Tiap kali lewat Desa Kapal, warna-warni tong sampah selalu memikat hati.
Deretan tong sampah berwarna hijau, biru, merah, kuning, dan seterusnya itu berada di pinggir jalan di sekitar Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kapal. Mereka yang melewati jalan ini pasti dengan mudah melihatnya.
Karena penasaran dengan warna-warni tong sampah ini, awal April lalu, saya pun mampir ke salah satu toko di sana. Kebetulan banget, ternyata pemilik toko ini adalah perintis usaha tersebut.
Usaha Dagang Putra di Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung adalah perintis usaha daur ulang drum bekas menjadi sejumlah aneka perlengkapan rumah. Yang terbanyak menjadi tong sampah dan kaleng kue.
Bentuk daur ulang lainnya adalah pemanggangan ikan, sate, dan serok pengumpul sampah. Selain drum bekas, juga ada perlengkapan lain dari daur ulang seng.
Ni Made Remen, perempuan 83 tahun adalah pembuatnya. Ia sudah menjadi pengolah drum bekas ini lebih dari 30 tahun. Ia tak tahu persis kapan mulai, yang jelas saat Ia baru memiliki dua anak. Kini, Ia sudah memiliki sepuluh anak, tujuh cucu, dan sepuluh cicit.
Toko dan bengkel Made Remen sangat mencolok, mudah ditemukan jika kita lewat Jalan Raya Kapal, mau ke arah Gilimanuk atau ke Denpasar. Persisnya di depan RSUD Kapal. Warna-warni deretan tong sampah dengan mudah menarik perhatian pengendara yang lewat.
Pakai Cuk
Remen awalnya adalah pembuat dandang, ketika usianya sekitar 20 tahun. Wadah untuk mengukus nasi yang menjadi cara menanak nasi sebelum popular rice cooker. “Sekarang dandang sudah tak laku, karena semuanya serba pakai cuk,” katanya menyebut alat-alat listrik.
Karena dandang sudah semakin sedikit peminatnya, ia berinovasi dengan membuat aneka perlengkapan rumah dari drum bekas. Karena pola pembuatan dan bahannya hampir sama dengan dandang. Jika dandang menggunakan bahan seng, sementara tong sampah seng drum lebih tebal. Drum bekas ini biasanya bekas oli dan minyak.
Remen mencari drum ke rumah-rumah warga, bengkel, dan lainnya.
Remen merasakan berkah menjadi pengolah drum karena tong sampah dari drum ini laku keras, terutama pada awal dirintis. Saat ini sudah semakin banyak yang membuat hal serupa. Sebuah drum setinggi sekitar 1 meter bisa diolah menjadi beberapa tong sampah tergantung ukuran. Bentuknya bulat mengikuti bentuk drum, dicat warna-warni, dan diisi tutup serta kaki-kaki tong sampahnya.
Pelanggan terbanyak adalah sekolah dan badan usaha yang memerlukan banyak tong sampah atau ingin donasi tong sampah. Rejeki drum bekas ini membuat Remen dan almarhum suaminya bisa membeli hapir 1 hektar tanah yang menjadi tempat tinggalnya saat ini.
”Saya sendiri yang masih jualan karena anak-anak bekerja yang lain,” katanya.
Ia mengakui tak banyak jenis lain yang diproduksinya karena sudah semakin tua dan tidak tahu pola pembuatannya. “Kalau dandang dan tong sampah saya sudah hapal polanya,” katanya.
Jadi, jika butuh tempat sampah penuh warna-warni, sekalian saja beli di perintisnya, Dadong Remen. [b]
Foto-foto Anton Muhajir.
Tempat ini memang mencolok, saya walaupun tidak pernah membeli tapi hafal betul tempatnya.
Kalau di sepanjang jalan ada tempat sampah seperti ini, jalan-jalan bisa jadi lebih indah…
😀
wahh …
nini hebat ,,
tetap semangat yaa nenek kuu ..
semoga tuhan memberi umur panjang buat nini ..
hihihihiiiiii
wahhh nini hebat..
sehat slalu yaa nini ..
moga tuhan memberi umur panjang buat nini ..
heheh
Sayangnya tidak ada keterangan harga tong sampahnya..
coba kalo ada kan bisa di gunakan untuk refrensi para pembeli..
siapatau lebih murah dari tong sampah sejenis…
kn bisa sekalian ngebantu promosi ghehehe
it’s brilian