Amrozy yang tinggal di Desa Tenggulun, Lamongan itu menjadi tokoh teroris yang eksentrik.
Sesaat setelah penangkapan Amrozy ketika itu, sejumlah warung yang memajang nama Lamongan sebagai identitas warung memang mengganti spanduknya. Sari Laut Lamongan diganti menjadi Sari Laut atau ada yang menambahkan kata Surabaya. Demikian juga soto ayam Lamongan. Ada yang mengganti spanduk atau hanya menghapus kata Lamongan-nya saja.
Soto ayam dan sari laut adalah dua makanan khas Lamongan yang banyak dijual di Denpasar. Bahkan warung tenda sari laut, yang sebenarnya lebih banyak menjual ayam atau tempe goreng dibandingkan menu laut, menjadi pemandangan baru di jalanan Kota Denpasar.
Hampir di tiap jalan raya terlihat satu dua warung tenda, yang menjual makanan berlabel Sari Laut. Kini, warung tenda sari laut merambah pedesaan dan dijual oleh lebih banyak orang luar Lamongan.
Tekanan secara sosial ini juga dirasakan salah satu juragan Sari Laut, Hajah Mutiah, 47 tahun. “Saya mencoba biasa saja, tapi kadang-kadang orang memang senang bercanda soal Amrozy. Saya harap dia segera dihukum sesuai dengan perbuatannya,” ujarnya.
Mutiah mengaku tidak pernah mendapat tekanan langsung atau bentuk kekerasan lain.
Hampir 20 tahun Mutiah berjualan Sari Laut dengan suaminya di Jalan Cokroaminoto Denpasar. Ia tidak ingin masalah terorisme ini makin meluas dan membuat kekerasan baru. “Saya sangat senang tinggal di Bali. Jangan sampai ada kekerasan seperti bom itu lagi,” pintanya perempuan yang menikah dengan pria asal Desa Sukodadi, Lamongan ini.
Ia merasa berhutang pada Bali karena usahanya berhasil dan bisa menyekolahkan empat anaknya sampai jenjang S2 di Surabaya. Bahkan, suaminya kini mulai membuka cabang warung di perbatasan Kalimantan-Malaysia dan sudah setahun tinggal di sana.
Suami Mutiah, Haji R. Saad, adalah salah satu tokoh masyarakat asal Lamongan yang dinilai berhasil merantau di Bali. Jerih payahnya mampu menyokong pendanaan Yayasan Bunga Harapan di Lamongan. Yayasan ini memberikan pendidikan Al-Quran dan mengaji gratis bagi warga sekitarnya.
Tak hanya keluarganya, menurut perkiraan Mutiah terdapat sekitar 200 warga Lamongan lain yang diketahuinya bisa hidup dari usaha dagang makanan. Mutiah mengatakan sedikitnya ada lima kelompok kekeluargaan Lamongan di Denpasar. Misalnya Al-Kausar, Sakinah, dan Al-Rohman.
Ia sendiri ikut di kelompok Al-Kausar yang kegiatannya adalah arisan, pengajian, dan membuat usaha simpan pinjam antar anggota. “Hidup di perantauan, kami harus saling mendukung. Demikian juga saling menghormati keyakinan orang lain, apalagi kami di Bali. Janganlah kasus Amrozy ini diperpanjang, biarkan dia mendapatkan hukum sesuai peraturan,” pinta Mutiah.
I Nyoman Darma Putra, peneliti dan dosen Fakultas Sastra Unud mengatakan, untuk kasus Lamongan, tidak pernah terjadi aksi anti-Lamongan dari penduduk local di Bali segera setelah amrozi ditangkap. “Tapi, memang rasa takut itu tidak melulu dari ancaman dari luar tetapi bisa juga muncul dari dalam diri karena takut diidentifikasi dengan sosok atau kekuatan negatif,” tutur Darma Putra, co-authored buku Tourism, Development and Terrorism in Bali (penerbit Ashgate, UK, 2007)
Ia menambahkan, ini menunjukkan bahwa identitas bukanlah sesuatu yang fixed, tunggal, tetapi berganti-ganti dan plural. Dalam kajian budaya, menurut Darma Putra proses kapan seseorang menonjolkan dan kapan menyembunyikan identitas adalah hal wajar dan berlangsung secara terus menerus untuk kepentingan promosi atau aktualisasi diri atau untuk proteksi diri. [b]
Artikel ini dipublikasikan The Jakarta Post.
Mas Mutadi, sampeyan isin soale sampeyan meneng ning denpasar. Cobo nek sampeyan meneng ning lamongan, sampeyan podo ae karo sedulur2 sampeyan ning lamongan.
Bangga karo amrozy cs. Iya tho??
AMROZI CZ BUKAN PAHLAWAN. Memalukan dan tidak ada yang membanggakan. Sangat disayangkan media massa juga memberitakan sesuatu seolah2 amrozi cs itu adalah korban. Perlu diingat mereka membunuh sekitar 200 orang tanpa memikirkan keluarga-keluarga yang ditinggalkan. Kita harus membuka mata dan telinga sehingga dapat memilah mana yang benar dan salah.