Teks Luh Putu Dhatu Hanny A, Foto Anton Muhajir
Semakin berkembangnya alat komunikasi membuat telepon umum semakin tidak berarti lagi di zaman sekarang ini.
Sejak dipatenkan pada 14 Februari 1876 oleh Alexander Graham Bell, telepon terus berkembang hingga sekarang. Perkembangan teknologi melahirkan penyempurnaan telepon itu sendiri. Berawal dari penerima telepon dan pemancar berbentuk sebuah piringan hitam tipis dipasang di depan electromagnet, telepon berkembang sampai menjadi telepon genggam seperti sekarang ini.
Di Indonesia, telepon umum merupakan salah satu fasilitas publik terkenal pada tahun 1980-an. Namun, karena persaingan operator untuk menyediakan sarana telekomunikasi yang jauh lebih baik, banyak sekali lahir telepon yang lebih canggih dengan desain dan harga terjangkau.
Kondisi telepon umum di Denpasar pun sama saja. Telepon umum sudah jarang ditemui di kota ini. Beberapa tempat yang masih terlihat ada telepon umum, salah satunya di depan SMPN 3 Denpsar.
Akhir pekan lalu, saya berangkat dengan enggan menyusuri keriuhan orang di atas truk pick up dengan pakaian olahraga. Umpatan pun mengalir saat ada beberapa muda-mudi menyalip saya dengan ugal-ugalan di jalan.
Keriuhan suara suporter sampai terdengar di daerah Pelawa, Denpasar. Saya tidak terlalu peduli dan terus mencari lokasi telepon umum itu. Kepala saya bergantian menoleh kanan, kiri, kanan, kiri, kanan. Sampailah saya di depan SMPN 3 Denpasar.
Telepon umum itu 25cm lebih tinggi dari tinggi badan saya yang tinginya hanya 158 cm. Telepon umum itu masih kokoh berdiri. Tapi, setelah diamati lebih lanjut ternyata gagang teleponnya tidak ada.
“JIAH…PARAH!” pekik saya pelan.
Saya kemudian mengambil sudut pandang (angel) yang baik untuk foto saya. Sesaat kemudian ada bapak menghampiri saya.
“Sing dadi ney anggo telepone. Nyen kal nagih, nelpun di wartel gen,” kata bapak itu dengan logat khas Buleleng yang sudah fasih sekali saya dengar. Artinya, telepon ini tidak bisa dipakai. Kalau mau menelepon pakai wartel saja.
“Sing, Pak. Tiang nak jadi moto teleponne gen,” jawab saya. Maksudnya, tidak, Pak. Saya hanya mau foto telepon ini saja.
“Moto?” tanyanya bingung
“Mekodakan, Pak,” jawab saya sambil terkikik tertahan. Dalam bahasa setempat mekodakan artinya mengambil foto.
“Ooo. Nah, nah,” jawabnya. Artinya, oh iya.
Otak saya berpikir keras tentang apa yang saya lakukan selanjutnya. Pandangan saya tertuju pada bensin motor yang menipis dan langsung merenung sejenak.
“Saya harus pergi ke tempat lain lagi atau lebih baik saya mewawancarai anak-anak itu,” sambil terus tertuju pada sekelompok anak yang sedang melakukan latihan baris-berbaris.
Saya parkir motor. Kemudian tanpa berpikir panjang, saya langsung menghampiri pembina mereka yang umurnya sepantaran dengan saya. Mata anak-anak yang ada di sana langsung terfokus pada saya yang saat itu memakai jaket semi leather berwarna hitam dan helm pink yang lumayan “eyecathing”.
“Halo. Kenalin. Aku Hanny,” sapa saya sambil mengulurkan tangan.
“Halo. Aku Eka,” sambil membalas tangan saya dengan jabatan gaya RnB-nya.
Kemudian saya menjelaskan panjang lebar tentang kedatangan saya di tengah acara mereka dan memohon izin ke Eka selaku pembina Pasukan Pengibar Bendera (Paskibra) untuk mewawancarai dua orang mengenai telepon umum di depan sekolah mereka.
Narasumber pertama bernama I Kadek Dwi Putra Diatmika. Pemuda kelahiran Gianyar, 2 Februari 1996 ini mengaku hanya pernah memakai telepon umum hanya sekali dalam hidupnya. Saat ditanya lebih lanjut dia menerangkan bahwa dia lebih suka memakai HP alias telepon seluler untuk menelepon karena lebih efisien.
“Kamu tahu tidak kapan terakhir kali kamu pakai telepon umum?”
“Waktu kelas 1 semester 2, Kak,” jawabnya
“Kamu tahu tidak kapan kira-kira telepon umum itu rusak?”
“Hah!”jawabnya panik sambil mencoba melirik keluar sambil menjijit. “Saya malah baru tahu sekarang, Kak,” jawabnya sambil cengengesan.
Saya mengganti ke pertanyaan selanjutnya. “Kamu mau tidak untuk tidak memakai HP jika sudah ada telepon umum di seluruh Kota Denpasar?”
“Mau banget, Kak. Apalagi telepon umunya masih bagus dan bisa pake uang kembalian. Hehehe..” katanya sambil tertawa.
“Impian kamu tentang telepon umum masa depan apa, sih?”
“Saya sih pengennya biar telepon umumnya bagus, bisa dipake bener, trus enggak ada lagi yang ngerusaknya karena mahal, kan, Kak harganya satu biji.”
“Impian lainnya biar telepon umum bisa make uang kertas. Maklum aja, Kak. Saya jarang punya recehan,” jawabnya.
Saya beralih ke narasumber kedua, Wayan Fitri Gayatri. Fitri, sapaan anak tersebut, langsung menanyakan apa pertanyaan yang harus ia jawab.
“Kamu pernah pakai telepon umum di depan SMP-mu?”
“Sering banget, Kak. Biasanya saya pakai untuk telepon bapak buat jemput. Tinggal pake duit 200 perak, kemudian tinggal bilang, “Jemput, Pak.” langsung dah dijemput. Daripada pake HP, mahal!” jawabnya
“Kamu setuju tidak kalau di seluruh Denpasar ada telepon umumnya dan kamu tidak perlu membawa HP lagi?”
“Setuju banget, Kak. Tapi telepon umumnya harus bagus. Tidak seperti telepon umum di depan yang nggak ada gagang teleponnya. Jadi bingung kalau enggak punya duit “and” mau minta jemput”.
“Apa harapanmu untuk telepon umum di kota Denpasar nantinya?”
“Emm.. Saya sih pengennya biar semua telepon umumnya enggak dirusak lagi. Kan kasian, Kak.”
“Udah gitu maunya biar ada kotak telepon umumnya juga. Jadi enggak terbuka kayak di depan. Setiap orang yang masuk harus bayar dulu untuk buka pintunya. Misalnya pake uang 100 perak atau berapa gitu biar enggak seenaknya keluar masuk.”
“Sama lagi satu, Kak. Aku pengen banget telepon umum itu mirip sama yang di London. Pake kotak besar warna merah, jadi kan kalo kita foto-foto enak gitu. Hehehe..” jawabnya cengar-cengir
Selesai wawancara, saya berpamitan pada seluruh anggota ekstrakulikuler Paskibra sambil berpikir, “Bagaimana cara berkampanye agar telepon umum menjadi terkenal lagi seperti masa jayanya dulu?” [b]
Sebagaimana bioskop di artikel sebelah, demikian juga dengan telepon umum
Ah…, telepon umum itu cerita melankolis dan romantis dari masa anak-anak.
Tapi kok di luar negeri masih tetap bertahan ya, sementara di Indonesia rasanya ndak terurus?
Telpon umum koin,….telpon umum kartu,kini semua hanya tinggl kenangan.Di luar sana betapa pentingnya sebuah telpon umum,disaat jauh dari rantau dan rindu akan kampung halaman.Teknologi apalagi yang kira2 akan muncul untuk menyaingi lagi posisi telpon seluler.Yang jelas only god knows,why?!?
“Makodakan?” baiklah mari kita listing kosa kata lucu dari berbagai penjuru Bali…
PARAH (baca: keren), dathu..
lucu bahasanya. “Makodakan?” what is meaning of maksud ?? ^^V