Rintik hujan tak menghalangi warga Desa Kedonganan.
Sekitar seratus warga desa di Kuta Selatan, Badung tersebut beraksi Minggu kemarin. Dengan berpakaian adat madya, mereka menggelar aksi menolak rencana reklamasi Teluk Benoa.
Sejak sekitar pukul 10 pagi, mereka sudah bersiap-siap dari kantor Lembaga Perkreditan Desa (LPD) setempat. Dengan berjalan kaki, mereka menuju pertigaan jalan penghubung antara Jimbaran dan Kuta. Hujan mengguyur Kedonganan ketika para peserta aksi berjalan kaki sepanjang sekitar 1 km itu.
Namun, dengan kondisi basah dalam barisan berjejer tiga ke belakang, para peserta aksi tetap bernyanyi lagu Bali Tolak Reklamasi. Lagu ini selalu menjadi lagu “kebangsaan” dalam aksi tolak reklamasi Teluk Benoa. Mereka juga membawa spanduk dan poster berisikan tuntutan serupa, menolak rencana reklamasi Teluk Benoa.
Selama setengah jam perjalanan, mereka pun tiba di pertigaan berjarak tak sampai 2 km dari Bandara Ngurah Rai, Bali itu. Di tempat itu mereka berorasi sekaligus memasang baliho berukuran sekitar 4 x 3 meter.
Dua spanduk yang digabungkan dalam satu rangka itu menyampaikan pesan yang sama. Pemuda Eka Canthi dan LPM Kedonganan Tolak Reklamasi Teluk Benoa serta Forum Pemerhati Pembangunan Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa, Batalkan Perpres No. 51 Tahun 2014.
Orator bergantian menyampaikan penolakan terhadap rencana pembuatan pulau-pulau baru seluas hingga 700 hektar tersebut. “Kami tidak mau berada di wilayah abu-abu. Kami tidak mau di tengah-tengah. Posisi kami sudah jelas, menolak rencana reklamasi Teluk Benoa,” teriak Ketua Karang Taruna Eka Canthi I Wayan Yustisia Semarariana melalui pelantang.
Karang Taruna Eka Canthi Kedonganan terdiri dari enam kelompok pemuda banjar atau biasa disebut Seka Teruna Teruni (STT). Enam STT anggota Karang Taruna Eka Canthi tersebut STT Dharma Sentana, STT Suka Karya, STT Kertha Mudayasa, STT Para Mertha Kusuma, STT Eka Sila, dan STT Jaya Shanti.
Kedonganan termasuk salah satu dari desa-desa yang mengelilingi Teluk Benoa di Bali bagian selatan. Desa lain di sekitar teluk seluas 838 hektar ini adalah Tuban, Kelan, Jimbaran, Bualu, dan Tanjung Benoa. Di sebelah utara Teluk Benoa terdapat desa-desa lain, seperti Suwung, Serangan, dan Sanur.
Menurut riset Conservation International (CI) Indonesia, desa-desa di sekitar Teluk Benoa ini rentan terkena banjir dan luapan air jika Teluk Benoa jadi direklamasi. Karena itulah, para warga termasuk di Desa Kedonganan takut reklamasi akan menyebabkan banjir di desa mereka.
“Kami tidak mau mewarisi bencana alam akibat keserakahan investor dan orang-orang yang mendukung mereka,” lanjut Yustisia. Massa menyambut dengan teriakan, “Tolak reklamasi!” sambil mengepalkan tangan.
Dalam peta Bali, Kedonganan berada di leher yang menghubungkan “kepala” Bali di bagian selatan dan “badan” di sebelah utara. Jarak antara teluk di sisi timur Kedonganan dan pantai di sebelah barat tak lebih dari 2 km.
Dengan posisi “terjepit” tersebut, Kedonganan dan desa lain seperti Kelan dan Jimbaran memang rentan terkena luapan air. Bahkan, warga Desa Kelan yang turut dalam aksi mengatakan desanya pun sudah terkena luapan air jika air laut pasang.
Ketua Lembaga Perwakilan Masyarakat (LPM) Kedonganan I Ketut Madra Budana mengatakan hal serupa. Menurut Budana, saat ini air aut di sekitar Kedonganan juga lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
“Setiap (bulan) purnama, kami was-was karena air sudah meluap ke desa kami,” kata Budana. Dia juga khawatir, reklamasi akan merusak ekosistem mangrove di sisi timur desanya yang selama ini menjadi pelindung dari gelombang laut.
Dalam aksi tersebut, hadir pula anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Gede Pasek Suardika. Pasek yang juga mantan wartawan tersebut bahkan ikut berorasi.
Pasek mengatakan pemerintah daerah dan pusat seharusnya tidak memberi izin terhadap rencana reklamasi Teluk Benoa. Berkaca dari reklamasi Pulau Serangan pada 1995-1996, reklamasi tidak menghasilkan apapun selain masalah.
Serangan adalah pulau seluas 114 hektar di Denpasar Selatan. Pada 1995-1996, pulau ini direklamasi menjadi sekitar 400 hektar. Akibat krisis politik dan ekonomi pada 1997-1998, proyek prestisius ini dihentikan. Hingga saat ini belum proyek milik PT Bali Turtle Island Development (BITD) tersebut mangkrak.
“Lihatlah reklamasi Pulau Serangan sekarang. Hanya menyebabkan abrasi dan erosi di sekitarnya sementara proyeknya tidak jelas,” kata Pasek.
Sebagai anggota DPD, Pasek mengatakan telah dua kali melakukan rapat dengan investor, PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI). Dalam tiap rapat, Pasek mengaku telah menyatakan penolakannya terhadap rencana tersebut.
Dampak lingkungan lain yang dikhawatirkan terjadi jika Teluk Benoa jadi direklamasi, menurut Pasek, adalah terjadinya krisis air. “Saat ini saja Bali ketersediaan air di Bali tinggal 20 persen. Bagaimana jika nanti reklamasi jadi dilakukan. Tentu akan lebih banyak turis yang menghabiskan air di Bali,” katanya.
“Selain akan berdampak buruk terhadap lingkungan dan sosial, reklamasi Teluk Benoa hanya akal-akalan investor untuk mengeruk keuntungan dari Bali,” ujarnya.
Koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI) I Wayan Gendo Suardana menambahkan kekhawatirannya. Menurut Gendo, saat ini sedang berlangsung operasi senyap untuk memuluskan rencana reklamasi Teluk Benoa.
Operasi senyap itu berkedok riset namun sebenarnya mengarahkan warga agar setuju terhadap rencana reklamasi. Untuk itu, Gendo meminta agar warga Kedonganan maupun desa-desa lain di sekitar Teluk Benoa waspada terhadap upaya-upaya tersebut.
“Perjuangan kita tinggal sedikit lagi. Tahun 2016 adalah pertaruhan bagi perjuangan kita untuk membatalkan rencana yang akan merusaka alam Bali ini,” ujarnya. [b]