Teks Yayasan Wisnu, Foto Luh De Suriyani
Pemerintah Kabupaten Karangasem diminta melindungi kedaulatan warga adat atas tata ruang desa di tengah gempuran industri pariwisata.
Warga Desa Tenganan Pegringsingan mengatakan sudah ada sejumlah pelanggaran awig-awig (aturan adat) karena pertambahan penduduk dan perubahan fungsi lahan. Hal ini terangkum dalam seminar Tata Ruang Desa Adat Tenganan Pegringsingan di Wantilan desa bali aga (kuno) ini awal pekan ini. Seminar diselenggarakan desa melalui Yayasan Wisnu dan Yayasan TIFA ini diikuti perwakilan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), prajuru desa, kecamatan, dan lainnya.
Sampai saat ini masyarakat Tenganan Pegringsingan masih menempati tanah pekarangan yang telah ditetapkan desa. Luas rata-rata per kepala keluarga 2 are. Total luas keseluruhan permukiman adalah 8,0 ha.
Pertumbuhan penduduk Banjar Kauh dan Banjar Tengah, Desa Adat Tenganan Pegringsingan dari tahun ke tahun tidak mengalami perubahan besar. Maka, kawasan pemukiman tetap menempatkan kawasan yang telah ditetapkan desa adat.
Namun, kondisi berbeda terjadi di Banjar Pande. Di sini semakin lama penduduknya terus bertambah sehingga memerlukan tambahan tempat tinggal. Karena ada awig-awig bahwa warga tidak boleh memperluas wilayah pemukiman, maka masyarakat tetap menempati tanah yang telah ditetapkan desa adat.
Tapi, menurut I Putu Wiadnyana, tokoh pemuda Tenganan, sejak tahun 1999, terjadi pelanggaran terhadap awig tersebut. “Ada beberapa warga memperluas bangunannya sampai ke daerah yang tidak boleh dibangun,” ujarnya ketika mempresentasikan tata ruang ala warga ini.
Hal ini terjadi sebagai konsekuensi pesatnya kepariwisataan. Permintaan akan hasil-hasil barang dan budaya meningkat sementara di sisi lain pengaturan pemasaran oleh lembaga adat dirasa masih lemah. Akibatnya, sebagian masyarakat melakukan penjualan hasil-hasil di depan rumahnya.
Gejala ini kemudian teridentifikasi sebagai bentuk ketidaktaatan masyarakat atas peraturan adat tentang fungsi bagian rumah terdepan. Atas ketidaktaatan ini, dulunya masyarakat diberi sanksi seperti mengambil ijuk di hutan sebanyak 7 ikat. “Jika hal ini terus dilakukan, sanksi diteruskan hingga “pengusiran “ keluar dari desa,” jelas Wiadnyana.
Kasubdin Tata Ruang Bappeda Karangasem Siki Ngurah mengatakan Tenganan Pegringsingan dalam tata ruang Karangasem masuk wilayah strategis sosial budaya. “Konsep penataan ruangnya akan disesuaikan dan dilindungi,” ujarnya.
Dalam diskusi tersebut Prof I Wayan P. Windia, ahli hukum adat Bali mengatakan, tanah adat seharusnya tak dikenakan pajak. Sementara soal konflik batas desa yang berkaitan dengan pengaturan tata ruang harus diselesaikan. “Ada tiga pilihan. Diselesaikan sendiri antar desa, lewat mediator MUDP (Majelis Utama Desa Pekraman) atau menyerahkan ke pemerintah,” ujar Windia.
Berdasarkan awig-awig desa adat Tenganan Pegringsingan, peraturan untuk daerah permukiman dalam pasal hak dan kewajiban masyarakat Tenganan Pegringsingan adalah wajib tunduk pada kekuasaan desa adat atas tanah (hak pertuanan desa) seperti seluruh karang perumahan di dalam daerah pola menetap adalah milik desa. Kedua, dilarang memperjualbelikan, menggadaikan tanah-tanah di wilayah Tenganan Pegringsingan kepada orang-orang luar Tenganan Pegringsingan. Dilarang mengubah pola pemukiman yang ada, tanpa seizin desa adat dan wajib menjaga kebersihan, keselamatan dan ketentraman desa dari segala gangguan.
Menurut masyarakat Tenganan Pegringsingan, berdasarkan sangkep Tim Tata Ruang dan berdasarkan awig yang telah ada, kawasan dilindungi tidak boleh diubah fungsinya, tetapi tetap dijaga seperti kondisi saat ini.
Penetapan rencana kawasan lindung ini karena kawasan ini memiliki radius kesucian dan kemiringan tanah perbukitan. Maka perlu upaya menghindari tanah longsor sekaligus untuk menjaga dan menyimpan air. Selain itu, pertimbangan lainnya adalah suatu wilayah harus mempunyai daerah hijau.
Usulan ini juga mengacu pada Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Daerah Tingkat II Karangasem No. 11 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah tentang Kawasan Lindung. Menurut Perda Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karangasem pasal 20 (d) yang dimaksud kawasan Radius Kesucian Pura adalah untuk melindungi kesucian pura dari kegiatan budidaya yang mencemari kesucian pura.
Kawasan pemanfaatan berdasarkan sangkep Tim Tata Ruang dan awig-awig desa adat Tenganan Pegringsingan dapat dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas masyarakat Tenganan Pegringsingan, meliputi kegiatan perkebunan dan kegiatan di dalam wilayah permukiman. Secara keseluruhan luas wilayah pemanfaatan di wilayah Tenganan Pegringsingan adalah 334,165 ha.
Kawasan persawahan ini berada di balik bukit hutan Tenganan Pegringsingsan sehingga tidak nampak dari daerah pemukiman mencapai 255,840 ha. Warga sejumlah desa menggarapnya dengan sistem bagi hasil.
Luas kawasan hutan 583,035 km persegi. Kawasan ini berada di dataran lebih tinggi dari permukiman. Bukitnya memiliki kemiringan rata-rata 40 persen sehingga dipandang perlu untuk dilindungi dan dimanfaatkan secara arif. Sejak adanya Undang-undang Perlindungan Agraria (UUPA) sebagian kawasan hutan ini telah disertifikasi menjadi milik pribadi. Sebagian lagi dimiliki Negara. Oleh masyarakat Tenganan Pegringsingan tanah ini disebut tanah GG.
Padahal, sejak dulu semua tanah yang ada di Tenganan Pegringsingan adalah milik komunal dan dikelola oleh masyarakat Tenganan Pegringsingan.
Untuk menjaga agar tanah tidak diperjualbelikan maka desa adat Tenganan Pegringsingan tetap memberlakukan awig-awig untuk pengaturan pemanfaatan. Misalnya sebagai daerah menjaga dan menyimpan air serta menghindari longsor.
Warga menganggap penting kesepakatan tertulis sebagai kepastian hukum generasi mendatang. Maka, mereka mencatatnya pula dalam suatu berita acara di Kantor Desa Dinas. [b]
KEren gan infonya,kalo buakn kita yang jaga keanekaragaman budaya dan adat yang ada diindonesia,siapa lagi..
yaps, stju bgt,.aplage blan 11 kmren rombongan mahasiswa unmuh khususX fisipol
dari desa tenganan.