Oleh Pande Baik
Akhirnya jadi juga saya ikut serta dalam Pemilu 9 April kemarin. Pemilu ini sedianya digunakan sebagai ajang pemilihan para Wakil Rakyat, wakil yang diharapkan mampu menyuarakan aspirasi pula memperjuangkan nasib kita sebagai rakyat kecil. Begitu kira-kira teorinya.
Padahal, kalo diingat-ingat, beberapa waktu lalu saya masih memutuskan untuk memilih semuanya, alias Golput. Alasannya yang maju dalam Pemilu kali ini rata-rata adalah orang yang saya kenal sebagai saudara dan mereka semua datang memohon dukungan. Terus yang mana dong harus saya pilih kalo gitu?
Setelah dipikir matang-matang, ‘Mengapa pula saya harus ikutan Golput?’ Padahal saya telah diberikan mandat dan kewenangan untuk ikut serta dalam menentukan nasib bangsa ini kelak? Saya katakan begitu, karena nama saya dan keluarga telah tercantum dalam Daftar Pemilih Tetap tanpa ada keluhan apa-apa. Lantas siapa lagi yang bakalan dipercaya untuk menentukannya kalau bukan kita?
Kamis pagi 9 April, pada Tempat Pemungutan Suara (TPS) di mana kami mendapatkan kesempatan itu, tampak antusiasme warga untuk berpartisipasi dan ikut dalam Pesta Demokrasi kali ini. Oh ya, untuk daerah kami, ada 5 TPS yang disediakan untuk menampung ratusan jumlah warga yang ada. Antusiasme itu bisa dilihat dari berbondong-bondongnya warga menuju tempat TPS masing-masing sesuai DPT. Bahkan hingga menjelang jam penutupan tiba pun warga masih ada yang datang dan ikut antri menunggu giliran.
Bersyukur kebijakan dari Ketua Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) untuk memperpanjang waktu ‘pencontrengan’ disetujui oleh para saksi yang hadir. Alasannya, warga atau peserta yang datang memang berasal dari daftar yang ada dan belum menggunakan hak pilihnya.
Bersyukur pula bahwa hingga penutupan waktu pencontrengan, tidak ada kejadian atau insiden yang berarti, baik itu perkelahian hingga bentrok antar warga seperti yang diberitakan pada media televisi beberapa saat lalu. Hanya ada sedikit aura persaingan sebagai konsekuensi dari pencalonan 3-4 warga untuk memperebutkan ‘kursi’ yang sama.
Terlepas dari hasil akhirnya, sebagian besar alasan warga untuk tidak ikutan Golput seperti halnya isu yang santer terdengar adalah, berusaha memilih orang (Caleg) yang kelak dianggap (minimal) mampu membantu warga saat dilanda kesulitan. Menghindari agar nantinya orang (Caleg) yang tidak dikehendaki bisa tampil naik dan mengobok-obok ‘kursi’ yang diharapkan.
Sebagian lainnya yang merasa pesimis dengan daftar Caleg yang ada. Mereka lebih memilih untuk mencontreng partai ketimbang nama Caleg dan menyerahkan kebijakan penggunaan suara yang didapatkan kepada para pimpinan Parpol.
Walau begitu, ada juga beberapa warga yang punya alasan unik untuk tetap ikut serta berpartisipasi dalam ‘pencontrengan’ ini. Seperti bentuk syukur atas pengangkatan status dirinya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) pada periode kepempinan presiden kali ini. Ada juga yang merasa optimis dengan tiga kalinya penurunan harga bahan bakar minyak (BBM). Padahal, bukannya sebelum itu naik tiga kali juga? Hehe..
Ada juga warga yang mengutip kata-kata Dalang Cenkblonk, dalang kontemporer di Bali, dalam salah satu video CD-nya, bahwa ‘kalo kita memutuskan untuk Golput, kita tidak boleh ikutan protes seandainya terjadi apa-apa kelak dalam kebijakan yang diambil oleh petinggi negeri ini. Wong kita tidak mau ikutan memilih, jadi tidak bisa ikutan memiliki hasil yang didapatkan nanti’. Kira-kira begitu maknanya.
Yah, apapun alasan warga untuk berusaha ikut hadir dan menggunakan hak pilihnya hari ini, setidaknya saya secara pribadi merasa bersyukur dan berterima kasih untuk tidak ikut serta menaikkan angka Golput di negeri ini. Minimal ada perubahan yang bisa diharapkan untuk lima tahun ke depan.
> Seorang teman bertanya pada saya atas status yang saya di Facebook hari ini, bahwa “Orang yang memilih untuk GOLPUT adalah PENGECUT”. Bagaimana seandainya jika keinginan memilihnya tinggi, tapi tidak terdaftar dalam DPT? Apakah Golput kategori ini adalah seorang pengecut juga? <
Tentu saja tidak. Tidak mau ikut memilih itu BERBEDA dengan tidak bisa ikut memilih. Bedanya, ya pencantuman nama pada Daftar Pemilih Tetap itu. Orang yang sudah diberikan hak pilih, orang yang diberikan kesempatan untuk ikut memilih oleh Negara, tapi tidak mau ikut serta untuk menetapkan pilihannya dengan sejuta alasan klise tapi tetap menuntut perubahan dan menganggap dirinyalah yang paling benar, tentu saja berbeda dengan apa yang dialami oleh teman saya tersebut.
Terus, biar mereka itu tidak memilih untuk GoLput (istilah kerennya : ‘Memilih Untuk Tidak Memilih’), maunya apalagi coba? Hehe.
Mencomot kata-kata Dalang CenkbLonk…. “Napi Kirang? Napi Tuna? Pang Ken-ken buin?” [b]
“kalo kita memutuskan untuk Golput, kita tidak boleh ikutan protes seandainya terjadi apa-apa kelak dalam kebijakan yang diambil oleh petinggi negeri ini. Wong kita tidak mau ikutan memilih, jadi tidak bisa ikutan memiliki hasil yang didapatkan nanti”
Kalau begitu apa arti warga negara? Kalau menurut saya, angka golput adalah sebuah penunjuk/indikasi ada yang salah dalam sistem yang berjalan. Bisa sistem administrasi maupun sistem politik. Orang-orang yang golput(secara politik) berani menunjukan ketidaksetujuan akan sistem yang berjalan apakah bisa dikatakan pengecut?? Bagaimana jika orang yang tahu ada yang salah dalam sistem yang berjalan namun diam dan hanyut dalam sistem yang salah itu, pemberani atau pengecut (secara politik)??
mencomot lagu teknoshit: “rubahlah-rubahlah, jangan diam saja!”
Aku Seorang Pengecut. terachir aku ikut memilih pada pemilu 1971. aku waktu itu mencoblos partai golkar.
renungkanlah, sejak detik itu, adakah kesejahteraan bagi majoritas rakyatku. saya seorang pantjasilais, walaupun keadilan sosial ada diurutan kelima, namun bagi saya, sila kelima adalah sila terpenting untuk membina bangsa yang sejahtera, adil dan makmur.
sejak saya terachir ikut2-an menentukan nasib bangsa saya (1971), adakah perubahan yang signifikant untuk rakyat jelata ? adakah keadilan ? adakah kesosialan ?
Aku Seorang Pengecut karena aku jerih mengeritik pemerintah yang sewenang-wenang. Aku takut dipulau burukan. Aku takut disunduk hidup2 dengan bambu runcing, seperti sate. Kritik seorang njoman oken bagi penguasa hanyalah bak kentut berlalu, yang berbobot adalah kritik dari Obama atau angela merkel.
wah, sampe publish disini nok…
“mohon Maaf bagi yang tidak berkenan… “
horeeee… golput menanggg >.<
inget palajaran waktu sd ga???? putih artinya suci…. berarti golongan putih artinya golongan suci dung 😀 *kalem
Apa golput bisa memperbaiki yang salah dan rusak? Menurut saya, golput itu diam. Diam ndak akan mengubah apapun.
Hiduplah Indonesia Raya.. :p
orang yang golput tidak diam, tetapi bekerja seperti biasa, menunaikan kewajiban lumrahnya seorang warganegara.
daripada salah pilih, lebih baik tidak memilih, itu saja bedanya. seorang menteri atau jendral, bertugas 10 tahun, bayaran sebulan 3000,-US$, koq bisa memiliki
kekayaan jutaan US$. saya tidak usah menyebut nama2. hal aneh ini menyangkut lurah, camat, bupati, dpr, dprd, gubernur, jaksa, hakim, pokoknya hampir semua pejabat. siapakah yang harus ku pilih ?
sebelum pemilu seorang caleg menyumbang rakyat desa 6 tiang listrik, setelah pemilu tiang2 itu dicabut kembali, sebab kalah pemilu. yang disalahkan rakyat, sebab dituduh ingkar janji dan menipu. bagaimana ini ?
jika saya menginginkan pemimpin yang jujur, sederhana,
galak, diktator bersih tidak korup, saya bisa2 dicap
pki. seorang bapak yang galak, belum tentu dia jelek, asal jangan se-wenang2. yang penting dia harus mengayomi dan mendidik anak2-nya secara baik, memperhatikan kesejahteraan anak2-nya. nasionalis, agamais, komunis atau kapitalis, nggak perduli. yang penting rakyat sejahtera, adil, aman dan makmur.
saya memilih golkar (1971) hanya sekali, setelah itu selalu golput. Saya tidak ikut berdosa, dikala tanah2 rakyat bali, tahun 80-an, siserobot oleh anak2 pejabat dari jakarta. kenapa kita terlalu mudah melupakan sejarah.
Bukan hanya politisi indonesia yang jelek, hampir semua politisi sifatnya sama. mementingkan diri sendiri, anak, istri, partai, konco2, dan yang terachir barulah rakyat.
daripada golput, jadilah yang dipilih. toh yang golput selalu merasa tau, politisi seperti apa yang paling baik dan benar. daripada cuma teriak-teriak golput tapi ndak berpengaruh apa-apa untuk kehidupan politik negara, mending jadi yang dipilih. ajarkan para politisi busuk itu, seperti apa politisi yang baik. itupun kalo bisa..
biasalah, penonton selalu lebih banyak omong daripada pemain..
GOLPUT memang jadi satu fenomena unik bagi bangsa ini. Di satu sisi bagi yang memilih untuk Golput merasa tidak ada yang terbaik dari pilihan yang disodorkan kehadapan mereka. Di sisi lain, orang telah berusaha membuat pilihan yang sekiranya mampu mengubah stigma yang terlanjur rusak…
Jika kita terus memilih untuk diam dan beranggapan bahwa kita tidak ikut berdosa akan buruknya kinerja yang terjadi, secara pribadi saya boleh katakan ‘betapa bodoh dan tololnya orang tersebut’.
Ah, andaikan anda menganggap bahwa anda mampu menjadi lebih baik dari yang telah ada, silahkan tunjukkan diri anda kedepan. Mungkin itu akan jauh lebih baik ketimbang diam…