Oleh Wayan Muspa Mustika
Sebagai salah satu desa dengan dominasi wilayah perkebunan, Desa Mengani memiliki lahan yang luas untuk bertani. Selain khas perkebunan kopi dan jeruk, ada satu sapi yang dilepasliarkan di ladang kopi itu.
Bukan sembarang sapi, karena sapi ini akan ditangkap kembali setelah satu tahun hidup bebas di ladang. Bak sayembara, penangkapan sapi liar ini bagian dari ritual upacara Wali Panguangan Desa Adat Pekraman Mengani.
Ketika tiba hari raya Tilem pertama dalam kalender Bali (nyeeb tilem sasih kasa), waktunya Desa Adat Mengani bersiap-siap menyambut rangkaian upacara Wali Panguangan. Upacara Wali panguangan merupakan ritus desa adat pakraman Mengani yang dilaksanakan mulai dari Pura Dalem Mengani. Ritual ini dilakukan setiap setahun sekali.
Ada sekitar 15 kali upacara menuju puncak wali panguangan. Seperti pengerapian di Pura Dalem, mesegeh di lapangan atau ujung utara desa, pesembahyangan di Pura Puseh, nyeeb di Pura Desa.
Kali ini ada yang berbeda, karena ada nyeeb di Pura Dalem juga. Nyeeb di Pura Desa menggunakan anak sapi (godel). Selanjutkan dilakukan upacara ngales di area luar Pura Puseh. Prosesi ini adalah tradisi unik. Sebab ada prosesi iuran nasi dari masyarakat. Disaat menimbang (nguu) nasi tidak boleh ada orang yang berbicara. Layaknya orang bisu.
Upacara selanjutnya adalah ngeliwon di Pura Desa. Prosesi lebih banyak diadakan di Pura Desa. Upacara selanjutnya adalah upacara menghancurkan penjor yang dibuat dan dihiasi berbagai macam jenis buah makanan, jajan. Ketika isi penjor itu jatuh semua masyarakat akan berebutan untuk mengambilnya dan dibawa pulang. Hal ini dipercaya sebagai adanya berkah dari Sang Hyang Widhi, upacara ini dinamai neduh.
Selanjutnya upacara ngulu dilapangan, nyemlaping di Pura Puseh, ngesanga di lapangan, ngusaba kelod di Pura Dalem Pingit. Pada pagi hari dilanjutkan dengan ngelaur atau datang langsung ke Pura Desa. Beberapa hari kemudian dilanjutkan dengan metaur. Pada malam harinya para pemuda melakukan peperangan dengan menggunakan api yang disebut perang prakpak. Ketika hari raya Purnama sasih desta tiba, selanjutnya diadakan upacara ngusaba kaler/kaja (utara) di Pura Puseh.
Meski prosesi menuju puncak Wali Panguangan panjang, namun, semuanya harus tetap dilaksanakan. “Apabila salah satu dari upacara tersebut tidak dilaksanakan maka Puja Wali Panguangan tidak boleh dilaksakan,” ungkap I Made Diarta selaku Bendesa adat.
Selain rangkaian upacara yang panjang, upacara ini ditunggu-tunggu masyarakat Mengani karena ada tradisi Ngejuk Duwe Wadak pada puncak upacara.
Tradisi Duwe Wadak merupakan sesi penangkapan sapi ( duwe wadak) yang dilepasliarkan selama setahun. Selama setahun dilepaskan, sapi akan ditangkap menjelang upacara wali panguangan. Namun, sebelum upacara penangkapan dimulai, prajuru adat akan meminta izin (mapiuning) ke Pura Dalem agar selamat dalam melaksanakan ritual penangkapan sapi tersebut. Mapiuning ini dilakukan karena sapi yang akan ditangkap tersebut dipercayai merupakan salah satu manifestasi dewa yang ada di Pura Dalem.
Setelah prosesi mapiuning itu selesai dilakukan prajuru adat, semua warga desa Mengani melakukan persembahyangan di Pura Desa. Tak hanya persembahyangan untuk warga, tapi peralatan yang digunakan seperti tali juga diberi sesajen. Hal ini dipercaya supaya agar tidak cepat putus ketika digunakan untuk menangkap sapi, kata Bendesa Desa Adat Mengani.
Selesai prosesi persiapan. Saatnya menjelajah mencari sapi yang entah dimana keberadaannya. Biasanya untuk mengetahui keberadaan sapi mengandalkan informasi awal dari salah satu warga. Lokasi pencariannya pun tidak jauh-jauh dari ladang.
Apabila ada salah satu warga yang melihat wadak (sapi) itu, maka ia akan berteriak. Sebagai tanda sapi yang sudah lama diliarkan telah ditemukan. Warga pun bersorak gembira ketika sudah mendengar teriakan itu. Dengan segera, biasanya warga lain memberikan bantuan untuk mengepung untuk mendapatkan sapi. Momen ini bak sayembara, karena dipercaya barang siapa yang bisa memasukan tali (nyanglong) akan mendapatkan imbalan berupa daging sapi dan darah abungbung (tempat darah yang terbuat dari bambu) ketika sapi dirempah atau disembelih pada upacara puncak Panguangan.
Ketika sapi sudah ditangkap, akan dibuatkan sesajen banten pemendak dan dibawa ke depan Pura Desa dengan diiringi gamelan. Sesampainya di depan Pura Desa, wadak kembali dihaturkan sesajen atau banten. Wadak itu akan disembelih untuk upacara puncak di Pura Desa. Wadak akan disembelih paling cepat 3 hari setelah ditemukan. Ketika prosesi penyembelihan, kembali ada pemberian banten dan iring-iringan tarian sakral. Tarian puncak sebelum penyembelihan, ditarikan oleh Jro Kubayan Mucuk (pemucuk pemangku).
Selanjutnya, prosesi upacara Wali Panguangan Desa Mengani ini diambilalih oleh warga banjar laku-laki (Sekaa Ebat) untuk menyembeliih wadak tersebut. Hanya beberapa bagian tubuh sapi itu disembelih. Kepala sapi tersebut akan tetap digantungkan ditempat penyembelihan untuk dihaturkan ketika puncak upacara. Seperti lidah, telinga, isi otak, kaki, ekor, tulang dada, dan ada sebagian dari dagingnya digunakan sate sesajen. Sisanya akan diberikan kepada yang menangkap dan dijadikan malang atau dibagikan ke warga dengan pembagian yang merata.
Beberapa hari setelahnya akan dilaksanaka upacara nyineb. Prosesi terakhir dari upacara Panguangan. Sekaligus menjadi puncak puja wali panguangan desa pekraman adat mengani. Dari sekian panjang runtunnya, upacara ini dilaksakan paling sebentar sampai waktu 1 minggu dan bisa sampai 10 hari.
Berakhirnya wali panguangan, ditandai dengan pembuatan kembali wadak yang disebut ngerasakin. Pembuatan wadak tersebut menggunakan anak sapi (godel) yang masih utuh. Artinya tidak ada cacat sedikitpun. Dalam sesi ini yang berperan adalah para teruna. Godel tersebut akan diberi kamen dari kain kasa dan akan dihias sedemikian rupa oleh para teruna. Dengan persembahan sesajen yang dihaturkan pemangku. Setelah prosesi sesajen selesai maka para teruna akan berboyong-boyong mengocok, memutar, menghayun-hayunkan godel 3 kali berputar ditempat. Layaknya seorang yang sedang bergulat. Setelah itu godel tersebut akan dilepas dengan hiasan badan dari kasa dan dengan uang kepeng (pis bolong) yang masih dikalungkan dileher. “Namun, semua hiasan itu dalam beberapa hari akan lepas dengan sendirinya,” kata bendesa adat Mengani.
Rangkaian panjang prosesi tradisi ini merupakan bentuk rasa syukur atas anugerah Tuhan. “Upacara Wali Penguangan ini berkaitan dengan tahapan menanam padi gaga di masa lalu,” Ungkap I Made Sarjana, warga Mengani.
Tradisi ini merupakan bentuk menjaga ketahanan pangan warga Mengani. Melihat kondisi Desa Mengani kala itu yang miskin karena tanahnya kering dan penduduknya sedikit. Pengolahan pertaniannya yang sangat tradisional. Jadi wadak ini disembelih pada saat upacara Panguangan. Sebagian daging wadak digunakan sarana upakara. Sebagian besar lainnya, dibagi ke masing-masing warga Desa Mengani. “Dulu jarang konsumsi daging, melalui upacara inilah menjadi momen pemenuhan protein hewani warga Desa Mengani kala itu,” cerita Sarjana yang kini berprofesi sebagai dosen.
Tradisi melepasliarkan sapi ini adalah salah satu cara paling mudah memelihara sapi zaman dulu. Kondisi kala itu, sapi diliarkan tidak menimbulkan masalah. Namun, saat ini, tak jarang sapi itu merusak kebun-kebun warga. “Mengatasi itu, banyak petani akhirnya membuatkan pagar kawat berduri agar wadak tidak masuk ke kebun,” ungkap Sarjana.
Hal lainnya tentang tradisi ini menurut Sarjana, tradisi ini sempat lama hilang. Muncul kembali awal tahun 2000-an. “Karena ada beberapa orang yang “berhasil” menghaturkan pengeleb,” kata Made Sarjana.